Sebagai warga Kota Cirebon yang telah hidup di kota ini selama lebih kurang 20 tahun terakhir, saya selalu tertarik untuk mencari tahu tentang sejarah dari segala peristiwa yang pernah terjadi di Kota Cirebon. Dan bagi saya bukanlah perkara yang mudah untuk mengungkap hal tersebut, karena selain keterbatasan bahan yang bisa dibaca atau didapat, yang paling mendasar ialah kita lemah dalam mendokumentasikan segala sesuatu yang pernah terjadi atau dialami, terlebih jika peristiwa tersebut terjadi di masa-masa krusial dimana orang-orang tak memperdulikan aspek penting dokumentasi, seperti di masa Perang Kemerdekaan 1945-1949.
Dalam masa krusial tersebut,
banyak peristiwa yang terjadi di aras lokal yang luput dalam historiografi
nasional, padahal sekecil apapun skala peristiwa tersebut sesungguhnya ia turut
mempengaruhi jalannya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Nah, salah satu yang
luput dan jarang menjadi pembicaraan adalah peristiwa Pertempuran Laut Cirebon
yang terjadi pada tanggal 5 Januari 1947.
Berdirinya
Pangkalan III Cirebon
Sejak ratusan tahun yang
lalu, perairan dan pelabuhan Cirebon telah dikenal sebagai simpul dari lalu
lintas perdagangan di wilayah Pantai Utara Jawa sehingga memiliki arti penting
tersendiri. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR)-Laut Cirebon pada tahun
1945 pun tak lepas dari misi tersebut, yakni guna memelihara keamanan dan
ketertiban di sekitaran perairan Cirebon. Dengan pucuk pimpinan antara lain
Idma Kartadisastra, R.A. Girwo, dan Tirtaatmadja, BKR-Laut Cirebon terus mengembangkan
kemampuan dari segi personel maupun persenjataan sampai kemudian BKR-Laut
bersalin nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR)-Laut pada 5 Oktober 1945,
berubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI)-Laut pada 24 Januari
1946, dan terakhir menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada 19 Juli
1946 (Meiliadin, 2015). Seiring dengan perubahan nama tersebut dilaksanakan
pula reorganisasi yang berimbas pada pembentukan Pangkalan III Cirebon di bawah
kepemimpinan Laksamana III Adam yang kemudian diganti oleh Kolonel H.P.
Simanjuntak (Azhari, 2012). Tugas pertama prajurit laut Cirebon antara lain menjaga proses pengangkutan beras bantuan Indonesia ke kapal-kapal milik India di Pelabuhan Cirebon pada April 1946 sebagai bentuk 'diplomasi beras' Perdana Menteri Sutan Sjahrir sebanyak 500.000 ton guna membantu India yang sedang mengalami krisis pangan.
Dengan segala
keterbatasannya Pangkalan III Cirebon melengkapi persenjataan lewat berbagai
cara, salah satunya lewat barter yang dilakukan dengan pihak Singapura, yang berhasil
menambah armada lautnya antara lain terdiri dari kapal jenis Coaster dengan nama RI Gadjah Mada sebagai
kapal pimpinan, 2 buah kapal motor dengan nama Surapringga dan Antareja, 1 kapal
tarik dengan nama Semar, dan 4 buah kapal patroli, disamping dengan adanya
beberapa kapal kayu bekas Jawa Unko
Kaisya serta sejumlah perahu nelayan (Azhari, 2012). Dengan kekuatan yang
sederhana tersebut, pasukan ALRI tetap melaksanakan gelar operasi walaupun
hanya sebatas operasi lintas laut dengan melancarkan konsep pertahanan linier,
dimana hanya mengandalkan kondisi medan yang ada di wilayah yang akan dilintasi
musuh (Stevia, 2010).
Kronologi
Pertempuran Laut Cirebon
Sebagaimana dicatat
Meiliadin (2015), dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kewaspadaan para
pelaut di Pangkalan III Cirebon, bersama dengan unsur angkatan darat dilaksanakan
latihan gabungan di perairan Cirebon pada tanggal 1 sampai 5 Januari 1947. RI
Gadjah Mada sebagai kapal pimpinan bernomor lambung 408 dipimpin oleh Letnan I
Samadikun, yang mengikutsertakan pula kapal tunda Semar, kapal motor Antareja,
kapal patroli P-8 dan P-9.
![]() |
RI Gadjah Mada dengan Nomor Lambung 408 (sumber: merdeka.com) |
Selama latihan berlangsung, keganjilan terasa karena terdapat kapal perang Belanda yang terus melakukan pengintaian dari jarak jauh yang memuncak pada tanggal 5 Januari pukul 05.30 ketika kapal Belanda tersebut secara tiba-tiba berada di sebelah Timur Pelabuhan Cirebon. Pada jam 06.00 saat iring-iringan RI Gadjah Mada sedang berlayar ke Utara mereka bertemu dengan kapal Belanda tersebut yang memberikan isyarat untuk berhenti, namun isyarat berbentuk perintah itu tidak diindahkan oleh RI Gadjah Mada, bahkan Letnan I Samadikun selaku pimpinan latihan memerintahkan kapal patroli yang menyertai RI Gadjah Mada untuk mengundurkan diri ke arah Barat, sedangkan RI Gadjah Mada berupaya mendekati kapal Belanda. Tak pelak tembak-menembak terjadi antara keduanya.
Di pertarungan yang tak
seimbang tersebut kapal Belanda terus menghujani RI Gadjah Mada dengan tembakan
meriam walaupun RI Gadjah Mada tetap melakukan serangan balasan, namun
kerusakan parah yang ditimbulkan dari hujan meriam menyebabkan terganggunya
laju kapal dan kebakaran hebat. Setelah dihajar tembakan meriam ke-14, RI
Gadjah Mada perlahan mulai miring dan tenggelam beserta seluruh kru yang ada di
dalamnya. Letnan I Samadikun merupakan salah satu korban yang ikut tenggelam.
![]() |
Makam Kapt. (Anm) Samadikun di TMP Kesenden, Cirebon (sumber: news.detik.com) |
Sampai keesokan harinya di
tanggal 6 Januari, Pangkalan III Cirebon masih belum mendapat kepastian akan
jumlah korban karena seluruh korban diangkut ke atas kapal Belanda tersebut dan
palang merah dari pihak Republik hanya mencatat 24 nama. Patrianto (dalam Meiliandi, 2015) menulis bahwa pada pukul 11.30 beberapa nelayan yang kala itu sedang melaut menemukan jenazah yang tak lagi utuh dengan hanya menyisakan satu tangan lalu dilaporkan ke
markas Pangkalan III ALRI Cirebon, yang kemudian dengan
cepat dikenali sebagai jenazah Letnan I Samadikun, sang komandan kapal RI
Gadjah Mada.
Setelah diketemukannya
jenazah Samadikun, di hari yang sama Pangkalan III Cirebon segera mengumumkan
masa berkabung karena keberanian sang komandan dalam mempertahankan kehormatan
negara dengan bertempur sampai titik darah penghabisan. Sebagai penghormatan, secara
anumerta pangkatnya dinaikan satu tingkat lebih tinggi menjadi Kapten Anumerta, dan namanya
diabadikan sebagai nama jalan di wilayah pesisir Kota Cirebon; Jalan Kapten
Samadikun.
Dimana
Bangkai RI Gadjah Mada?
Sampai saat ini, dalam
berbagai literatur yang mengangkat peristiwa Pertempuran Laut Cirebon, tidak
pernah digambarkan nasib dari kapal RI Gadjah Mada. Dengan kondisi yang
terbakar hebat dan koyak dihajar meriam bertubi-tubi, kondisi kapal tersebut
tentu tak terlalu baik meskipun secara umum bentuk kapal masih dapat terlihat.
Dan berdasarkan lokasi terakhir, RI Gadjah Mada diduga tenggelam di sekitar
Utara Laut Cirebon.
Setelah 71 tahun peristiwa
tersebut lewat, sepengetahuan saya belum pernah ada studi komprehensif untuk
meneliti bangkai RI Gadjah Mada, padahal selain sebagai tinggalan perang yang
menyimpan nilai sejarah, bangkai RI Gadjah Masa termasuk ke dalam kuburan
perang (war grave) yang keberadaan patut dijaga sebagai lambang
penghormatan kepada para pejuang kemerdekaan. Di Indonesia sendiri, riset
mengenai bangkai kapal tinggalan perang belum menjadi perhatian utama para
peneliti dan akademisi, selain karena belum banyak yang mengkhususkan diri pada
studi arkeologi bawah air, riset tersebut banyak memiliki persinggungan dengan
berbagai disiplin ilmu lain yang cukup rumit seperti sejarah, ilmu budaya,
oseanografi bahkan teknik perkapalan.
Akhirnya, sedikit demi sedikit
kabut mengenai RI Gadjah Mada mulai memudar seiring hadirnya kabar pada Oktober
2018 bahwa Pemerintah Kota Cirebon bersama dengan Lanal Cirebon akan membangun
Monumen RI Gadjah Mada 408 di atas lokasi tenggelamnya kapal tersebut yang baru
diketemukan kembali oleh tim dari Lanal Cirebon beberapa waktu lalu, tepatnya
di titik koordinat 06 40 066 S-108 35 847 E atau empat mil dari lepas pantai
Cirebon. Sebelum membangun monumen tersebut, terlebih dahulu dipancang tiang
pertama sebagai penanda pembangunan yang sedianya akan dibiayai dari APBD Kota
Cirebon dan APBD Provinsi Jawa Barat. Tak hanya sekadar bangunan fisik, karena
diharapkan monumen tersebut akan menimbulkan multiplier effects bagi
sektor perekonomian dan pariwisata Kota Cirebon, bahkan sudah digadang-gadang
lokasi tersebut akan menjadi spot olahraga menyelam (diving) sebagai
ikon baru pariwisata Cirebon.
![]() |
Pemancangan Tiang Pertama Monumen RI Gadjah Mada 408 oleh Pj. Walikota Cirebon dan Danlanal Cirebon (sumber: jabarnews.com) |
Kabar tersebut menjadi titik pijak baru bagi upaya penelitian lanjutan mengenai Pertempuran Laut Cirebon maupun keberadaan bangkai RI Gadjah Mada. Perlu diteliti bagaimana kondisinya di bawah air sana dan hasilnya diekspos ke publik. Jangan sampai kemudian kita membangun monumennya namun tidak mengetahui kondisi sesungguhnya dari RI Gadjah Mada, apakah sudah semakin tak utuh karena faktor kimiawi yang menyebabkan komponen kapal tersebut rontok dengan sendirinya, atau malah sudah dijarah oleh sindikat pengumpul besi tua maupun penjarah kapal karam yang beroperasi di sepanjang Utara Laut Jawa yang tak memperdulikan sejarah demi keuntungan ekonomi tinggi semata.
Daftar
Bacaan
Azhari, Rifky. 2012. “Reorganisasi
dan Rasionalisasi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) 1948-1950:
Dari Pembentukan Komisi Reorganisasi (KRAL) hingga Terbentuknya Korps Komando
Angkatan Laut (KKO-AL)”. Skripsi pada
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia:
Tidak Diterbitkan.
Meiliadin, Riean. 2015. “Peranan
Pasukan Kancil Merah pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia II di Cirebon
1948-1949”. Skripsi pada Fakultas
Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta: Tidak Diterbitkan.
Stevia, Taman. 2010. “Strategi
Pertahanan Laut Nusantara dalam Menghadapi Provokasi Malaysia di Ambalat”. Tesis pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia: Tidak Diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar