Senin, 05 Februari 2018

Pertempuran Laut Cirebon 1947: Dimana Bangkai RI Gadjah Mada?


Sebagai warga Kota Cirebon yang telah hidup di kota ini selama lebih kurang 20 tahun terakhir, saya selalu tertarik untuk mencari tahu tentang sejarah dari segala peristiwa yang pernah terjadi di Kota Cirebon. Dan bagi saya bukanlah perkara yang mudah untuk mengungkap hal tersebut, karena selain keterbatasan bahan yang bisa dibaca atau didapat, yang paling mendasar ialah kita lemah dalam mendokumentasikan segala sesuatu yang pernah terjadi atau dialami, terlebih jika peristiwa tersebut terjadi di masa-masa krusial dimana orang-orang tak memperdulikan aspek penting dokumentasi, seperti di masa Perang Kemerdekaan 1945-1949.

Dalam masa krusial tersebut, banyak peristiwa yang terjadi di aras lokal yang luput dalam historiografi nasional, padahal sekecil apapun skala peristiwa tersebut sesungguhnya ia turut mempengaruhi jalannya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Nah, salah satu yang luput dan jarang menjadi pembicaraan adalah peristiwa Pertempuran Laut Cirebon yang terjadi pada tanggal 5 Januari 1947.

Berdirinya Pangkalan III Cirebon

Sejak ratusan tahun yang lalu, perairan dan pelabuhan Cirebon telah dikenal sebagai simpul dari lalu lintas perdagangan di wilayah Pantai Utara Jawa sehingga memiliki arti penting tersendiri. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR)-Laut Cirebon pada tahun 1945 pun tak lepas dari misi tersebut, yakni guna memelihara keamanan dan ketertiban di sekitaran perairan Cirebon. Dengan pucuk pimpinan antara lain Idma Kartadisastra, R.A. Girwo, dan Tirtaatmadja, BKR-Laut Cirebon terus mengembangkan kemampuan dari segi personel maupun persenjataan sampai kemudian BKR-Laut bersalin nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR)-Laut pada 5 Oktober 1945, berubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI)-Laut pada 24 Januari 1946, dan terakhir menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada 19 Juli 1946 (Meiliadin, 2015). Seiring dengan perubahan nama tersebut dilaksanakan pula reorganisasi yang berimbas pada pembentukan Pangkalan III Cirebon di bawah kepemimpinan Laksamana III Adam yang kemudian diganti oleh Kolonel H.P. Simanjuntak (Azhari, 2012). Tugas pertama prajurit laut Cirebon antara lain menjaga proses pengangkutan beras bantuan Indonesia ke kapal-kapal milik India di Pelabuhan Cirebon pada April 1946 sebagai bentuk 'diplomasi beras' Perdana Menteri Sutan Sjahrir sebanyak 500.000 ton guna membantu India yang sedang mengalami krisis pangan.

Dengan segala keterbatasannya Pangkalan III Cirebon melengkapi persenjataan lewat berbagai cara, salah satunya lewat barter yang dilakukan dengan pihak Singapura, yang berhasil menambah armada lautnya antara lain terdiri dari kapal jenis Coaster dengan nama RI Gadjah Mada sebagai kapal pimpinan, 2 buah kapal motor dengan nama Surapringga dan Antareja, 1 kapal tarik dengan nama Semar, dan 4 buah kapal patroli, disamping dengan adanya beberapa kapal kayu bekas Jawa Unko Kaisya serta sejumlah perahu nelayan (Azhari, 2012). Dengan kekuatan yang sederhana tersebut, pasukan ALRI tetap melaksanakan gelar operasi walaupun hanya sebatas operasi lintas laut dengan melancarkan konsep pertahanan linier, dimana hanya mengandalkan kondisi medan yang ada di wilayah yang akan dilintasi musuh (Stevia, 2010).

Kronologi Pertempuran Laut Cirebon

Sebagaimana dicatat Meiliadin (2015), dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kewaspadaan para pelaut di Pangkalan III Cirebon, bersama dengan unsur angkatan darat dilaksanakan latihan gabungan di perairan Cirebon pada tanggal 1 sampai 5 Januari 1947. RI Gadjah Mada sebagai kapal pimpinan bernomor lambung 408 dipimpin oleh Letnan I Samadikun, yang mengikutsertakan pula kapal tunda Semar, kapal motor Antareja, kapal patroli P-8 dan P-9.

RI Gadjah Mada dengan Nomor Lambung 408
(sumber: merdeka.com)

Selama latihan berlangsung, keganjilan terasa karena terdapat kapal perang Belanda yang terus melakukan pengintaian dari jarak jauh yang memuncak pada tanggal 5 Januari pukul 05.30 ketika kapal Belanda tersebut secara tiba-tiba berada di sebelah Timur Pelabuhan Cirebon. Pada jam 06.00 saat iring-iringan RI Gadjah Mada sedang berlayar ke Utara mereka bertemu dengan kapal Belanda tersebut yang memberikan isyarat untuk berhenti, namun isyarat berbentuk perintah itu tidak diindahkan oleh RI Gadjah Mada, bahkan Letnan I Samadikun selaku pimpinan latihan memerintahkan kapal patroli yang menyertai RI Gadjah Mada untuk mengundurkan diri ke arah Barat, sedangkan RI Gadjah Mada berupaya mendekati kapal Belanda. Tak pelak tembak-menembak terjadi antara keduanya.

Di pertarungan yang tak seimbang tersebut kapal Belanda terus menghujani RI Gadjah Mada dengan tembakan meriam walaupun RI Gadjah Mada tetap melakukan serangan balasan, namun kerusakan parah yang ditimbulkan dari hujan meriam menyebabkan terganggunya laju kapal dan kebakaran hebat. Setelah dihajar tembakan meriam ke-14, RI Gadjah Mada perlahan mulai miring dan tenggelam beserta seluruh kru yang ada di dalamnya. Letnan I Samadikun merupakan salah satu korban yang ikut tenggelam.

Makam Kapt. (Anm) Samadikun di TMP Kesenden, Cirebon
(sumber: news.detik.com)
Sampai keesokan harinya di tanggal 6 Januari, Pangkalan III Cirebon masih belum mendapat kepastian akan jumlah korban karena seluruh korban diangkut ke atas kapal Belanda tersebut dan palang merah dari pihak Republik hanya mencatat 24 nama. Patrianto (dalam Meiliandi, 2015) menulis bahwa pada pukul 11.30 beberapa nelayan yang kala itu sedang melaut menemukan jenazah yang tak lagi utuh dengan hanya menyisakan satu tangan lalu dilaporkan ke markas Pangkalan III ALRI Cirebon, yang kemudian dengan cepat dikenali sebagai jenazah Letnan I Samadikun, sang komandan kapal RI Gadjah Mada.

Setelah diketemukannya jenazah Samadikun, di hari yang sama Pangkalan III Cirebon segera mengumumkan masa berkabung karena keberanian sang komandan dalam mempertahankan kehormatan negara dengan bertempur sampai titik darah penghabisan. Sebagai penghormatan, secara anumerta pangkatnya dinaikan satu tingkat lebih tinggi menjadi Kapten Anumerta, dan namanya diabadikan sebagai nama jalan di wilayah pesisir Kota Cirebon; Jalan Kapten Samadikun.

Dimana Bangkai RI Gadjah Mada?

Sampai saat ini, dalam berbagai literatur yang mengangkat peristiwa Pertempuran Laut Cirebon, tidak pernah digambarkan nasib dari kapal RI Gadjah Mada. Dengan kondisi yang terbakar hebat dan koyak dihajar meriam bertubi-tubi, kondisi kapal tersebut tentu tak terlalu baik meskipun secara umum bentuk kapal masih dapat terlihat. Dan berdasarkan lokasi terakhir, RI Gadjah Mada diduga tenggelam di sekitar Utara Laut Cirebon.

Setelah 71 tahun peristiwa tersebut lewat, sepengetahuan saya belum pernah ada studi komprehensif untuk meneliti bangkai RI Gadjah Mada, padahal selain sebagai tinggalan perang yang menyimpan nilai sejarah, bangkai RI Gadjah Masa termasuk ke dalam kuburan perang (war grave) yang keberadaan patut dijaga sebagai lambang penghormatan kepada para pejuang kemerdekaan. Di Indonesia sendiri, riset mengenai bangkai kapal tinggalan perang belum menjadi perhatian utama para peneliti dan akademisi, selain karena belum banyak yang mengkhususkan diri pada studi arkeologi bawah air, riset tersebut banyak memiliki persinggungan dengan berbagai disiplin ilmu lain yang cukup rumit seperti sejarah, ilmu budaya, oseanografi bahkan teknik perkapalan.

Akhirnya, sedikit demi sedikit kabut mengenai RI Gadjah Mada mulai memudar seiring hadirnya kabar pada Oktober 2018 bahwa Pemerintah Kota Cirebon bersama dengan Lanal Cirebon akan membangun Monumen RI Gadjah Mada 408 di atas lokasi tenggelamnya kapal tersebut yang baru diketemukan kembali oleh tim dari Lanal Cirebon beberapa waktu lalu, tepatnya di titik koordinat 06 40 066 S-108 35 847 E atau empat mil dari lepas pantai Cirebon. Sebelum membangun monumen tersebut, terlebih dahulu dipancang tiang pertama sebagai penanda pembangunan yang sedianya akan dibiayai dari APBD Kota Cirebon dan APBD Provinsi Jawa Barat. Tak hanya sekadar bangunan fisik, karena diharapkan monumen tersebut akan menimbulkan multiplier effects bagi sektor perekonomian dan pariwisata Kota Cirebon, bahkan sudah digadang-gadang lokasi tersebut akan menjadi spot olahraga menyelam (diving) sebagai ikon baru pariwisata Cirebon. 

Pemancangan Tiang Pertama Monumen RI Gadjah Mada 408 oleh Pj. Walikota Cirebon dan Danlanal Cirebon
(sumber: jabarnews.com)

Kabar tersebut menjadi titik pijak baru bagi upaya penelitian lanjutan mengenai Pertempuran Laut Cirebon maupun keberadaan bangkai RI Gadjah Mada. Perlu diteliti bagaimana kondisinya di bawah air sana dan hasilnya diekspos ke publik. Jangan sampai kemudian kita membangun monumennya namun tidak mengetahui kondisi sesungguhnya dari RI Gadjah Mada, apakah sudah semakin tak utuh karena faktor kimiawi yang menyebabkan komponen kapal tersebut rontok dengan sendirinya, atau malah sudah dijarah oleh sindikat pengumpul besi tua maupun penjarah kapal karam yang beroperasi di sepanjang Utara Laut Jawa yang tak memperdulikan sejarah demi keuntungan ekonomi tinggi semata.


Daftar Bacaan

Azhari, Rifky. 2012. “Reorganisasi dan Rasionalisasi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) 1948-1950: Dari Pembentukan Komisi Reorganisasi (KRAL) hingga Terbentuknya Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL)”. Skripsi pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Meiliadin, Riean. 2015. “Peranan Pasukan Kancil Merah pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia II di Cirebon 1948-1949”. Skripsi pada Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta: Tidak Diterbitkan.

Stevia, Taman. 2010. “Strategi Pertahanan Laut Nusantara dalam Menghadapi Provokasi Malaysia di Ambalat”. Tesis pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia: Tidak Diterbitkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar