Jumat, 05 Mei 2017

Roesmin, Angkatan Udara, Orde Baru

David Jenkins dalam “Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983” (1984) membagi 2 lingkaran besar para jenderal-jenderal yang berkuasa di era Orde Baru, yakni lingkaran dalam Soeharto; yang terdiri dari Letjen Ali Moertopo, Jenderal Yoga Soegama, Jenderal Benny Moerdani, dan Laksamana Soedomo, dan lingkaran luar Soeharto; yakni Jenderal Maraden Panggabean, Jenderal Soemitro, Jenderal M. Jusuf, Jenderal Widodo, Jenderal Darjatmo, dan Letjen Sutopo Juwono. 

Terlepas dari pertanyaan mengapa beberapa nama penting lain tidak masuk dalam daftar di lingkaran, seperti Mayjen Soedjono Humardhani, Letjen Ibnu Sutowo, Letjen Sudharmono, Jenderal Amir Machmud atau Jenderal Surono, jika kita menganalisis sejarah panjang Orde Baru, nama-nama diatas adalah para “orang kuat” yang menjadi benteng utama tegaknya rezim ini, yang dengan ditopang Dwifungsi ABRI, mereka membentuk struktur dominasi militer sehingga mampu mengendalikan kehidupan seluruh negara, mulai dari kebijakan luar negeri sampai kehidupan masyarakat di desa-desa. Mereka yang masuk lingkaran dalam ialah mereka yang tidak hanya memiliki hubungan tugas dengan Soeharto, tetapi juga kedekatan pribadi yang telah menjadi rahasia umum, seperti Ali-Yoga yang merupakan rekan Soeharto sejak di Kodam Diponegoro dan Kostrad, Soedomo yang telah dikenal Soeharto sejak di Operasi Mandala Pembebasan Irian Barat, serta Benny yang sudah dipercaya Soeharto menjadi security officer dalam tahun-tahun pertama kepresidenannya.

Yang menarik, selain Soedomo yang Angkatan Laut, tidak ada jenderal dari matra lain yang masuk dalam lingkaran kedekatan Soeharto, baik luar maupun dalam. Pilihan Soeharto yang dominan “hijau” dapat dipahami karena ia sendiri adalah jenderal Angkatan Darat yang tentunya memilih orang-orang yang sudah lama dikenalnya sejak di Kodam Diponegoro, Kostrad, ataupun ketika terlibat Operasi Mandala Pembebasan Irian Barat. Terlebih lagi, ia adalah sosok yang sulit ditebak akan memberikan kepercayaannya kepada siapa, seperti contoh Benny Moerdani yang sebelum “ditemukan” Soeharto dan ditarik ke Jakarta, Benny hanyalah seorang Konsul Jenderal yang bertugas di Korea Selatan yang menyadari dirinya akan menghabiskan karir sebagai pegawai korps diplomatik, namun secara tak terduga kurang dari 15 tahun Soeharto memberikannya jabatan Panglima ABRI yang sangat powerful (Said, 2016).

Mumpung masih belum jauh dari HUT TNI-Angkatan Udara yang ke 71 tanggal 9 April lalu, mari kita coba jawab pertanyaan ini: Adakah perwira tinggi Angkatan Udara yang dipercaya Soeharto memegang jabatan penting dalam waktu yang lama sebagaimana ia mempercayai jenderal-jenderal Angkatan Darat-nya selama 32 tahun Orde Baru? Dan jika kita berusaha untuk menjawab pertanyaan ini dengan menganalisis siapa-siapa saja jenderal Angkatan Udara yang pernah diberikan tanggungjawab yang cukup lama oleh Soeharto baik di dalam ataupun di luar kabinetnya, setidaknya kita akan menemukan 2 nama; Marsekal Roesmin Noerjadin dan Marsekal Madya Ginandjar Kartasasmita. Dalam tulisan ini, saya akan bercerita tentang Roesmin (1930-1994), arek Malang penjelajah angkasa Nusantara.

Kondisi Politik dan Kedekatan dengan AD

Sebelum terhisap lebih dalam ke pusaran kekuasaan Orde Baru, Roesmin Noerjadin dikenal sebagai salah satu pilot tempur terbaik Angkatan Udara yang kemudian menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Udara menggantikan Marsekal Sri Mulyono Herlambang yang “dikudeta” oleh para perwira Angkatan Udara yang pro-Kostrad (atau dapat pula dipahami sebagai pro-Soeharto yang sedang berupaya mengambil alih kekuasaan Soekarno). 

Terkait perpindahan kepemimpinan Angkatan Udara dari Sri Mulyono ke Roesmin ini, Humaidi menuliskannya dengan apik dalam tesisnya berjudul “Politik Militer Angkatan Udara Republik Indonesia dalam Pemerintahan Sukarno 1962-1966” (2008). Dalam tesisnya, Humaidi menjelaskan bahwa sempat terjadi perselisihan hebat antara perwira Angkatan Udara (selanjutnya sesuai dengan nama saat itu disingkat sebagai AURI) pro-Soekarno dipimpin oleh Sri Mulyono yang masih menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Udara dan perwira yang menuntut kepemimpinan figur yang lebih bersih yang dipimpin Komodor Suyitno Sukirno. Secara terang-terangan dalam suatu rapat internal AURI, kubu Suyitno menuntut mundurnya Sri Mulyono untuk menjaga kesatuan AURI, dan hal tersebut dipahami Sri Mulyono karena memang selama memimpin ia menghadapi banyak kesulitan, utamanya dari Angkatan Darat yang sulit diajak bekerja sama. Oleh karenanya, pada 23 Maret 1966, Sri Mulyono mengajukan surat pengunduran diri sebagai Men/Pangau kepada Presiden Soekarno, namun pengunduran diri tersebut tidak diiyakan Presiden sehingga secara legal-formal, Sri Mulyono masih menjabat sebagai Men/Pangau.

Masih menurut Humaidi (2008), ketika mendengar kabar pengunduran diri Sri Mulyono, Dewan AURI segera menunjuk Deputi Operasi Men/Pangau Roesmin Noerjadin sebagai Ketua Dewan AURI untuk memusyawarahkan nama Men/Pangau yang baru. Dengan segera Roesmin mengundang para perwira AURI ke Lanud Halim Perdanakusumah pada 28 Maret 1966 untuk mencari nama yang cocok menjadi Men/Pangau. Tetapi di saat yang bersamaan, Sri Mulyono yang ternyata masih menjabat juga mengadakan rapat di Mabes AURI Tanah Abang, sehingga kubu Suyitno dan Roesmin dengan segera melihat bahwa rapat di Mabes AURI sebagai rapat tandingan untuk menghimpun kekuatan di kubu Sri Mulyono. Ketegangan muncul saat Suyitno, Roesmin, dan Leo Wattimena datang ke Mabes AURI untuk meminta penjelasan atas rapat yang sedang diselenggarakan, dan ketegangan semakin memuncak ketika Suyitno mengajak duel Sri Mulyono dengan pistol, yang pada akhirnya tidak terjadi. 

Kejadian di atas kemudian dilihat sebagai upaya kudeta yang mengandalkan kekerasan tanpa mengindahkan adanya forum musyawarah yang telah disediakan untuk menyelesaikan permasalahan. Lalu, beberapa hari setelah kejadian tersebut, Sri Mulyono yang hendak menyingkir ke Bandung untuk beristirahat dicegat dan ditangkap pasukan Angkatan Darat (Kodam V/Jaya) serta dibawa kembali ke Jakarta untuk dijadikan tahanan rumah. Disaat Sri Mulyono menjadi tahanan rumah inilah posisi Men/Pangau diisi oleh Roesmin Noerjadin melalui pelantikan di depan Presiden Soekarno pada 7 April 1966.  


(ki-ka) Roesmin, Men/Pangak Soetjipto Joedodihardjo, Men/Pangal Moeljadi, dan Men/Pangad Soeharto, ca. 1966
(Gahetna)

Jika ditelaah lebih dalam, terpilihnya nama Roesmin memang tidak mengherankan selain karena posisinya yang cukup tinggi--di usia yang masih 36 tahun--dalam kepemimpinan AURI ketika itu, Roesmin juga dikenal dekat dengan para perwira Angkatan Darat, khususnya Soeharto yang secara de-facto memegang otoritas tertinggi negara pasca-Supersemar 1966. Menurut Sri Mulyono, Roesmin cenderung lebih mendengarkan arahan dari Kostrad pimpinan Mayor Jenderal Soeharto daripada para petinggi AURI, dan juga menurut Letjen M. Jasin (Pangdam Brawijaya 1967-1970, Wakil KSAD 1970), naiknya nama Roesmin juga memang telah direncanakan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution karena Roesmin sejak lama memiliki kontak pribadi dengan Nasution dan cukup sering terlibat dalam misi-misi kenegaraan yang dipimpin Nasution (Humaidi, 2008).

Dikutip dari penelitian Humaidi, selama kepemimpinan Roesmin sebagai Men/Pangau (kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Udara pasca reorganisasi Hankam), otomatis kebijakan AURI berubah 180 derajat, dari yang selama kepemimpinan Soerjadi Soerjadarma (1946-1962), Omar Dani (1962-1965), dan Sri Mulyono Herlambang (1965-1966) sangat loyal terhadap Presiden Soekarno dan mendukung tiap langkah yang diambil Pemimpin Besar Revolusi –sama halnya dengan loyalitas yang ditunjukan Angkatan Laut, khususnya KKO/Marinir lewat ucapan khas “Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO, putih kata Bung Karno, putih kata KKO”--menjadi lebih netral terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno bahkan lebih condong ke Angkatan Darat dibawah pimpinan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto. 

Dalam hal ini, naiknya Roesmin ke tampuk kepemimpinan AURI menjadi upaya Angkatan Darat dan Soeharto untuk melakukan de-Soekarnoisasi dalam tubuh AURI, sekaligus menghimpun kekuatan dalam memuluskan jalan membangun Orde Baru (Humaidi, 2008). Dan hal tersebut segera menemui hasil, ketika akhirnya Omar Dani dan Sri Mulyono dari AURI serta Hartono dari Angkatan Laut (KKO) yang sangat pro-Soekarno berhasil disingkirkan rezim Orde Baru, posisi politik Soekarno semakin lama semakin melemah.

(ki-ka) Panglima KKO Hartono, Men/Pangak Hoegeng Iman Santoso, Roesmin, dan Men/Pangal Moeljadi dalam Prasetya Perwira Remaja di AAL Surabaya, ca. 1968
(Dokumentasi Pribadi)

“Calon Pangkopkamtib”

Roesmin memimpin Angkatan Udara selama lebih dari 3 tahun, sejak 7 April 1966 sampai 10 November 1969, setelah itu, pada tahun 1970 ia diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Kerajaan Inggris, pos yang sebelumnya dijabat oleh mantan Pangdam Siliwangi Letjen Ibrahim Adjie, dan setelah Roesmin menjabat diisi oleh mantan KSAL Laksamana R. Soebono serta mantan KSAU Marsekal Saleh Basarah. Setelah bertugas di London selama kurang lebih 4 tahun, Roesmin ditempatkan di Washington, D.C. sebagai Duta Besar RI untuk Amerika Serikat pada tahun 1974 sampai tahun 1977.

Selama periode “keduta-besarannya” antara tahun 1970-1977 sebetulnya terselip satu peristiwa yang menarik. Menurut Cahyono dalam buku “Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974” (1998), Presiden Soeharto pada tahun 1971 pernah memerintahkan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jenderal Soemitro untuk memilih wakilnya; antara Laksamana Soedomo dan Marsekal Roesmin Noerjadin. Dengan segenap alasan, khususnya terkait perhatian utama Soemitro terhadap keamanan laut Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan, maka Soedomo yang terpilih. Jika saja pilihan Soemitro jatuh kepada Roesmin, maka mungkin Roesmin–bukan Soedomo--yang akan duduk sebagai Pangkopkamtib menggantikan Soemitro yang diberhentikan pasca huru-hara Malari 1974 dan jalan sejarah Orde Baru akan berbeda dengan apa yang kita lihat sekarang, karena cemerlangnya karier Laksamana Soedomo selama rezim Orde Baru sangat ditentukan dari momen kritis saat dirinya menjabat Wakil Pangkopkamtib, Kepala Staf Kopkamtib, dan kemudian Pangkopkamtib.

Roesmin saat menjabat Menteri Perhubungan, ca. 1983
(Tempo)

Ketika Soeharto dilantik kembali sebagai Presiden pada tahun 1978, nama Roesmin masuk radar dan ia dipanggil pulang ke Jakarta untuk menjabat sebagai Menteri Perhubungan selama 2 periode, yakni dalam Kabinet Pembangunan III (1978-1983) dan Kabinet Pembangunan IV (1983-1988). Roesmin menjadi perwira tinggi Angkatan Udara kedua yang diangkat menjadi menteri dalam pemerintahan Soeharto setelah Marsekal Muda Boediardjo. Dan pos Menteri Perhubungan menjadi pos terlama serta terakhir dirinya, sehingga jika ditotal sejak menjabat sebagai Men/Pangau pada tahun 1966, ia telah mengabdikan 22 tahun hidupnya untuk Orde Baru lewat berbagai jabatan. Suatu pencapaian yang cukup besar karena tidak semua orang dapat bertahan lama dalam lingkaran kekuasaan Soeharto.

Bertahan lamanya Roesmin selama Orde Baru tidak hanya karena kinerja dan loyalitas dirinya terhadap Soeharto, tetapi memang karena ia sama sekali tidak dilihat sebagai ancaman bagi sang Presiden, karena bagi Soeharto, lama-tidaknya seseorang dapat bertahan di suatu posisi  bergantung dari apakah orang tersebut bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan kepemimpinan dirinya (Said, 2016). Sejak pagi-pagi sekali Roesmin telah ditugaskan ke London, lalu kemudian ke Washington, D.C. dimana kesempatan dirinya untuk menghimpun dan membina pengikut menjadi tidak ada sama sekali. Pos Menteri Perhubungan pun bukanlah pos yang tertutup dan penuh intrik sehingga Soeharto dapat dengan jelas memantau apa yang dilakukan Roesmin. Dan sama seperti Soedomo yang awet sebagai pembantu Soeharto, Roesmin tahu dirinya hanya alat bagi sang Presiden, walaupun ia salah satu figur yang memuluskan jalan Soeharto menuju puncak kejayaannya lewat Angkatan Udara, Roesmin tidak pernah merasa dirinya sosok berkuasa sehingga selama Orde Baru dirinya “terselamatkan”, bahkan dimuliakan rezim.


Yogyakarta, Mei 2017



Daftar Bacaan

Cahyono, Heru. 1998. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Humaidi. 2008. Politik Militer Angkatan Udara Republik Indonesia dalam Pemerintahan Sukarno 1962-1966. Tesis pada Program Studi Ilmu Sejarah Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Jenkins, David. 1984. Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983. New York: Cornell Southeast Asia Program Publications.

Said, Salim Haji. 2016. Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. Bandung: Penerbit Mizan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar