Sabtu, 03 Februari 2018

Tugas Perbantuan: "Buah" Sinergitas TNI-Polri

Setelah Marsekal TNI Hadi Tjahjanto terpilih sebagai Panglima TNI yang baru pada bulan Desember 2017, saya melihat upaya membangun sinergi antara TNI dan Polri nampak semakin nyata; antara lain ketika Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian bersama jajaran pejabat teras Polri berkunjung ke Mabes TNI pada 11 Desember 2017 dimana saat itu Panglima Hadi berjanji akan berkunjung ke Polres-Polres jika ia sedang mengadakan kunjungan kerja, kemudian ketika Hadi –yang ketika itu masih merangkap jabatan sebagai KSAU- memberikan brevet penerbang kehormatan kepada Kapolri, KSAD Jenderal TNI Mulyono dan KSAL Laksamana TNI Ade Supandi yang mana dalam kesempatan tersebut mereka menunjukkan momen kebersamaan yang cukup erat sampai-sampai foto mereka berempat menjadi “lambang” sinergitas TNI-Polri yang dipajang di hampir semua markas Komando Kewilayahan TNI, dan yang terakhir ketika TNI bersama Polri mengadakan Rapat Pimpinan di Mabes TNI Cilangkap yang dihadiri oleh semua jajaran pimpinan di lintas komando serta satuan kedua institusi pada akhir Januari 2018 lalu. 

Membangun sinergi, kebersamaan antara kedua aktor keamanan ini sangatlah penting agar mampu menjalankan tugas secara efektif, profesional, dan mendapat pengakuan positif di mata publik. Beberapa kasus bentrokan yang terjadi antara personel TNI dan anggota Polri dianggap menjadi konsekuensi apabila sinergi tersebut tak terbangun dengan baik, sehingga dapat dipastikan concern dari semua komandan serta kepala kedua institusi ini salah satunya ialah membangun kebersamaan sebagai “satu saudara”. Kebersamaan Panglima Hadi dan Kapolri Tito dalam banyak kesempatan, di antaranya yang paling epik ketika hadir sekaligus berbincang bersama dalam program televisi Mata Najwa merupakan sebuah sinyal bahwa TNI-Polri berada dalam relasi yang sangat positif.

Panglima TNI dan Kapolri dalam kunjungan kerja ke Mabes TNI Cilangkap, 11 Desember 2017
(viva.co.id)

Namun di penghujung akhir Januari lalu, muncul pemberitaan bahwa TNI dan Polri, yang diwakili oleh Panglima Hadi dan Kapolri Tito menandatangai Nota Kesepahaman Nomor B/2/I/2018 Nomor Kerma/2/I/2018 tentang Perbantuan Tentara Nasional Indonesia kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Rangka Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, yang intinya sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat (2) yakni TNI melakukan tugas perbantuan kepada Polri dalam (a) menghadapi unjuk rasa maupun mogok kerja; (b) menghadapi kerusuhan massa, (c) menangani konflik sosial, (d) mengamankan kegiatan masyarakat dan/atau pemerintah di dalam negeri yang bersifat lokal, nasional, maupun internasional yang mempunyai kerawanan; dan (e) situasi lain yang memerlukan bantuan TNI sesuai peraturan perundang-undangan.

Lahirnya MoU tersebut saya yakin tak lepas dari bingkai sinergitas yang sedang giat-giatnya dibangun oleh 2 institusi tersebut, tetapi yang menjadi permasalahan ialah sinergitas tersebut membawa TNI dan Polri pada permasalahan klasik tentang fenomena perbantuan militer yang masih menjadi kontroversi di tengah ketiadaan regulasi yang mengatur tugas tersebut, yakni UU Perbantuan TNI yang masih menjadi kesimpang-siuran di kalangan eksekutif maupun legislatif.

Dalam terminologi militer, tugas perbantuan termaktub dalam sebuah konsep bernama Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang menjadi pembeda dari Operasi Militer untuk Perang (OMP) yang terbagi  atas dasar misi yang sedang dilaksanakan. Jika OMP merupakan “kerja utama’ dari militer yang dibentuk dan dilatih untuk berperang dalam mempertahankan kedaulatan Negara, maka OMSP lebih didominasi oleh tugas-tugas kemanusiaan –yang bersifat sipil- yang bukan merupakan tugas inti militer sehingga hanya bersifat temporer serta terbatas. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjabarkan 14 poin OMSP yang legal dilakukan oleh TNI, yakni:

Operasi Militer Selain Perang
1) Mengatasi gerakan separatis
bersenjata.
2) Mengatasi pemberontakan
bersenjata.
3) Mengatasi aksi terorisme.
4) Mengamankan wilayah perbatasan.
5) Mengamankan obyek vital nasional
yang bersifat strategis.
6) Melaksanakan tugas perdamaian
dunia sesuai dengan kebijakan politik
luar negeri.
7) Mengamankan presiden dan wakil
presiden RI beserta keluarganya.
8) Memberdayakan wilayah pertahanan
dan kekuatan pendukungnya secara
dini dalam rangka sistem pertahanan
semesta.

9) Membantu tugas pemerintahan di
daerah.
10) Membantu Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam rangka
tugas keamanan dan ketertiban
masyarakat.
11) Mengamankan tamu negara
setingkat Kepala Negara dan
Perwakilan Asing.
12) Membantu menanggulangi akibat
bencana alam, pengungsian dan
pemberian bantuan kemanusiaan.
13) Membantu pencarian dan
pertolongan dalam kecelakaan
(SEARCH AND RESCUE).
14) Membantu pemerintah untuk
pengamanan pelayaran dan
penerbangan terhadap pembajakan,
perompakan dan penyelundupan.

Di poin nomor 10 disebutkan bahwa salah satu OMSP ialah “membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat” sehingga dari kacamata hukum langkah TNI melakukan perbantuan kepada Polri legal dilakukan, tetapi, sebagaimana menurut Falaakh (2005), perbantuan TNI dalam menjalankan fungsi kepolisian harus didasarkan pada keputusan Presiden, dan keputusan Presiden tersebut dikeluarkan berdasarkan penilaian bahwa telah terjadi gangguan keamanan yang berada di luar kemampuan kepolisian untuk menanganinya. Selain itu, tugas perbantuan yang diwujudkan dalam OMSP merupakan pilihan terakhir (last resort) ketika instansi sipil (seperti halnya kepolisian) tak mungkin lagi melakukan penguatan kapabilitas dan kapabilitas tersebut hanya dimiliki oleh kekuatan militer (Mengko, 2015). Sehingga TNI boleh melakukan perbantuan jika sudah ditentukan oleh garis politik tertinggi negara dan dalam keadaan yang sangat darurat.

Nah, mari kita lihat realita yang terjadi.

Pertama, Nota Kesepahaman tersebut dibuat oleh Mabes TNI yang diwakili Panglima TNI dan Mabes Polri yang diwakili Kapolri, bukan oleh tataran eksekutif yang berbentuk Keputusan Presiden. Hal ini jelas melanggar karena TNI dan Polri adalah alat keamanan negara yang tak memiliki wewenang untuk memobilisir kekuatan tanpa adanya keputusan politik negara, apalagi  MoU tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak termasuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahkan dalam wawancara dengan tirto.id pada 7 Desember 2017, mantan Kepala BAIS TNI Laksamana Muda (Purn) Soleman B. Ponto mengecam adanya penandatanganan MoU yang dilakukan oleh TNI bersama dengan lembaga-lembaga sipil pemerintahan, selain karena tak memiliki dasar hukum untuk melakukan hal tersebut, lebih jauh lagi Soleman melihat bahwa sesungguhnya Panglima TNI beserta Mabes TNI inkonstitusional karena keberadaannya tak disebutkan dalam Undang-Undang Dasar.

Kedua, dalam pandangan saya jika MoU tersebut diteken dalam rangka mengantisipasi kerawanan yang muncul, utamanya karena dalam waktu dekat akan diselenggarakan Pilkada Serentak di 17 Provinsi, 35 Kota, dan 115 Kabupaten, apakah Polri dianggap tidak mampu menghadapi keadaan? Jika kemudian dianggap tak mampu misal karena keterbatasan jumlah personel, apakah sudah didahului dengan assessment yang dilakukan oleh sebuah tim khusus? Ketika pada prakteknya TNI telah diperbantukan kepada Polri dalam tugas-tugas pengamanan Pilkada Serentak –meskipun di bawah kendali operasi (BKO) Polri- apakah hal tersebut dibenarkan? Dan setelah Pilkada Serentak berakhir, apakah kita masih berada dalam keadaan “darurat” sehingga dalam tugas-tugas yang menjadi core bussiness-nya Polri dianggap tak mampu?

Dalam hal ini, tugas perbantuan TNI kepada Polri baik pada saat Pilkada Serentak, ataupun dalam kondisi yang kiranya TNI perlu masuk membantu Polri harus didasarkan pada Keputusan Presiden, sehingga Presiden wajib melakukan kontrol sipil yang ketat kepada 2 institusi tersebut, dan jangka panjangnya Pemerintah bersama DPR mesti segera merumuskan UU Perbantuan TNI untuk memberikan pengaturan secara gamblang kepada TNI dalam melakukan OMSP yang draftnya telah mengendap selama lebih dari 10 tahun.

Yang menarik, sampai sejauh ini belum ada tanggapan resmi dari pihak Istana maupun Presiden Joko Widodo sendiri dalam melihat dikeluarkannya Nota Kesepahaman tersebut. Apakah dengan diamnya Presiden ini berarti menunjukkan tanda “tidak ada masalah” atau malah menyetujui perbantuan TNI kepada Polri tersebut? Jika benar hal itu terjadi, berarti Presiden tidak memahami konsep reformasi sektor keamanan yang telah dirintis sejak lama, dan apabila langkah-langkah tersebut dibiarkan tanpa ada kontrol sipil yang kuat, maka sama saja dengan melakukan pembiaran terhadap mundurnya capaian reformasi sektor keamanan.



Daftar Bacaan

Falaakh, Mohammad Fajrul. 2005. “Tugas Perbantuan Tentara Nasional Indonesia (TP-TNI)”. Disampaikan pada Executive Course tentang Reformasi Sektor Keamanan untuk Tenaga Ahli DPR, Jakarta, 14 – 18 Desember 2005.  

Mengko, Diandra Megaputri. 2015. “Problematika Tugas Perbantuan TNI”, Jurnal Keamanan Nasional Vol. 1 (2): 175-196.

Sumandoyo, Arbi. 07/12/2017. “Laksda (Purn) Soleman B. Ponto: Bubarkan Mabes TNI Karena Bertabrakan dengan UUD”, tirto.id (https://tirto.id/bubarkan-mabes-tni-karena-bertabrakan-dengan-uud-cBir).

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar