Tanggal
20 Oktober 2017 lalu menandai 3 tahun duet kepemimpinan Joko Widodo – Muhammad
Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Dalam berbagai rilis yang
banyak beredar dijabarkan berbagai pencapaian yang telah berhasil diraih selama
3 tahun terakhir, utamanya dalam pembangunan infrastruktur yang jor-joran
didorong oleh Presiden Jokowi sendiri. Namun di rilis-rilis tersebut masih
sedikit yang mengulas pencapaian dalam upaya melakukan transformasi pertahanan,
padahal menurut Timotius D. Harsono (2009), bagi negara yang memiliki posisi geografi
dan kondisi sosio-demografi seperti Indonesia, pembangunan kekuatan pertahanan
menjadi elemen utama dari kekuatan nasional yang mutlak diperlukan untuk
melindungi kepentingan nasional dalam rangka menjamin kelangsungan hidup
negara.
Transformasi
pertahanan, dalam hal ini berbeda dengan reformasi militer yang bibitnya sudah
dimulai sejak 20 tahun yang lalu. Jika reformasi militer menekankan pada peran
sosio-politik tentara, kegiatan bisnis militer, dan supremasi sipil dalam
hubungan sipil-militer yang demokratis, Evan Laksmana (2010) melihat
transformasi pertahanan lebih memusatkan pandangan pada perubahan mendasar
dalam doktrin, personel, organisasi, pelatihan dan pendidikan, logistik, dan
peran –yang disokong oleh perubahan teknologi. Transformasi pertahanan juga
tidak hanya melibatkan aktor-aktor militer semata, melainkan juga melibatkan
apa yang dinamakan Yahya Muhaimin (2005) sebagai “komunitas epistemik
pertahanan” yang memiliki keahlian, kompetensi pemikiran, dan jaringan mengenai
masalah pertahanan negara.
![]() |
Presiden Joko Widodo di atas KRI Imam Bonjol, Juni 2016 (sumber: cnnindonesia.com) |
Secara
praktis, Evan Laksmana (2010) membagi langkah transformasi pertahanan dalam 4
pilar yang dapat menjadi pisau analisis untuk melihat apa yang telah dilakukan
pemerintahan Presiden Jokowi dalam hal pembangunan pertahanan, yakni politik,
institusional, intelektual-kultural, dan teknologi.
Pertama, pilar politik terdiri
dari legislasi dan sistem pertahanan nasional, perumusan grand strategy pertahanan, serta kerja sama antar-departemen untuk
mencapai grand strategy tersebut.
Dalam pilar ini, pemerintahan Presiden Jokowi bisa dibilang kedodoran karena sampai
saat ini pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum berhasil
menggolkan satupun Undang-Undang yang berkaitan dengan urusan pertahanan nasional
seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional, RUU Komponen Cadangan,
RUU Tugas Perbantuan TNI, RUU Peradilan Militer, dan RUU Rahasia Negara karena
tidak adanya titik temu diantara 2 badan eksekutif tersebut terkait substansi
dari masing-masing UU. Pun dalam hal perumusan Grand Strategy, walaupun Kementerian Pertahanan telah menelurkan
Buku Putih Pertahanan Indonesia (BPPI) yang berisi langkah-langkah strategis
pertahanan, namun lemahnya aspek kerjasama dan koordinasi antar-departemen menimbulkan
hal kontraproduktif yang melemahkan pelaksanaan Grand Strategy tersebut, contohnya heboh permasalahan pembelian
helikopter AW-101 oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara yang ternyata tak
diketahui Menteri Pertahanan dan Panglima TNI di awal tahun 2017 lalu.
Kedua, yakni pilar
institusional terkait perumusan doktrin dan pengelolaan organisasi secara
keseluruhan, yang diikuti dengan perubahan Tata Yudha (Orders of Battle) melalui perubahan strategi operasional,
pengelolaan aset militer, dan integrasi antar-matra. Dalam hal ini, utamanya
perumusan doktrin, pemerintahan Presiden Jokowi hanya tinggal meneruskan
pelaksanaan Doktrin TNI “Tri Dharma Eka Karma” (2007) yang merupakan pengganti
dari Doktrin ABRI “Catur Dharma Eka Karma” (1966) yang sarat dengan penekanan
peranan sosial-politik tentara khas Orde Baru, walaupun dalam beberapa aspek
Doktrin TNI masih menekankan pada ancaman internal dibanding ancaman eksternal.
Tinggal kemudian bagaimana perubahan Tata Yudha mengikuti perkembangan ancaman
yang semakin non-tradisional, seperti antara lain terorisme siber (cyber-terrorism) yang walaupun tidak
menyerang obyek vital secara fisik, namun ia bergerak klandestin melakukan
peretasan yang mampu mencuri data-data terpenting negara maupun personal. Dan peluncuran
Satuan Siber TNI pada awal bulan Oktober 2017 menjadi satu poin positif yang
dicapai pemerintahan Presiden Jokowi untuk melakukan kontra-terorisme siber di
ruang maya. Namun yang penting dicatat menurut Edwi A. Sosiawan (2016), karena
sifatnya yang semakin berkembang mengikuti konvergensi teknologi berbagai
jaringan komputer serta media digital, perlu secepatnya dibentuk Cyber Integrated Security System yang
dikelola gabungan oleh berbagai unsur pemerintahan terkait, seperti Kementerian
Pertahanan, TNI, Kepolisian, Badan Intelijen Negara, Lembaga Sandi Negara, dan
Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Ketiga, pilar
intelektual-kultural utamanya melalui perombakan sistem pendidikan dan latihan
tamtama, bintara, dan perwira serta perubahan manajemen personalia merupakan
hal yang tak bisa ditawar lagi karena tanpa melalui perubahan cara berpikir,
pencapaian 2 pilar sebelumnya menjadi sia-sia belaka. Amarulla Octavian (2014) melihat
bahwa sistem pendidikan dan latihan militer yang baik akan bermuara pada
pembentukan visi kultural, struktural, mental, dan visi individu prajurit
militer, apalagi perubahan zaman telah merubah tentara “from warrior soldier to scholar soldier”, dimana mereka dituntut
untuk mampu berpikir strategis dalam level kebijakan maupun operasional. Dalam
hal ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo belum mengeluarkan kebijakan atau
visi besar terkait perombakan sistem diklat militer, namun di sisi hulu telah
diadakan penandatanganan oleh panitia dan peserta seleksi penerimaan diklat
militer untuk menjadikan proses penerimaan yang selama ini penuh kasak-kusuk
menjadi lebih objektif dan transparan. Tinggal kemudian perubahan kurikulum
pendidikan dan penambahan mata pelajaran yang menekankan aspek profesionalisme
militer menjadi target selanjutnya yang harus dicapai.
Keempat sekaligus sebagai
pilar pamungkas yakni pilar teknologi, yang berkelindan dengan pengembangan
industri pertahanan lokal dan inovasi pertahanan. Khusus di pilar ini Presiden
Joko Widodo memberi perhatian yang lebih besar, utamanya dalam peningkatan
kapasitas industri pertahanan lokal seperti antara lain PT. Pindad, PT. Dirgantara
Indonesia, PT. PAL, dan PT. Len Industri sejalan dengan target yang ingin
dicapai dalam Rencana Strategis Mininum
Essential Forces (MEF) II Tahun 2015-2019. Dalam berbagai kesempatan
Presiden rajin mengingatkan tentang kemandirian industri pertahanan Indonesia
yang ditopang oleh hadirnya Komite Kebijakan Industri Pertahanan sebagai
perumus kebijakan utama dalam pengembangan industri pertahanan lokal, tetapi
dalam hal ini, inovasi pertahanan kita masih lemah yang diakibatkan minimnya
proses transfer teknologi dalam berbagai pembelian alat utama sistem pertahanan
(alutsista) yang berasal dari luar negeri dan lemahnya organ penelitian dan
pengembangan (litbang) pertahanan yang ada. Sehingga aspek inovasi harus juga
menjadi perhatian utama, apalagi ditengah rasio anggaran pertahanan terhadap
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang pelan-pelan mulai meningkat
menuju angka 1%, ada kiranya jalan bagi penguatan litbang pertahanan menuju
industri pertahanan lokal yang mapan dari hulu ke hilir.
Dari
analisis di atas, bisa dilihat bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo selama 3
tahun terakhir lebih banyak menaruh perhatian pada aspek-aspek ekonomika
pertahanan seperti peningkatan anggaran pertahanan, pengembangan industri
pertahanan dan pembelian alutsista yang sejalan dengan target pemenuhan MEF,
dengan melewati pemenuhan berbagai pilar-pilar sebelumnya. Hal ini yang patut
dikoreksi karena agenda transformasi pertahanan seharusnya berjalan secara
bertahap. Sehingga di sisa 2 tahun kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo
bersama dengan aktor-aktor lain yang terkait wajib mendukung dan menuntaskan
pencapaian pilar-pilar transformasi pertahanan yang masih tertinggal, demi
tercapainya sektor pertahanan Indonesia yang kuat, mandiri, dan profesional.
Daftar
Bacaan
Harsono, Timotius D. 2009. Economic Defense dan Arah Kebijakan
Pembangunan TNI: Mempertanyakan Komitmen Negara. Yogyakarta: Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Laksmana, Evan A. 2010. “Dari ‘Reformasi
Militer’ Menuju ‘Transformasi Pertahanan’: Tantangan dan Prospek ke Depan”, Indonesian Review RSK & Media Vol.
1: 1-12.
Octavian, Amarulla. 2014. “Globalisasi
dan Transformasi Institusi Pendidikan Militer di Sekolah Staf dan Komando TNI
AL”, Jurnal Sosiologi MASYARAKAT 19
(2): 167-194.
Sosiawan, Edwi A. 2016. 'Psywar: Memproduksi Ketakutan Melalui Media Sosial’
dalam Iswandi Syahputra (ed), Perang
Semesta dalam Kajian Budaya dan Media. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar