Selasa, 21 November 2017

Jatuh-Bangun Karena Minyak

Jika melihat ke belakang, minyak bumi selalu hadir memainkan peranan penting yang mewarnai perjalanan suatu negara-bangsa. Akibat nilainya yang strategis pula, minyak bumi menjadi incaran banyak pihak demi keuntungan ekonomi yang menggiurkan, apalagi orang pertama yang menyandang gelar sebagai orang terkaya sejagat di era modern ialah pengusaha minyak, yakni John D. Rockefeller. Keberadaan minyak bumi dalam konteks Indonesia sendiri sangat penting, karena ia membawa Indonesia tidak hanya menuju kejayaan, tetapi juga menuju kejatuhannya yang paling dalam.

Maka kemudian, menjadikan minyak bumi sebagai kajian sejarah merupakan hal yang sangat menarik karena bersinggungan dengan banyak hal, mulai dari politik, ekonomi, sosial-budaya yang dapat dijadikan refleksi bagaimana mengelola salah satu sumberdaya alam yang paling diperebutkan sejak awal abad ke-19 tersebut. Dan buku Minyak Bumi dalam Dinamika Politik dan Ekonomi Indonesia 1950-1960an yang ditulis Dr. Purnawan Basundoro menjadi menarik untuk dibaca serta dapat dijadikan rujukan bagi penelitian-penelitian lanjutan tentang perminyakan dari berbagai perspektif di tengah berbagai tulisan mengenai perminyakan yang lebih banyak dikerjakan oleh akademisi berlatar belakang ekonomi atau teknik. 


Posisi minyak bumi dalam percaturan ekonomi-politik Indonesia dekade 1950-1960an menarik untuk dilihat karena di usianya yang masih sangat muda, Indonesia masih mencoba-coba berbagai sistem politik dan ekonomi dalam mengelola negara, khususnya minyak untuk sebesar-besarnya dikelola untuk kemakmuran rakyat, akan tetapi hambatan politik lewat kekacauan sistem demokrasi parlementer, belum mandirinya perekonomian, serta instabilitas keamanan mewarnai upaya pengelolaan minyak bumi yang terpadu. Di satu sisi ada pihak yang menekankan minyak bumi dikelola oleh anak bangsa sendiri atas dasar nasionalisme dan kemandirian bangsa, tapi di sisi lain, pengelolaan minyak bumi Indonesia menemui kendala akan rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang mampu melakukan itu sehingga sentuhan tangan “asing” baik dalam hal produksi, distribusi, bahkan pembiayaan menjadi diperlukan.

Di tengah kondisi perekonomian negara yang tidak menentu, minyak bumi menjadi penolong karena mampu berperan menjadi penghasil devisa yang cukup besar, didukung dengan keberadaan sumur dan ladang minyak yang cukup produktif. Di daerah-daerah lumbung minyak seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jawa Tengah, “laskar-laskar minyak” yang berperan saat Perang Kemerdekaan membentuk perusahaan-perusahaan minyak yang cukup profitable. Di pertengahan dekade 1950-an, nasionalisasi perusahaan asing juga berimbas pada perusahaan minyak seperti BPM, Shell, Stanvac, atau NIAM yang berwujud pada pembagian kepemilikan dan keuntungan dengan Pemerintah Indonesia, yang juga ditopang dengan berbagai kebijakan politik perminyakan negara seperti pengendalian dan pengawasan harga, pembatalan hak-hak pertambangan, lahirnya UU Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 1960, Kewajiban Prorata, serta penandatanganan Tokyo Heads of Agreement. Namun kembali lagi, kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang belum terlalu baik membuat tidak semua pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut berjalan dengan mulus, bahkan usaha-usaha perminyakan kala itu lebih banyak dikuasai militer, utamanya Angkatan Darat untuk mengisi kas kesatuan dan membiayai operasi militer dibanding dikelola untuk kemaslahatan masyarakat luas.

Perjalanan waktu kemudian menunjukkan bahwa Indonesia di akhir dekade 1960 berakhir keluar menjadi “pemenang” dengan memadukan aura nasionalisme dengan pengakuan terhadap sentuhan tangan asing lewat lahirnya skema Kontrak Karya yang menjadikan usaha pertambangan dan gas bumi hanya diusahakan oleh negara dan pelaksanaannya dilakukan oleh perusahaan negara, dimana posisi perusahaan-perusahaan minyak asing ialah perusahaan kontraktor yang melaksanakan pekerjaan milik perusahaan negara. Kontrak Karya yang saat itu menjadi program primadona dari Pertamina di bawah kepemimpinan Letjen Ibnu Sutowo membawa Indonesia sukses sebagai negara Petro-Dollar baru di awal dekade 1970an yang didukung dengan peningkatan harga minyak mentah di tingkat Dunia, tetapi kembali lagi, karena penguasaan militer di segala lini yang tak disertai visi jangka panjang akan dibawa kemana Pertamina kedepannya, justru keuntungan tersebut menjadi malapetaka karena hanya berselang kurang dari 10 tahun pasca kejayaannya, justru Pertamina terpuruk ke jurang yang paling dalam, membawa Indonesia menuju failed-state karena jumlah utang Pertamina malah lebih tinggi dibanding simpanan kas negara.

Pada akhirnya, semangat nasionalisme untuk mengelola usaha perminyakan yang sangat strategis memang diperlukan, utamanya dalam konteks Indonesia saat itu yang belum lama lepas dari cengkeraman kolonialisme, tetapi tanpa visi dan strategi jangka panjang, nasionalisme dan keberanian dalam mengambil alih usaha asing tak akan berarti apa-apa. Malah usaha strategis yang diamanatkan dalam UUD 1945 agar dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat ini justru keuntungannya hanya dinikmati oleh sebagian kelompok atau kalangan saja.

----

Sekali lagi buku ini menarik karena berupaya mengisi kekosongan literatur sejarah perminyakan Indonesia yang sesekali hanya muncul dalam biografi orang-orang yang pernah bersinggungan dengan usaha perminyakan, antara lain seperti buku Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita yang ditulis oleh Ramadhan KH (2008) yang sampai saat ini saya sendiri pun masih penasaran mencarinya karena sulit ditemukan di pasaran, bahkan di Shopping Centre Timur Taman Pintar Yogya yang katanya pasar buku paling lengkap itu. Apalagi buku ini disebarkan secara gratis oleh Pak Purnawan ke berbagai pihak (yang saya lebih kenal sebagai sejarawan yang getol menulis sejarah perkotaan, terutama dari buku Pengantar Sejarah Kota yang merupakan salah satu buku favorit saya), sehingga harapannya minyak bumi tidak hanya dikenal dari fungsi praktis, politis, dan ekonomisnya semata, tapi juga pengetahuan historis dalam konteks Indonesia di dalamnya dapat diketahui oleh khalayak luas.

File buku tersebut saya sertakan dalam tautan di bawah ini, silakan!

Minyak Bumi dalam Dinamika Politik dan Ekonomi Indonesia 1950-1960an

Tidak ada komentar:

Posting Komentar