Setelah Marsekal TNI Hadi
Tjahjanto terpilih sebagai Panglima TNI yang baru pada bulan Desember 2017, saya
melihat upaya membangun sinergi antara TNI dan Polri nampak semakin nyata;
antara lain ketika Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian bersama jajaran
pejabat teras Polri berkunjung ke Mabes TNI pada 11 Desember 2017 dimana saat
itu Panglima Hadi berjanji akan berkunjung ke Polres-Polres jika ia sedang
mengadakan kunjungan kerja, kemudian ketika Hadi –yang ketika itu masih
merangkap jabatan sebagai KSAU- memberikan brevet penerbang kehormatan kepada Kapolri,
KSAD Jenderal TNI Mulyono dan KSAL Laksamana TNI Ade Supandi yang mana dalam
kesempatan tersebut mereka menunjukkan momen kebersamaan yang cukup erat
sampai-sampai foto mereka berempat menjadi “lambang” sinergitas TNI-Polri yang
dipajang di hampir semua markas Komando Kewilayahan TNI, dan yang terakhir
ketika TNI bersama Polri mengadakan Rapat Pimpinan di Mabes TNI Cilangkap yang
dihadiri oleh semua jajaran pimpinan di lintas komando serta satuan kedua
institusi pada akhir Januari 2018 lalu.
Membangun sinergi,
kebersamaan antara kedua aktor keamanan ini sangatlah penting agar mampu
menjalankan tugas secara efektif, profesional, dan mendapat pengakuan positif
di mata publik. Beberapa kasus bentrokan yang terjadi antara personel TNI dan
anggota Polri dianggap menjadi konsekuensi apabila sinergi tersebut tak
terbangun dengan baik, sehingga dapat dipastikan concern dari semua komandan serta kepala kedua institusi ini salah
satunya ialah membangun kebersamaan sebagai “satu saudara”. Kebersamaan
Panglima Hadi dan Kapolri Tito dalam banyak kesempatan, di antaranya yang
paling epik ketika hadir sekaligus berbincang bersama dalam program televisi
Mata Najwa merupakan sebuah sinyal bahwa TNI-Polri berada dalam relasi yang
sangat positif.
![]() |
Panglima TNI dan Kapolri dalam kunjungan kerja ke Mabes TNI Cilangkap, 11 Desember 2017 (viva.co.id) |
Namun di penghujung akhir Januari lalu, muncul pemberitaan bahwa TNI dan Polri, yang diwakili oleh Panglima Hadi dan Kapolri Tito menandatangai Nota Kesepahaman Nomor B/2/I/2018 Nomor Kerma/2/I/2018 tentang Perbantuan Tentara Nasional Indonesia kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Rangka Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, yang intinya sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat (2) yakni TNI melakukan tugas perbantuan kepada Polri dalam (a) menghadapi unjuk rasa maupun mogok kerja; (b) menghadapi kerusuhan massa, (c) menangani konflik sosial, (d) mengamankan kegiatan masyarakat dan/atau pemerintah di dalam negeri yang bersifat lokal, nasional, maupun internasional yang mempunyai kerawanan; dan (e) situasi lain yang memerlukan bantuan TNI sesuai peraturan perundang-undangan.
Lahirnya MoU tersebut saya
yakin tak lepas dari bingkai sinergitas yang sedang giat-giatnya dibangun oleh
2 institusi tersebut, tetapi yang menjadi permasalahan ialah sinergitas
tersebut membawa TNI dan Polri pada permasalahan klasik tentang fenomena
perbantuan militer yang masih menjadi kontroversi di tengah ketiadaan regulasi
yang mengatur tugas tersebut, yakni UU Perbantuan TNI yang masih menjadi kesimpang-siuran
di kalangan eksekutif maupun legislatif.
Dalam terminologi militer, tugas
perbantuan termaktub dalam sebuah konsep bernama Operasi Militer Selain Perang
(OMSP) yang menjadi pembeda dari Operasi Militer untuk Perang (OMP) yang
terbagi atas dasar misi yang sedang
dilaksanakan. Jika OMP merupakan “kerja utama’ dari militer yang dibentuk dan
dilatih untuk berperang dalam mempertahankan kedaulatan Negara, maka OMSP lebih
didominasi oleh tugas-tugas kemanusiaan –yang bersifat sipil- yang bukan
merupakan tugas inti militer sehingga hanya bersifat temporer serta terbatas. Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjabarkan 14 poin OMSP yang legal dilakukan
oleh TNI, yakni:
Operasi Militer Selain Perang
|
|
1)
Mengatasi gerakan separatis
bersenjata.
2)
Mengatasi pemberontakan
bersenjata.
3)
Mengatasi aksi terorisme.
4)
Mengamankan wilayah perbatasan.
5)
Mengamankan obyek vital nasional
yang
bersifat strategis.
6)
Melaksanakan tugas perdamaian
dunia
sesuai dengan kebijakan politik
luar
negeri.
7)
Mengamankan presiden dan wakil
presiden
RI beserta keluarganya.
8)
Memberdayakan wilayah pertahanan
dan
kekuatan pendukungnya secara
dini
dalam rangka sistem pertahanan
semesta.
|
9)
Membantu tugas pemerintahan di
daerah.
10)
Membantu Kepolisian Negara
Republik
Indonesia dalam rangka
tugas
keamanan dan ketertiban
masyarakat.
11)
Mengamankan tamu negara
setingkat
Kepala Negara dan
Perwakilan
Asing.
12)
Membantu menanggulangi akibat
bencana
alam, pengungsian dan
pemberian
bantuan kemanusiaan.
13)
Membantu pencarian dan
pertolongan
dalam kecelakaan
(SEARCH AND RESCUE).
14)
Membantu pemerintah untuk
pengamanan
pelayaran dan
penerbangan
terhadap pembajakan,
perompakan
dan penyelundupan.
|
Di poin nomor 10 disebutkan
bahwa salah satu OMSP ialah “membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat” sehingga dari kacamata
hukum langkah TNI melakukan perbantuan kepada Polri legal dilakukan, tetapi, sebagaimana menurut Falaakh
(2005), perbantuan TNI dalam menjalankan fungsi kepolisian harus didasarkan
pada keputusan Presiden, dan keputusan Presiden tersebut dikeluarkan
berdasarkan penilaian bahwa telah terjadi gangguan keamanan yang berada di luar
kemampuan kepolisian untuk menanganinya. Selain itu, tugas perbantuan yang
diwujudkan dalam OMSP merupakan pilihan terakhir (last resort) ketika instansi sipil (seperti halnya kepolisian) tak
mungkin lagi melakukan penguatan kapabilitas dan kapabilitas tersebut hanya
dimiliki oleh kekuatan militer (Mengko, 2015). Sehingga TNI boleh melakukan
perbantuan jika sudah ditentukan oleh garis politik tertinggi negara dan dalam
keadaan yang sangat darurat.
Nah, mari kita lihat realita
yang terjadi.
Pertama, Nota
Kesepahaman tersebut dibuat oleh Mabes TNI yang diwakili Panglima TNI dan Mabes
Polri yang diwakili Kapolri, bukan oleh tataran eksekutif yang berbentuk
Keputusan Presiden. Hal ini jelas melanggar karena TNI dan Polri adalah alat
keamanan negara yang tak memiliki wewenang untuk memobilisir kekuatan tanpa
adanya keputusan politik negara, apalagi MoU tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak
termasuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Bahkan dalam wawancara dengan tirto.id pada 7 Desember 2017, mantan Kepala BAIS TNI Laksamana
Muda (Purn) Soleman B. Ponto mengecam adanya penandatanganan MoU yang dilakukan
oleh TNI bersama dengan lembaga-lembaga sipil pemerintahan, selain karena tak
memiliki dasar hukum untuk melakukan hal tersebut, lebih jauh lagi Soleman
melihat bahwa sesungguhnya Panglima TNI beserta Mabes TNI inkonstitusional
karena keberadaannya tak disebutkan dalam Undang-Undang Dasar.
Kedua,
dalam pandangan saya jika MoU tersebut diteken dalam rangka mengantisipasi
kerawanan yang muncul, utamanya karena dalam waktu dekat akan diselenggarakan
Pilkada Serentak di 17 Provinsi, 35 Kota, dan 115 Kabupaten, apakah Polri
dianggap tidak mampu menghadapi keadaan? Jika kemudian dianggap tak mampu misal
karena keterbatasan jumlah personel, apakah sudah didahului dengan assessment yang dilakukan oleh sebuah
tim khusus? Ketika pada prakteknya TNI telah diperbantukan kepada Polri dalam
tugas-tugas pengamanan Pilkada Serentak –meskipun di bawah kendali operasi
(BKO) Polri- apakah hal tersebut dibenarkan? Dan setelah Pilkada Serentak
berakhir, apakah kita masih berada dalam keadaan “darurat” sehingga dalam
tugas-tugas yang menjadi core bussiness-nya
Polri dianggap tak mampu?
Dalam hal ini, tugas
perbantuan TNI kepada Polri baik pada saat Pilkada Serentak, ataupun dalam
kondisi yang kiranya TNI perlu masuk membantu Polri harus didasarkan pada
Keputusan Presiden, sehingga Presiden wajib melakukan kontrol sipil yang ketat
kepada 2 institusi tersebut, dan jangka panjangnya Pemerintah bersama DPR mesti segera merumuskan UU Perbantuan TNI untuk memberikan pengaturan secara gamblang
kepada TNI dalam melakukan OMSP yang draftnya telah mengendap selama lebih dari
10 tahun.
Yang menarik, sampai sejauh
ini belum ada tanggapan resmi dari pihak Istana maupun Presiden Joko Widodo
sendiri dalam melihat dikeluarkannya Nota Kesepahaman tersebut. Apakah dengan
diamnya Presiden ini berarti menunjukkan tanda “tidak ada masalah” atau malah
menyetujui perbantuan TNI kepada Polri tersebut? Jika benar hal itu terjadi,
berarti Presiden tidak memahami konsep reformasi sektor keamanan yang telah
dirintis sejak lama, dan apabila langkah-langkah tersebut dibiarkan tanpa ada
kontrol sipil yang kuat, maka sama saja dengan melakukan pembiaran terhadap
mundurnya capaian reformasi sektor keamanan.
Daftar Bacaan
Falaakh, Mohammad Fajrul.
2005. “Tugas Perbantuan Tentara Nasional Indonesia (TP-TNI)”. Disampaikan pada Executive Course tentang Reformasi Sektor
Keamanan untuk Tenaga Ahli DPR, Jakarta, 14 – 18 Desember 2005.
Mengko, Diandra Megaputri.
2015. “Problematika Tugas Perbantuan TNI”, Jurnal
Keamanan Nasional Vol. 1 (2): 175-196.
Sumandoyo, Arbi. 07/12/2017.
“Laksda (Purn) Soleman B. Ponto: Bubarkan Mabes TNI Karena Bertabrakan dengan
UUD”, tirto.id (https://tirto.id/bubarkan-mabes-tni-karena-bertabrakan-dengan-uud-cBir).
Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar