Kamis, 07 Desember 2017

Hadi Panglima TNI, Lalu Siapa KSAU Berikutnya?

Hari Rabu tanggal 6 Desember 2017 lalu, diantar oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan kompatriotnya sesama kepala staf, Jenderal Mulyono dan Laksamana Ade Supandi, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) sekaligus calon Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di hadapan Komisi Pertahanan DPR-RI. Selama lebih dari 7 jam, Marsekal Hadi menjabarkan visi, misi, dan strategi militer yang akan dilaksanakannya kelak ketika nanti benar-benar menjabat sebagai Panglima TNI yang baru. Dan setelah melalui proses diskusi tertutup, akhirnya Ketua Komisi Pertahanan DPR-RI Abdul Kharis Almasyhari mewakili seluruh fraksi dalam komisi tersebut menyatakan menyetujui pengangkatan Marsekal Hadi sebagai Panglima TNI menggantikan Jenderal Gatot yang akan pensiun bulan Maret 2018 mendatang. Tetapi bukan tidak mungkin sebelum bulan Maret Hadi akan dilantik menjadi Panglima TNI, guna mengantisipasi turbulensi politik dan ancaman pertahanan menjelang Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) Serentak dan lebih jauh lagi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto saat mengikuti Uji Kepatutan dan Kelayakan Calon Panglima TNI, Desember 2017
(sumber: merdeka.com)

Dalam tulisan sebelumnya (Siapa Bisa Jadi Panglima?) saya memprediksi bahwa Hadi-lah yang akan ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Panglima TNI yang baru dan hal tersebut terbukti belakangan ini (walaupun sebenarnya desas-desus penunjukkan Hadi sudah santer diberitakan dalam berbagai media sejak pertengahan tahun ini dan saya hanya merangkumnya saja dalam tulisan singkat tersebut). Nah, dalam tulisan ini, saya akan mencoba membaca arah suksesi kepemimpinan Angkatan Udara setelah ditinggal oleh Marsekal Hadi yang baru menjabat sebagai KSAU kurang dari 1 tahun tersebut.

Hadi, yang merupakan lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) 1986 setidaknya melompati 2 angkatan dalam menduduki posisinya sebagai KSAU menggantikan Marsekal Agus Supriyatna yang merupakan abituren AAU 1983, sehingga kans bagi angkatan 1984 dan 1985 tidak terlalu lebar walaupun tak tertutup sama sekali. Apalagi posisi teras TNI AU seperti Wakil KSAU dan Inspektur Jenderal TNI AU saat ini juga dijabat oleh perwira tinggi angkatan 1986, yakni masing-masing Marsekal Muda Yuyu Sutisna dan Marsekal Muda Umar Sugeng Hariyono sehingga “86-isasi” TNI AU merupakan sebuah keniscayaan yang tinggal menunggu waktu yang tepat saja.

Walaupun begitu, tak elok rasanya kalau kita langsung menjustifikasi angkatan 1986 sebagai “pewaris tunggal” kepemimpinan TNI AU. Jika kita melihat lebih dalam, setidaknya terdapat 4 perwira tinggi TNI AU berbintang 3 yang memiliki kans sebagai KSAU, yakni Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Marsekal Madya Hadiyan Sumintaatmadja (AAU 1983), Wakil Gubernur Lemhannas Marsekal Madya Bagus Puruhito (AAU 1984), Kepala Badan SAR Nasional Marsekal Muda (yang akan dinaikan pangkatnya menjadi Marsekal Madya) Muhammad Syaugi (AAU 1984), dan Wakil KSAU Marsekal Muda (yang akan dinaikan pangkatnya menjadi Marsekal Madya) Yuyu Sutisna (AAU 1986).


KSAU Marsekal Hadi T. (depan), bersama dengan Marsda Yuyu Sutisna (kedua dari kiri), Marsdya Hadiyan S. (keempat dari kiri), dan Marsda Dedy Permadi (kelima dari kiri)
(sumber: cnnindonesia.com)

Jika dilihat dari jarak sebelum masuk masa pensiun, nama Bagus Puruhito memang yang paling unggul karena ia baru akan pensiun pada bulan Oktober 2020, nama-nama lain seperti Hadiyan Sumintaatmadja akan masuk masa pensiun pada bulan Januari 2019, M. Syaugi masuk masa pensiun pada bulan Oktober 2018, dan Yuyu Sutisna masuk masa pensiun pada bulan Juni 2020. Namun, sebagaimana pernah saya tulis dalam postingan yang telah lewat (Ajudan Presiden dan Politik Istana), status Bagus sebagai bekas Ajudan Presiden SBY pada tahun 2004-2009 menghambat karir kemiliterannya di masa kepresidenan Joko Widodo saat ini, apalagi Bagus telah “dilompati” sebanyak 2 kali, yakni pertama pada di tahun 2015, yang mana Presiden Jokowi justru memilih nama Wakil Inspektur Jenderal TNI Marsekal Muda Agus Supriyatna (AAU 1983) yang namanya tak pernah masuk bursa kandidat KSAU, dan kedua pada awal tahun 2017 ini ketika Presiden Jokowi memilih nama Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan Marsekal Madya Hadi Tjahjanto yang baru menjabat di posnya selama kurang dari 3 bulan sebelum diangkat menjadi KSAU. Sehingga saya pun yakin, walaupun namanya akan selalu masuk dalam bursa kandidat KSAU, Bagus tidak akan menaruh minat yang terlalu besar, dan dalam hal ini, kans Yuyu Sutisna yang lebih terbuka lebar.

Hal unik yang menjadi kekhasan suksesi kepemimpinan TNI AU dibanding matra lainnya ialah adanya kepercayaan bahwa calon KSAU yang berasal dari angkatan bertahun ganjil-lah yang paling memiliki kans untuk terpilih, atau dikenal dengan istilah “lucky ganjil” yang setidaknya telah dimulai sejak terpilihnya Marsekal Rilo Pambudi sebagai KSAU tahun 1993-1996 yang merupakan abituren AAU 1965, dan seterusnya selalu terpilih KSAU yang berasal dari angkatan ganjil sampai kemudian mitos tersebut patah ketika Marsekal Hadi yang berasal dari angkatan genap (1986) terpilih sebagai KSAU. Jika kemudian Presiden Jokowi ingin kembali mengulang memori “lucky ganjil” tersebut, maka kans Hadiyan Sumintaatmadja yang paling besar karena ia satu-satunya perwira tinggi bintang 3 yang berasal dari angkatan ganjil. Tetapi kembali lagi, Jika Hadiyan yang terpilih, pensiun di awal tahun 2019 merupakan sebuah langkah yang berbahaya karena akan ada suksesi kepemimpinan TNI AU di tahun politik yang rentan dipolitisir oleh sebagian kalangan. Selain itu, masa jabatan yang hanya 1 tahun akan membuat upaya pembangunan kekuatan pertahanan udara menjadi tidak optimal, karena setidaknya para KSAU terdahulu memegang jabatan rata-rata 2-3 tahun yang membuat tahapan pembangunan kekuatan TNI AU dapat dilakukan secara matang.


Para Mantan KSAU; termasuk yang beruntung karena bagian dari angkatan bertahun ganjil
(sumber: portal-komando.com)

Hal unik lainnya dalam suksesi kepemimpinan TNI AU ialah acapkali muncul “kuda hitam” perwira tinggi berbintang 2 yang mampu mengalahkan para perwira tinggi berbintang 3 yang namanya telah lalu-lalang dalam bursa pemilihan, antara lain Marsekal Muda Imam Sufaat yang terpilih menjadi KSAU saat dirinya masih menjabat sebagai Panglima Komando Operasi I TNI AU di tahun 2009 dan Marsekal Muda Agus Supriatna yang terpilih sebagai KSAU saat menduduki pos Wakil Inspektur Jenderal TNI di tahun 2015. Jika Presiden Jokowi ingin bertindak di luar garis dengan kembali memilih nama lain di luar bursa, maka nama yang paling menonjol saat ini ialah Marsekal Muda Dedy Permadi yang merupakan “wakil” dari angkatan 1985 yang belum ada satupun yang menyandang pangkat bintang 3 di tubuh TNI AU. Dedy telah menduduki pos bintang 2 sebanyak 4 kali, mulai dari Gubernur AAU, Asisten Pengamanan KSAU, Asisten Personel KSAU, dan saat ini menjabat sebagai Asisten Personel Panglima TNI yang mana pengalaman-pengalaman tersebut akan sangat berguna jika kelak ia terpilih sebagai KSAU.

Tetapi dari pengamatan saya, entah mengapa saya yakin Yuyu Sutisna yang akan terpilih sebagai KSAU yang baru, karena pertama, jalur Wakil KSAU merupakan salah satu “jalan tol” menuju kursi KSAU karena merupakan pos nomor 2 setelah KSAU sendiri, dimana sejak tahun 2006 sudah ada 3 Wakil KSAU yang diangkat menjadi KSAU (Herman Prayitno, Subandrio, dan Imam Sufaat); kedua, Yuyu berasal dari angkatan yang sama dengan Panglima TNI soon-to-be Marsekal Hadi sehingga pasti memiliki kedekatan yang tidak terjadi dengan para calon KSAU lainnya yang namanya telah masuk bursa; ketiga, Yuyu telah menduduki berbagai pos mulai dari staf, operasi, sampai tugas diplomatik pertahanan, dan juga ia telah melewati pos panglima komando operasi yang biasanya menjadi runtutan karir seorang KSAU sehingga diharapkan melalui pengalamannya ia mampu untuk menjalankan tugas secara optimal sebagai KSAU.

Pada akhirnya, jawaban siapa yang akan terpilih sebagai KSAU yang baru ada di tangan Presiden Jokowi, namun yang pasti, siapapun yang terpilih harus memiliki kompetensi, kapasitas, dan kapabilitas dalam mewujudkan Indonesia bukan hanya sebagai negara maritim sesuai visi Poros Maritim Dunia, tetapi juga “negara angkasa” yang mampu berdaulat atas wilayah udaranya.

Selasa, 21 November 2017

Jatuh-Bangun Karena Minyak

Jika melihat ke belakang, minyak bumi selalu hadir memainkan peranan penting yang mewarnai perjalanan suatu negara-bangsa. Akibat nilainya yang strategis pula, minyak bumi menjadi incaran banyak pihak demi keuntungan ekonomi yang menggiurkan, apalagi orang pertama yang menyandang gelar sebagai orang terkaya sejagat di era modern ialah pengusaha minyak, yakni John D. Rockefeller. Keberadaan minyak bumi dalam konteks Indonesia sendiri sangat penting, karena ia membawa Indonesia tidak hanya menuju kejayaan, tetapi juga menuju kejatuhannya yang paling dalam.

Maka kemudian, menjadikan minyak bumi sebagai kajian sejarah merupakan hal yang sangat menarik karena bersinggungan dengan banyak hal, mulai dari politik, ekonomi, sosial-budaya yang dapat dijadikan refleksi bagaimana mengelola salah satu sumberdaya alam yang paling diperebutkan sejak awal abad ke-19 tersebut. Dan buku Minyak Bumi dalam Dinamika Politik dan Ekonomi Indonesia 1950-1960an yang ditulis Dr. Purnawan Basundoro menjadi menarik untuk dibaca serta dapat dijadikan rujukan bagi penelitian-penelitian lanjutan tentang perminyakan dari berbagai perspektif di tengah berbagai tulisan mengenai perminyakan yang lebih banyak dikerjakan oleh akademisi berlatar belakang ekonomi atau teknik. 


Posisi minyak bumi dalam percaturan ekonomi-politik Indonesia dekade 1950-1960an menarik untuk dilihat karena di usianya yang masih sangat muda, Indonesia masih mencoba-coba berbagai sistem politik dan ekonomi dalam mengelola negara, khususnya minyak untuk sebesar-besarnya dikelola untuk kemakmuran rakyat, akan tetapi hambatan politik lewat kekacauan sistem demokrasi parlementer, belum mandirinya perekonomian, serta instabilitas keamanan mewarnai upaya pengelolaan minyak bumi yang terpadu. Di satu sisi ada pihak yang menekankan minyak bumi dikelola oleh anak bangsa sendiri atas dasar nasionalisme dan kemandirian bangsa, tapi di sisi lain, pengelolaan minyak bumi Indonesia menemui kendala akan rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang mampu melakukan itu sehingga sentuhan tangan “asing” baik dalam hal produksi, distribusi, bahkan pembiayaan menjadi diperlukan.

Di tengah kondisi perekonomian negara yang tidak menentu, minyak bumi menjadi penolong karena mampu berperan menjadi penghasil devisa yang cukup besar, didukung dengan keberadaan sumur dan ladang minyak yang cukup produktif. Di daerah-daerah lumbung minyak seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jawa Tengah, “laskar-laskar minyak” yang berperan saat Perang Kemerdekaan membentuk perusahaan-perusahaan minyak yang cukup profitable. Di pertengahan dekade 1950-an, nasionalisasi perusahaan asing juga berimbas pada perusahaan minyak seperti BPM, Shell, Stanvac, atau NIAM yang berwujud pada pembagian kepemilikan dan keuntungan dengan Pemerintah Indonesia, yang juga ditopang dengan berbagai kebijakan politik perminyakan negara seperti pengendalian dan pengawasan harga, pembatalan hak-hak pertambangan, lahirnya UU Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 1960, Kewajiban Prorata, serta penandatanganan Tokyo Heads of Agreement. Namun kembali lagi, kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang belum terlalu baik membuat tidak semua pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut berjalan dengan mulus, bahkan usaha-usaha perminyakan kala itu lebih banyak dikuasai militer, utamanya Angkatan Darat untuk mengisi kas kesatuan dan membiayai operasi militer dibanding dikelola untuk kemaslahatan masyarakat luas.

Perjalanan waktu kemudian menunjukkan bahwa Indonesia di akhir dekade 1960 berakhir keluar menjadi “pemenang” dengan memadukan aura nasionalisme dengan pengakuan terhadap sentuhan tangan asing lewat lahirnya skema Kontrak Karya yang menjadikan usaha pertambangan dan gas bumi hanya diusahakan oleh negara dan pelaksanaannya dilakukan oleh perusahaan negara, dimana posisi perusahaan-perusahaan minyak asing ialah perusahaan kontraktor yang melaksanakan pekerjaan milik perusahaan negara. Kontrak Karya yang saat itu menjadi program primadona dari Pertamina di bawah kepemimpinan Letjen Ibnu Sutowo membawa Indonesia sukses sebagai negara Petro-Dollar baru di awal dekade 1970an yang didukung dengan peningkatan harga minyak mentah di tingkat Dunia, tetapi kembali lagi, karena penguasaan militer di segala lini yang tak disertai visi jangka panjang akan dibawa kemana Pertamina kedepannya, justru keuntungan tersebut menjadi malapetaka karena hanya berselang kurang dari 10 tahun pasca kejayaannya, justru Pertamina terpuruk ke jurang yang paling dalam, membawa Indonesia menuju failed-state karena jumlah utang Pertamina malah lebih tinggi dibanding simpanan kas negara.

Pada akhirnya, semangat nasionalisme untuk mengelola usaha perminyakan yang sangat strategis memang diperlukan, utamanya dalam konteks Indonesia saat itu yang belum lama lepas dari cengkeraman kolonialisme, tetapi tanpa visi dan strategi jangka panjang, nasionalisme dan keberanian dalam mengambil alih usaha asing tak akan berarti apa-apa. Malah usaha strategis yang diamanatkan dalam UUD 1945 agar dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat ini justru keuntungannya hanya dinikmati oleh sebagian kelompok atau kalangan saja.

----

Sekali lagi buku ini menarik karena berupaya mengisi kekosongan literatur sejarah perminyakan Indonesia yang sesekali hanya muncul dalam biografi orang-orang yang pernah bersinggungan dengan usaha perminyakan, antara lain seperti buku Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita yang ditulis oleh Ramadhan KH (2008) yang sampai saat ini saya sendiri pun masih penasaran mencarinya karena sulit ditemukan di pasaran, bahkan di Shopping Centre Timur Taman Pintar Yogya yang katanya pasar buku paling lengkap itu. Apalagi buku ini disebarkan secara gratis oleh Pak Purnawan ke berbagai pihak (yang saya lebih kenal sebagai sejarawan yang getol menulis sejarah perkotaan, terutama dari buku Pengantar Sejarah Kota yang merupakan salah satu buku favorit saya), sehingga harapannya minyak bumi tidak hanya dikenal dari fungsi praktis, politis, dan ekonomisnya semata, tapi juga pengetahuan historis dalam konteks Indonesia di dalamnya dapat diketahui oleh khalayak luas.

File buku tersebut saya sertakan dalam tautan di bawah ini, silakan!

Minyak Bumi dalam Dinamika Politik dan Ekonomi Indonesia 1950-1960an

Minggu, 05 November 2017

Jokowi dan Agenda Transformasi Pertahanan

Tanggal 20 Oktober 2017 lalu menandai 3 tahun duet kepemimpinan Joko Widodo – Muhammad Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Dalam berbagai rilis yang banyak beredar dijabarkan berbagai pencapaian yang telah berhasil diraih selama 3 tahun terakhir, utamanya dalam pembangunan infrastruktur yang jor-joran didorong oleh Presiden Jokowi sendiri. Namun di rilis-rilis tersebut masih sedikit yang mengulas pencapaian dalam upaya melakukan transformasi pertahanan, padahal menurut Timotius D. Harsono (2009), bagi negara yang memiliki posisi geografi dan kondisi sosio-demografi seperti Indonesia, pembangunan kekuatan pertahanan menjadi elemen utama dari kekuatan nasional yang mutlak diperlukan untuk melindungi kepentingan nasional dalam rangka menjamin kelangsungan hidup negara.

Transformasi pertahanan, dalam hal ini berbeda dengan reformasi militer yang bibitnya sudah dimulai sejak 20 tahun yang lalu. Jika reformasi militer menekankan pada peran sosio-politik tentara, kegiatan bisnis militer, dan supremasi sipil dalam hubungan sipil-militer yang demokratis, Evan Laksmana (2010) melihat transformasi pertahanan lebih memusatkan pandangan pada perubahan mendasar dalam doktrin, personel, organisasi, pelatihan dan pendidikan, logistik, dan peran –yang disokong oleh perubahan teknologi. Transformasi pertahanan juga tidak hanya melibatkan aktor-aktor militer semata, melainkan juga melibatkan apa yang dinamakan Yahya Muhaimin (2005) sebagai “komunitas epistemik pertahanan” yang memiliki keahlian, kompetensi pemikiran, dan jaringan mengenai masalah pertahanan negara.

Presiden Joko Widodo di atas KRI Imam Bonjol, Juni 2016 
(sumber: cnnindonesia.com)

Secara praktis, Evan Laksmana (2010) membagi langkah transformasi pertahanan dalam 4 pilar yang dapat menjadi pisau analisis untuk melihat apa yang telah dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dalam hal pembangunan pertahanan, yakni politik, institusional, intelektual-kultural, dan teknologi.

Pertama, pilar politik terdiri dari legislasi dan sistem pertahanan nasional, perumusan grand strategy pertahanan, serta kerja sama antar-departemen untuk mencapai grand strategy tersebut. Dalam pilar ini, pemerintahan Presiden Jokowi bisa dibilang kedodoran karena sampai saat ini pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum berhasil menggolkan satupun Undang-Undang yang berkaitan dengan urusan pertahanan nasional seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional, RUU Komponen Cadangan, RUU Tugas Perbantuan TNI, RUU Peradilan Militer, dan RUU Rahasia Negara karena tidak adanya titik temu diantara 2 badan eksekutif tersebut terkait substansi dari masing-masing UU. Pun dalam hal perumusan Grand Strategy, walaupun Kementerian Pertahanan telah menelurkan Buku Putih Pertahanan Indonesia (BPPI) yang berisi langkah-langkah strategis pertahanan, namun lemahnya aspek kerjasama dan koordinasi antar-departemen menimbulkan hal kontraproduktif yang melemahkan pelaksanaan Grand Strategy tersebut, contohnya heboh permasalahan pembelian helikopter AW-101 oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara yang ternyata tak diketahui Menteri Pertahanan dan Panglima TNI di awal tahun 2017 lalu.

Kedua, yakni pilar institusional terkait perumusan doktrin dan pengelolaan organisasi secara keseluruhan, yang diikuti dengan perubahan Tata Yudha (Orders of Battle) melalui perubahan strategi operasional, pengelolaan aset militer, dan integrasi antar-matra. Dalam hal ini, utamanya perumusan doktrin, pemerintahan Presiden Jokowi hanya tinggal meneruskan pelaksanaan Doktrin TNI “Tri Dharma Eka Karma” (2007) yang merupakan pengganti dari Doktrin ABRI “Catur Dharma Eka Karma” (1966) yang sarat dengan penekanan peranan sosial-politik tentara khas Orde Baru, walaupun dalam beberapa aspek Doktrin TNI masih menekankan pada ancaman internal dibanding ancaman eksternal. Tinggal kemudian bagaimana perubahan Tata Yudha mengikuti perkembangan ancaman yang semakin non-tradisional, seperti antara lain terorisme siber (cyber-terrorism) yang walaupun tidak menyerang obyek vital secara fisik, namun ia bergerak klandestin melakukan peretasan yang mampu mencuri data-data terpenting negara maupun personal. Dan peluncuran Satuan Siber TNI pada awal bulan Oktober 2017 menjadi satu poin positif yang dicapai pemerintahan Presiden Jokowi untuk melakukan kontra-terorisme siber di ruang maya. Namun yang penting dicatat menurut Edwi A. Sosiawan (2016), karena sifatnya yang semakin berkembang mengikuti konvergensi teknologi berbagai jaringan komputer serta media digital, perlu secepatnya dibentuk Cyber Integrated Security System yang dikelola gabungan oleh berbagai unsur pemerintahan terkait, seperti Kementerian Pertahanan, TNI, Kepolisian, Badan Intelijen Negara, Lembaga Sandi Negara, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Ketiga, pilar intelektual-kultural utamanya melalui perombakan sistem pendidikan dan latihan tamtama, bintara, dan perwira serta perubahan manajemen personalia merupakan hal yang tak bisa ditawar lagi karena tanpa melalui perubahan cara berpikir, pencapaian 2 pilar sebelumnya menjadi sia-sia belaka. Amarulla Octavian (2014) melihat bahwa sistem pendidikan dan latihan militer yang baik akan bermuara pada pembentukan visi kultural, struktural, mental, dan visi individu prajurit militer, apalagi perubahan zaman telah merubah tentara “from warrior soldier to scholar soldier”, dimana mereka dituntut untuk mampu berpikir strategis dalam level kebijakan maupun operasional. Dalam hal ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo belum mengeluarkan kebijakan atau visi besar terkait perombakan sistem diklat militer, namun di sisi hulu telah diadakan penandatanganan oleh panitia dan peserta seleksi penerimaan diklat militer untuk menjadikan proses penerimaan yang selama ini penuh kasak-kusuk menjadi lebih objektif dan transparan. Tinggal kemudian perubahan kurikulum pendidikan dan penambahan mata pelajaran yang menekankan aspek profesionalisme militer menjadi target selanjutnya yang harus dicapai.

Keempat sekaligus sebagai pilar pamungkas yakni pilar teknologi, yang berkelindan dengan pengembangan industri pertahanan lokal dan inovasi pertahanan. Khusus di pilar ini Presiden Joko Widodo memberi perhatian yang lebih besar, utamanya dalam peningkatan kapasitas industri pertahanan lokal seperti antara lain PT. Pindad, PT. Dirgantara Indonesia, PT. PAL, dan PT. Len Industri sejalan dengan target yang ingin dicapai dalam Rencana Strategis Mininum Essential Forces (MEF) II Tahun 2015-2019. Dalam berbagai kesempatan Presiden rajin mengingatkan tentang kemandirian industri pertahanan Indonesia yang ditopang oleh hadirnya Komite Kebijakan Industri Pertahanan sebagai perumus kebijakan utama dalam pengembangan industri pertahanan lokal, tetapi dalam hal ini, inovasi pertahanan kita masih lemah yang diakibatkan minimnya proses transfer teknologi dalam berbagai pembelian alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang berasal dari luar negeri dan lemahnya organ penelitian dan pengembangan (litbang) pertahanan yang ada. Sehingga aspek inovasi harus juga menjadi perhatian utama, apalagi ditengah rasio anggaran pertahanan terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang pelan-pelan mulai meningkat menuju angka 1%, ada kiranya jalan bagi penguatan litbang pertahanan menuju industri pertahanan lokal yang mapan dari hulu ke hilir.

Dari analisis di atas, bisa dilihat bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo selama 3 tahun terakhir lebih banyak menaruh perhatian pada aspek-aspek ekonomika pertahanan seperti peningkatan anggaran pertahanan, pengembangan industri pertahanan dan pembelian alutsista yang sejalan dengan target pemenuhan MEF, dengan melewati pemenuhan berbagai pilar-pilar sebelumnya. Hal ini yang patut dikoreksi karena agenda transformasi pertahanan seharusnya berjalan secara bertahap. Sehingga di sisa 2 tahun kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo bersama dengan aktor-aktor lain yang terkait wajib mendukung dan menuntaskan pencapaian pilar-pilar transformasi pertahanan yang masih tertinggal, demi tercapainya sektor pertahanan Indonesia yang kuat, mandiri, dan profesional.

Daftar Bacaan

Harsono, Timotius D. 2009. Economic Defense dan Arah Kebijakan Pembangunan TNI: Mempertanyakan Komitmen Negara. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Laksmana, Evan A. 2010. “Dari ‘Reformasi Militer’ Menuju ‘Transformasi Pertahanan’: Tantangan dan Prospek ke Depan”, Indonesian Review RSK & Media Vol. 1: 1-12.
Octavian, Amarulla. 2014. “Globalisasi dan Transformasi Institusi Pendidikan Militer di Sekolah Staf dan Komando TNI AL”, Jurnal Sosiologi MASYARAKAT 19 (2): 167-194.
Sosiawan, Edwi A. 2016. 'Psywar: Memproduksi Ketakutan Melalui Media Sosial’ dalam Iswandi Syahputra (ed), Perang Semesta dalam Kajian Budaya dan Media. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Senin, 09 Oktober 2017

Siapa Bisa Jadi Panglima?

Jenderal TNI Gatot Nurmantyo lahir di bulan Maret 1960, maka jika mengikuti aturan pensiun prajurit TNI di usia 58 tahun, Gatot akan pensiun bulan Maret tahun depan. Apa artinya? Sebentar lagi lalu lintas pemberitaan dan debat publik akan berkutat pada pertanyaan “siapakah yang akan menggantikan Gatot menjadi Panglima TNI?

Dalam aturan main suksesi kepemimpinan TNI yang termaktub dalam Pasal 13 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tertulis bahwa “Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan”, maka jika mengikuti undang-undang tersebut, “jalur” yang paling eligible menuju puncak karir kepemimpinan TNI adalah jabatan kepala staf angkatan, dan saat ini kita telah mempunyai 3 nama, yakni Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Mulyono (Akmil 1983), Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Ade Supandi (AAL 1983), dan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (AAU 1986).

Ade Supandi, Mulyono, Hadi Tjahjanto; Siapa yang paling berpeluang?
(Sumber: riaupos.co; kompas.com; gatra.com)

Mari kita lakukan analisa kecil-kecilan. Pertama, dilihat dari usia mereka disaat Gatot pensiun (Maret 2018), Mulyono akan masuk 57 tahun, Ade masuk 57 tahun menuju 58 tahun di bulan Mei, dan Hadi masuk usia 54 tahun. Maka dari segi usia, Marsekal Hadi-lah yang paling berpeluang. Sulit membayangkan jika Mulyono yang dicalonkan karena dengan sisa usia kurang dari 1 tahun sebelum pensiun, tidak banyak yang akan ia kerjakan jika benar-benar dipilih menjadi Panglima TNI, begitupun Ade yang tinggal menghitung hari menuju masa pensiun.

Kedua, dari sisi “giliran antar matra”, maka sudah saatnya Angkatan Udara yang mendapat giliran agar Marsekal Hadi dapat dicalonkan menjadi Panglima TNI. Ketika nama Jenderal Gatot dinominasikan Presiden menjadi calon tunggal Panglima TNI menggantikan Jenderal TNI Moeldoko di tahun 2015, sontak saja hal tersebut menimbulkan perdebatan karena banyak kalangan yakin bahwa pengganti Moeldoko bukan kembali berasal dari Angkatan Darat, melainkan Angkatan Udara atau setidaknya Angkatan Laut, apalagi jika melihat sejarah, negara kita baru mempunyai 1 Panglima TNI berasal dari Angkatan Udara dan 2 Panglima TNI yang bersumber dari Angkatan Laut. Sehingga tidak mengherankan banyak pihak yang menggugat keputusan Presiden tersebut, tak terkecuali mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim yang mengekspresikan kemarahannya lewat akun twitter-nya di bulan Juni 2015 yakni “Paskhasau di Airport CGK diganti Marinir. Halim untuk penerbangan komersial. Panglima TNI belum tentu AU. Negeri ini memang tidak butuh Angkatan Udara. Bubar saja”.

Ketiga, tercantum jelas dalam UU TNI bahwa Panglima diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR, yang sebelumnya Presiden menyodorkan satu nama untuk mendapat persetujuan DPR. Maka, setidak-tidaknya Presiden harus mengetahui profil sang calon dan dekat baik dalam hubungan profesional maupun hubungan pribadi, dan Hadi jugalah yang yang dapat memenuhi prasyarat tersebut. Persinggungan Presiden Joko Widodo dengan Hadi telah dimulai ketika Hadi menjabat sebagai Komandan Pangkalan Udara Adi Soemarmo dan Jokowi menjabat sebagai Walikota Surakarta di tahun 2010, kemudian ketika Jokowi menjadi Presiden, hubungan profesional mereka kembali dekat saat Hadi ditarik ke Kementerian Sekretariat Negara di tahun 2015 dalam jabatan Sekretaris Militer Presiden. Setelah dari Kemsetneg di tahun 2016, perjalanan karir Hadi pun melesat cepat. Ia hanya perlu melompati pos Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan sebelum dilantik menjadi orang nomor 1 di TNI Angkatan Udara.

Oleh karenanya, berdasarkan 3 konsideran diatas, saya yakin bahwa Hadi yang akan dinominasikan Presiden menjadi calon Panglima TNI tahun depan. Yang menjadi tugas besar lainnya adalah ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian Hadi ketika benar-benar diangkat menjadi Panglima TNI, antara lain masalah koordinasi dan komunikasi “senior-junior” maupun antar matra. Tak bisa dipungkiri bahwa Hadi termasuk “double-minority”, ia terhitung masih junior dan berasal dari Angkatan Udara di tengah “lautan” Angkatan Darat. Hadi yang notabene angkatan 1986 harus memimpin para pejabat teras TNI yang rata-rata berasal dari angkatan 1983-1985, sama halnya seperti yang terjadi di Polri dimana Jenderal Tito (Akpol 1987) harus memimpin bawahannya yang justru sangat senior dibanding dia. Maka kemudian, Hadi harus mampu berkomunikasi dengan semua kalangan dari semua matra agar kedudukan dan legitimasinya sebagai Panglima lebih kuat serta tidak mudah digoyang oleh isu rendahnya soliditas organisasi. Hadi yang belum pernah memegang jabatan setingkat Panglima Komando Operasi Angkatan Udara harus membuktikan diri bahwa ia mampu memiliki sense of command dan mengerti arti strategis wilayah dalam konteks pertahanan negara.

Presiden, Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan dalam Acara HUT TNI, 5 Oktober 2017
(Sumber: voaindonesia.com)

Hal penting lain yang harus diperhatikan adalah isu profesionalisme TNI yang mulai “ternoda” oleh langkah Jenderal Gatot yang mulai cawe-cawe masalah politik. Hadi harus membuktikan diri bahwa ia prajurit profesional yang lurus bekerja mempertahankan negara dari segala ancaman (luar), bukan justru bermain mata dengan banyak kelompok politik seraya mengumpulkan dukungan dengan bersafari ke daerah-daerah yang jauh hubungannya dengan upaya pertahanan negara. Komitmen profesionalisme, penegakkan HAM, demokrasi, dan pemberantasan korupsi harus benar-benar dijunjung tinggi, sembari mengupayakan transformasi pertahanan yang berfokus para peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang selalu menjadi sorotan banyak pihak.

Pada akhirnya, semua kemungkinan akan kembali ke meja Presiden. Kita tidak pernah tahu kemungkinan lain jika Presiden Jokowi memperpanjang masa pensiun Jenderal Gatot, atau memilih nama selain Hadi.

Dan betul, sebagai warga negara biasa, kita hanya bisa berharap Presiden memilih nama terbaik sembari mengamati “proses politik” tersebut dari jauh saja, tak lebih. 

Jumat, 05 Mei 2017

Roesmin, Angkatan Udara, Orde Baru

David Jenkins dalam “Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983” (1984) membagi 2 lingkaran besar para jenderal-jenderal yang berkuasa di era Orde Baru, yakni lingkaran dalam Soeharto; yang terdiri dari Letjen Ali Moertopo, Jenderal Yoga Soegama, Jenderal Benny Moerdani, dan Laksamana Soedomo, dan lingkaran luar Soeharto; yakni Jenderal Maraden Panggabean, Jenderal Soemitro, Jenderal M. Jusuf, Jenderal Widodo, Jenderal Darjatmo, dan Letjen Sutopo Juwono. 

Terlepas dari pertanyaan mengapa beberapa nama penting lain tidak masuk dalam daftar di lingkaran, seperti Mayjen Soedjono Humardhani, Letjen Ibnu Sutowo, Letjen Sudharmono, Jenderal Amir Machmud atau Jenderal Surono, jika kita menganalisis sejarah panjang Orde Baru, nama-nama diatas adalah para “orang kuat” yang menjadi benteng utama tegaknya rezim ini, yang dengan ditopang Dwifungsi ABRI, mereka membentuk struktur dominasi militer sehingga mampu mengendalikan kehidupan seluruh negara, mulai dari kebijakan luar negeri sampai kehidupan masyarakat di desa-desa. Mereka yang masuk lingkaran dalam ialah mereka yang tidak hanya memiliki hubungan tugas dengan Soeharto, tetapi juga kedekatan pribadi yang telah menjadi rahasia umum, seperti Ali-Yoga yang merupakan rekan Soeharto sejak di Kodam Diponegoro dan Kostrad, Soedomo yang telah dikenal Soeharto sejak di Operasi Mandala Pembebasan Irian Barat, serta Benny yang sudah dipercaya Soeharto menjadi security officer dalam tahun-tahun pertama kepresidenannya.

Yang menarik, selain Soedomo yang Angkatan Laut, tidak ada jenderal dari matra lain yang masuk dalam lingkaran kedekatan Soeharto, baik luar maupun dalam. Pilihan Soeharto yang dominan “hijau” dapat dipahami karena ia sendiri adalah jenderal Angkatan Darat yang tentunya memilih orang-orang yang sudah lama dikenalnya sejak di Kodam Diponegoro, Kostrad, ataupun ketika terlibat Operasi Mandala Pembebasan Irian Barat. Terlebih lagi, ia adalah sosok yang sulit ditebak akan memberikan kepercayaannya kepada siapa, seperti contoh Benny Moerdani yang sebelum “ditemukan” Soeharto dan ditarik ke Jakarta, Benny hanyalah seorang Konsul Jenderal yang bertugas di Korea Selatan yang menyadari dirinya akan menghabiskan karir sebagai pegawai korps diplomatik, namun secara tak terduga kurang dari 15 tahun Soeharto memberikannya jabatan Panglima ABRI yang sangat powerful (Said, 2016).

Mumpung masih belum jauh dari HUT TNI-Angkatan Udara yang ke 71 tanggal 9 April lalu, mari kita coba jawab pertanyaan ini: Adakah perwira tinggi Angkatan Udara yang dipercaya Soeharto memegang jabatan penting dalam waktu yang lama sebagaimana ia mempercayai jenderal-jenderal Angkatan Darat-nya selama 32 tahun Orde Baru? Dan jika kita berusaha untuk menjawab pertanyaan ini dengan menganalisis siapa-siapa saja jenderal Angkatan Udara yang pernah diberikan tanggungjawab yang cukup lama oleh Soeharto baik di dalam ataupun di luar kabinetnya, setidaknya kita akan menemukan 2 nama; Marsekal Roesmin Noerjadin dan Marsekal Madya Ginandjar Kartasasmita. Dalam tulisan ini, saya akan bercerita tentang Roesmin (1930-1994), arek Malang penjelajah angkasa Nusantara.

Kondisi Politik dan Kedekatan dengan AD

Sebelum terhisap lebih dalam ke pusaran kekuasaan Orde Baru, Roesmin Noerjadin dikenal sebagai salah satu pilot tempur terbaik Angkatan Udara yang kemudian menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Udara menggantikan Marsekal Sri Mulyono Herlambang yang “dikudeta” oleh para perwira Angkatan Udara yang pro-Kostrad (atau dapat pula dipahami sebagai pro-Soeharto yang sedang berupaya mengambil alih kekuasaan Soekarno). 

Terkait perpindahan kepemimpinan Angkatan Udara dari Sri Mulyono ke Roesmin ini, Humaidi menuliskannya dengan apik dalam tesisnya berjudul “Politik Militer Angkatan Udara Republik Indonesia dalam Pemerintahan Sukarno 1962-1966” (2008). Dalam tesisnya, Humaidi menjelaskan bahwa sempat terjadi perselisihan hebat antara perwira Angkatan Udara (selanjutnya sesuai dengan nama saat itu disingkat sebagai AURI) pro-Soekarno dipimpin oleh Sri Mulyono yang masih menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Udara dan perwira yang menuntut kepemimpinan figur yang lebih bersih yang dipimpin Komodor Suyitno Sukirno. Secara terang-terangan dalam suatu rapat internal AURI, kubu Suyitno menuntut mundurnya Sri Mulyono untuk menjaga kesatuan AURI, dan hal tersebut dipahami Sri Mulyono karena memang selama memimpin ia menghadapi banyak kesulitan, utamanya dari Angkatan Darat yang sulit diajak bekerja sama. Oleh karenanya, pada 23 Maret 1966, Sri Mulyono mengajukan surat pengunduran diri sebagai Men/Pangau kepada Presiden Soekarno, namun pengunduran diri tersebut tidak diiyakan Presiden sehingga secara legal-formal, Sri Mulyono masih menjabat sebagai Men/Pangau.

Masih menurut Humaidi (2008), ketika mendengar kabar pengunduran diri Sri Mulyono, Dewan AURI segera menunjuk Deputi Operasi Men/Pangau Roesmin Noerjadin sebagai Ketua Dewan AURI untuk memusyawarahkan nama Men/Pangau yang baru. Dengan segera Roesmin mengundang para perwira AURI ke Lanud Halim Perdanakusumah pada 28 Maret 1966 untuk mencari nama yang cocok menjadi Men/Pangau. Tetapi di saat yang bersamaan, Sri Mulyono yang ternyata masih menjabat juga mengadakan rapat di Mabes AURI Tanah Abang, sehingga kubu Suyitno dan Roesmin dengan segera melihat bahwa rapat di Mabes AURI sebagai rapat tandingan untuk menghimpun kekuatan di kubu Sri Mulyono. Ketegangan muncul saat Suyitno, Roesmin, dan Leo Wattimena datang ke Mabes AURI untuk meminta penjelasan atas rapat yang sedang diselenggarakan, dan ketegangan semakin memuncak ketika Suyitno mengajak duel Sri Mulyono dengan pistol, yang pada akhirnya tidak terjadi. 

Kejadian di atas kemudian dilihat sebagai upaya kudeta yang mengandalkan kekerasan tanpa mengindahkan adanya forum musyawarah yang telah disediakan untuk menyelesaikan permasalahan. Lalu, beberapa hari setelah kejadian tersebut, Sri Mulyono yang hendak menyingkir ke Bandung untuk beristirahat dicegat dan ditangkap pasukan Angkatan Darat (Kodam V/Jaya) serta dibawa kembali ke Jakarta untuk dijadikan tahanan rumah. Disaat Sri Mulyono menjadi tahanan rumah inilah posisi Men/Pangau diisi oleh Roesmin Noerjadin melalui pelantikan di depan Presiden Soekarno pada 7 April 1966.  


(ki-ka) Roesmin, Men/Pangak Soetjipto Joedodihardjo, Men/Pangal Moeljadi, dan Men/Pangad Soeharto, ca. 1966
(Gahetna)

Jika ditelaah lebih dalam, terpilihnya nama Roesmin memang tidak mengherankan selain karena posisinya yang cukup tinggi--di usia yang masih 36 tahun--dalam kepemimpinan AURI ketika itu, Roesmin juga dikenal dekat dengan para perwira Angkatan Darat, khususnya Soeharto yang secara de-facto memegang otoritas tertinggi negara pasca-Supersemar 1966. Menurut Sri Mulyono, Roesmin cenderung lebih mendengarkan arahan dari Kostrad pimpinan Mayor Jenderal Soeharto daripada para petinggi AURI, dan juga menurut Letjen M. Jasin (Pangdam Brawijaya 1967-1970, Wakil KSAD 1970), naiknya nama Roesmin juga memang telah direncanakan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution karena Roesmin sejak lama memiliki kontak pribadi dengan Nasution dan cukup sering terlibat dalam misi-misi kenegaraan yang dipimpin Nasution (Humaidi, 2008).

Dikutip dari penelitian Humaidi, selama kepemimpinan Roesmin sebagai Men/Pangau (kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Udara pasca reorganisasi Hankam), otomatis kebijakan AURI berubah 180 derajat, dari yang selama kepemimpinan Soerjadi Soerjadarma (1946-1962), Omar Dani (1962-1965), dan Sri Mulyono Herlambang (1965-1966) sangat loyal terhadap Presiden Soekarno dan mendukung tiap langkah yang diambil Pemimpin Besar Revolusi –sama halnya dengan loyalitas yang ditunjukan Angkatan Laut, khususnya KKO/Marinir lewat ucapan khas “Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO, putih kata Bung Karno, putih kata KKO”--menjadi lebih netral terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno bahkan lebih condong ke Angkatan Darat dibawah pimpinan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto. 

Dalam hal ini, naiknya Roesmin ke tampuk kepemimpinan AURI menjadi upaya Angkatan Darat dan Soeharto untuk melakukan de-Soekarnoisasi dalam tubuh AURI, sekaligus menghimpun kekuatan dalam memuluskan jalan membangun Orde Baru (Humaidi, 2008). Dan hal tersebut segera menemui hasil, ketika akhirnya Omar Dani dan Sri Mulyono dari AURI serta Hartono dari Angkatan Laut (KKO) yang sangat pro-Soekarno berhasil disingkirkan rezim Orde Baru, posisi politik Soekarno semakin lama semakin melemah.

(ki-ka) Panglima KKO Hartono, Men/Pangak Hoegeng Iman Santoso, Roesmin, dan Men/Pangal Moeljadi dalam Prasetya Perwira Remaja di AAL Surabaya, ca. 1968
(Dokumentasi Pribadi)

“Calon Pangkopkamtib”

Roesmin memimpin Angkatan Udara selama lebih dari 3 tahun, sejak 7 April 1966 sampai 10 November 1969, setelah itu, pada tahun 1970 ia diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Kerajaan Inggris, pos yang sebelumnya dijabat oleh mantan Pangdam Siliwangi Letjen Ibrahim Adjie, dan setelah Roesmin menjabat diisi oleh mantan KSAL Laksamana R. Soebono serta mantan KSAU Marsekal Saleh Basarah. Setelah bertugas di London selama kurang lebih 4 tahun, Roesmin ditempatkan di Washington, D.C. sebagai Duta Besar RI untuk Amerika Serikat pada tahun 1974 sampai tahun 1977.

Selama periode “keduta-besarannya” antara tahun 1970-1977 sebetulnya terselip satu peristiwa yang menarik. Menurut Cahyono dalam buku “Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974” (1998), Presiden Soeharto pada tahun 1971 pernah memerintahkan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jenderal Soemitro untuk memilih wakilnya; antara Laksamana Soedomo dan Marsekal Roesmin Noerjadin. Dengan segenap alasan, khususnya terkait perhatian utama Soemitro terhadap keamanan laut Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan, maka Soedomo yang terpilih. Jika saja pilihan Soemitro jatuh kepada Roesmin, maka mungkin Roesmin–bukan Soedomo--yang akan duduk sebagai Pangkopkamtib menggantikan Soemitro yang diberhentikan pasca huru-hara Malari 1974 dan jalan sejarah Orde Baru akan berbeda dengan apa yang kita lihat sekarang, karena cemerlangnya karier Laksamana Soedomo selama rezim Orde Baru sangat ditentukan dari momen kritis saat dirinya menjabat Wakil Pangkopkamtib, Kepala Staf Kopkamtib, dan kemudian Pangkopkamtib.

Roesmin saat menjabat Menteri Perhubungan, ca. 1983
(Tempo)

Ketika Soeharto dilantik kembali sebagai Presiden pada tahun 1978, nama Roesmin masuk radar dan ia dipanggil pulang ke Jakarta untuk menjabat sebagai Menteri Perhubungan selama 2 periode, yakni dalam Kabinet Pembangunan III (1978-1983) dan Kabinet Pembangunan IV (1983-1988). Roesmin menjadi perwira tinggi Angkatan Udara kedua yang diangkat menjadi menteri dalam pemerintahan Soeharto setelah Marsekal Muda Boediardjo. Dan pos Menteri Perhubungan menjadi pos terlama serta terakhir dirinya, sehingga jika ditotal sejak menjabat sebagai Men/Pangau pada tahun 1966, ia telah mengabdikan 22 tahun hidupnya untuk Orde Baru lewat berbagai jabatan. Suatu pencapaian yang cukup besar karena tidak semua orang dapat bertahan lama dalam lingkaran kekuasaan Soeharto.

Bertahan lamanya Roesmin selama Orde Baru tidak hanya karena kinerja dan loyalitas dirinya terhadap Soeharto, tetapi memang karena ia sama sekali tidak dilihat sebagai ancaman bagi sang Presiden, karena bagi Soeharto, lama-tidaknya seseorang dapat bertahan di suatu posisi  bergantung dari apakah orang tersebut bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan kepemimpinan dirinya (Said, 2016). Sejak pagi-pagi sekali Roesmin telah ditugaskan ke London, lalu kemudian ke Washington, D.C. dimana kesempatan dirinya untuk menghimpun dan membina pengikut menjadi tidak ada sama sekali. Pos Menteri Perhubungan pun bukanlah pos yang tertutup dan penuh intrik sehingga Soeharto dapat dengan jelas memantau apa yang dilakukan Roesmin. Dan sama seperti Soedomo yang awet sebagai pembantu Soeharto, Roesmin tahu dirinya hanya alat bagi sang Presiden, walaupun ia salah satu figur yang memuluskan jalan Soeharto menuju puncak kejayaannya lewat Angkatan Udara, Roesmin tidak pernah merasa dirinya sosok berkuasa sehingga selama Orde Baru dirinya “terselamatkan”, bahkan dimuliakan rezim.


Yogyakarta, Mei 2017



Daftar Bacaan

Cahyono, Heru. 1998. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Humaidi. 2008. Politik Militer Angkatan Udara Republik Indonesia dalam Pemerintahan Sukarno 1962-1966. Tesis pada Program Studi Ilmu Sejarah Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Jenkins, David. 1984. Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983. New York: Cornell Southeast Asia Program Publications.

Said, Salim Haji. 2016. Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. Bandung: Penerbit Mizan.



Kamis, 06 April 2017

Ajudan Presiden dan Politik Istana

Selalu menarik mempelajari hal ihwal kepresidenan di negeri ini, karena sepanjang 71 tahun sejarah Indonesia, hanya ada 7 orang yang mampu mencapai posisi Presiden Republik Indonesia. Berbagai pola dan peta politik, strategi, intrik, bahkan tipu daya disiapkan jauh-jauh hari untuk memenangkan kursi kepresidenan, yang mungkin nominal gajinya dibawah para direktur utama BUMN atau Gubernur Bank Indonesia, namun gerak-arah Indonesia beserta seluruh isinya ditentukan dari posisi ini. Kuasa seorang Presiden bisa mengubah satu kondisi yang buruk ke kondisi yang lebih baik –begitu juga sebaliknya, dan bisa mengubah nasih seseorang dari yang “bukan siapa-siapa” menjadi “siapa”. Kuasa yang kedua ini sangat relevan jika kita kaitkan dengan pola mutasi dan promosi para ajudan Presiden di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada masa pertamanya (2004-2009).

SBY 'meminjam' punggung Kolonel M. Munir: Salah satu foto legendaris
(www.brilio.net)

Kolonel (Inf) M. Munir (Akmil 1983), Kolonel (Pnb) Bagus Puruhito (AAU 1984), Kolonel Laut (P) Didit Herdiawan Ashaf (AAL 1984), dan Komisaris Besar (Pol) Putut Eko Bayuseno (Akpol 1984) adalah 4 perwira menengah yang ditunjuk menjadi Ajudan Presiden SBY pada tahun 2004 sampai tahun 2009. Tidak ada diantara mereka yang meraih Adhi Makayasa, namun perjalanan karir mereka dapat dibilang cukup paripurna sejak Letnan Dua sampai Kolonel; mulai dari pengalaman staf, teritorial, pendidikan, sampai tempur telah mereka lalui. Mengikuti jejak Soeharto, SBY yang menjabat Presiden selama 2 periode tidak lupa pada para mantan ajudannya dan turut mengawal serta merawat karir mereka sampai ke jabatan tertinggi di matranya masing-masing. Dan memang terbukti, kurang dari 5 tahun (2013-2014) hampir dari mereka telah menduduki jabatan sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan berbintang tiga di usia yang relatif muda (Wakil KSAD Letjen M. Munir-54 tahun, Wakil KSAL Laksdya Didit Herdiawan-52 tahun, Wakil KSAU Marsdya Bagus Puruhito-51 tahun), sedangkan Komjen Putut Eko meraih pangkat bintang tiganya melalui jabatan Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri di usia 52 tahun. Maka kemudian, dengan pangkat tinggi dan usia yang masih cukup jauh dari masa pensiun (4-7 tahun), mereka diproyeksikan akan menjadi Kepala Staf Angkatan, Panglima TNI, dan Kapolri dalam waktu yang tidak lama.


Mutasi dan Promosi Mantan Ajudan Presiden SBY Pasca-2009

M. Munir
Bagus Puruhito
Didit Herdiawan
Putut Eko Bayuseno
2010 - Kasdivif 1/Kostrad; Kasdam Jaya (Brigjen); Pangdivif 2/Kostrad (Mayjen)
2009 – Danlanud Halim Perdanakusumah (Marsma)
2009 – Danguspurla Koarmabar (Laksma)
2009 – Wakil Kapolda Metro Jaya (Brigjen)
2011 – Pangdam III/Siliwangi (Mayjen)
2010 – Kaskoopsau I (Marsma)
2010 – Kepala Staf Koarmabar (Laksma); Pangkolinlamil (Laksda)
2011 – Kapolda Banten (Brigjen); Kapolda Jawa Barat (Irjen)
2012 – Pangkostrad (Letjen)
2011 – Dankodikau (Marsda)
2011 – Pangarmabar (Laksda)
2012 – Kapolda Metro Jaya (Irjen)
Mei 2013 – Wakil KSAD (Letjen)
2012 – Pangkoopsau I; Asops KSAU (Marsda)
2012 – Asops KSAL (Laksda)
Maret 2014 – Kabaharkam Polri (Komjen)
2015 – Pati Mabes TNI; Sekjen Wantannas (Letjen)
Mei 2014 – Wakil KSAU (Marsdya)
Mei 2014 - Wakil KSAL (Laksdya)
2017 - Irwasum Polri (Komjen)
2016 - Pensiun
2015 – Wagub Lemhannas (Marsdya)
2015 – Wagub Lemhannas; Kasum TNI (Laksdya)

(Keterangan: Warna kuning menunjukkan mutasi dan promosi terakhir di era kepemimpinan Presiden SBY; Sumber: Wikipedia)


Tetapi kemudian, naiknya Joko Widodo menjadi Presiden pada 20 Oktober 2014 membuyarkan proyeksi besar tersebut. Beberapa dari mereka karirnya mandek bertahun-tahun, seperti Komjen Putut yang menduduki jabatan Kabaharkam Polri selama lebih dari 3 tahun sejak Maret 2014; ditempatkan pada pos yang kurang prestise seperti Marsdya Bagus yang saat ini sedang ditempatkan sebagai Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional; bahkan dinon-jobkan, seperti Letjen Munir yang sempat non-job selama setahun lalu kemudian ditempatkan sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional sampai pensiun. Sebuah kenyataan yang cukup menyedihkan mengingat ketika SBY masih menjabat Presiden, karir mereka melesat bak meteor, namun kemudian meredup setelah SBY digantikan Joko Widodo. Hanya Laksdya Didit yang meraih karir cukup baik dengan menjabat sebagai Kepala Staf Umum TNI, yang secara protokoler setara dengan Wakil Panglima TNI, namun ia pun tak pernah dimutasi kemanapun lagi setelahnya. 

Selain itu, jika dilihat dari kacamata suksesi kepemimpinan, para mantan ajudan inipun telah beberapa kali diloncati dalam pemilihan Kepala Staf Angkatan dan Kapolri, seperti Letjen Munir yang telah diloncati 4 kali dalam pemilihan KSAD sampai kemudian pensiun pada Oktober 2016, Laksdya Didit diloncati 1 kali dalam pemilihan KSAL, Marsdya Bagus diloncati 2 kali dalam pemilihan KSAU, dan Komjen Putut diloncati 2 kali dalam pemilihan Kapolri. 3 nama terakhir sesungguhnya masih mempunyai kans untuk terpilih, namun jika dilihat lebih dalam, banyak kesulitan yang akan dihadapi oleh mereka. Untuk KSAL, saat ini masih dijabat Laksamana Ade Supandi (AAL 1983) yang akan pensiun Mei 2018, dan saat itu tiba, Laksdya Didit sudah berumur 56 tahun, bersaing dengan Laksdya Ahmad Taufiqoerrochman (AAL 1985)--dalam hal ini Laksdya Widodo (AAL 1983), Laksdya Desi Albert Mamahit (AAL 1984), dan Laksdya Arie Soedewo (AAL 1983) tidak masuk hitungan karena telah pensiun pada 2018--dan para perwira tinggi potensial lainnya. Untuk KSAU, justru saat ini dipegang oleh Marsekal Hadi Tjahjanto yang lebih junior (AAU 1986) dibanding Marsdya Bagus, sehingga peluang baginya semakin tipis. Dan untuk Kapolri, seperti halnya KSAU, saat ini dipegang oleh Jenderal Tito Karnavian yang “sangat junior” (Akpol 1987) dibanding para perwira tinggi lain di Mabes Polri, sehingga kans bagi Komjen Putut juga sama tipis. Jika saja SBY ketika masih menjabat lebih agresif mempromosikan para mantan ajudannya, hal-hal seperti diatas tidak mungkin terjadi, tetapi karena ia lebih mengutamakan perwira senior dan juga ada anggapan bahwa perjalanan karir mereka masih panjang karena usia yang relatif muda, maka para mantan ajudan ini harus memendam hasratnya. Tanpa diduga-duga Presiden Joko Widodo justru tidak memberikan karpet merah bagi mereka.

Menghapus Pengaruh SBY

Banyak kalangan yang menilai bahwa apa yang terjadi pada mereka tidak lepas dari rencana “de-Yudhoyono-isasi” dalam tubuh TNI dan Polri, dan hal semacam ini bukan sekali terjadi. Menurut Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), untuk membersihkan pengaruh mantan Panglima ABRI Jenderal LB “Benny” Moerdani yang dianggap membahayakan kelangsungan kepemimpinan Soeharto, rezim Orde Baru melancarkan kebijakan “de-Benny-isasi” yang berupaya membersihkan para pengikut dan orang dekat Jenderal Benny di tubuh ABRI, dimana yang menjadi korban dari kebijakan ini antara lain Teddy Rusdi yang harus pensiun dini dari jabatan Asisten Perencanaan Umum ABRI dengan pangkat Marsekal Muda,  Sintong Panjaitan yang dinon-jobkan selepas menjabat Pangdam Udayana atas dalih Insiden Santa Cruz (Timor-Timur), Johny Lumintang yang menjabat Pangkostrad hanya 17 jam, Luhut Binsar Panjaitan yang hanya mampu mengakhiri karir kemiliterannya sebagai Komandan Kodiklat TNI-AD lalu "didubeskan" ke Singapura, dan bahkan Jenderal Try Sutrisno yang walaupun menjabat sebagai Wakil Presiden mendampingi Soeharto (1993-1998), posisinya tidak lebih sebagai ban serep atau dalam terminologi ketika itu “ditendang ke atas”. Apa yang terjadi diatas diyakini sedang terjadi lagi saat ini, karena ajudan Presiden dianggap sebagai orang dekat Presiden yang mengenal baik secara formal maupun secara pribadi seorang Presiden. Dan apabila Affifudin (2014) melihat tidak terjadi de-Yudhoyono-isasi seperti halnya de-Soekarno-isasi ataupun de-Soeharto-isasi yang dipenuhi huru-hara berdarah, de-Yudhoyono-isasi ini mewujud dalam bentuk terancamnya karir para perwira TNI-POLRI yang dianggap dekat dengan SBY.

Jika daftar ini ingin diperpanjang, selain para mantan ajudannya, Letjen Ediwan Prabowo (Akmil 1984) dapat dimasukkan dalam daftar. Letjen Ediwan yang meraih pangkat bintang satu lewat jabatan Sekretaris Pribadi Presiden SBY pada tahun 2008 “dimandekkan” karirnya selepas menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan pada tahun 2016. Menurut Santoso (2016), campur tangan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang masih sakit hati atas keputusan Presiden SBY membatalkan pengangkatan dirinya sebagai Panglima TNI pada tahun 2004 menjadi penyebab mandeknya karir Letjen Ediwan dimana ia dijadikan sasaran balas dendam karena pernah menjadi “orangnya SBY”. Saat ini, Letjen Ediwan harus puas duduk dalam jabatan Pati Staf Khusus KSAD, sebuah pos yang terlalu rendah untuk diduduki seorang perwira tinggi sekelas dirinya.

Mayor Jenderal Ediwan Prabowo saat menjabat Pangdam V/Brawijaya 
(www.yuniarpw.wordpress.com)

Dalam pandangan saya, dengan naiknya para mantan ajudan Presiden SBY ke jabatan tertinggi TNI-POLRI di masa kepresidenan Joko Widodo, dikhawatirkan mereka akan menjadi kepanjangan tangan SBY dalam berbagai pola mutasi dan promosi, karena SBY yang seorang purnawirawan Jenderal beserta para pengikutnya tentu memiliki “gerbong” perwira yang akan dipromosikan ke pos-pos strategis –persis seperti ketakutan Soeharto terhadap pengaruh Benny Moerdani. Jangan dilupakan bahwa SBY dan Joko Widodo berasal dari partai politik yang memiliki latar belakang “permusuhan” sejak Pemilu 2004 (PDIP-Partai Demokrat), sehingga ketika PDIP berhasil membalaskan dendam lewat perebutan kursi kepresidenan pada tahun 2014, semua legasi SBY dalam berbagai segi berusaha untuk dihapuskan. Selain itu, Presiden Joko Widodo beserta orang-orang di lingkarannya juga pasti memiliki daftar para perwira yang ingin diorbitkan karena kedekatan yang dimilikinya. Dan sejauh ini mereka berhasil melakukannya, antara lain kepada Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal (Pol) Budi Gunawan yang sempat gagal menjadi Kapolri (Ajudan Presiden Megawati Sukarnaputri 2001-2004), Wakil Kapolri Komisaris Jenderal (Pol) Syafrudin (Ajudan Wakil Presiden Jusuf Kalla 2004-2009), Kapolda Banten Brigadir Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo (Ajudan Presiden Joko Widodo 2014-2016)--ia adalah Kapolda termuda saat ini dilihat dari segi angkatan (Akpol 1991), saat ini menjabat Kadiv Propam Polri dengan pangkat Irjen (2018)--dan KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto (Sekretaris Militer Presiden Joko Widodo 2015-2016). Nama-nama tersebut kemungkinan akan terus bertambah, karena Joko Widodo masih punya waktu 2 tahun lagi sebagai Presiden, dan akan makin bertambah banyak jika ia mampu duduk kembali sebagai Presiden di tahun 2019. Dalam hal ini, Joko Widodo terlihat lebih agresif dibanding SBY.

Komisaris Besar (Pol) Listyo Sigit Prabowo saat menjabat sebagai Ajudan Presiden Joko Widodo
(www.harianindo.com)

Pada akhirnya, mengutip Santoso (2016), bahwa kepemimpinan politik sipil ibarat pedang bermata dua bagi karir perwira tinggi TNI-POLRI, di satu sisi dapat berbuah kejayaan, seperti ketika SBY masih dalam kekuasaannya dan mampu mengorbitkan karir para mantan ajudannya, atau justru sebaliknya, seperti ketika Joko Widodo justru mengesampingkan para mantan ajudan Presiden SBY dan mengorbitkan perwira tinggi yang dekat dengannya. Pertanyaannya, apakah pola semacam ini akan terus berlanjut di masa yang akan datang? Dan apakah akan berpotensi mengganggu soliditas organisasi dan hubungan antara sipil-militer? Biar waktu yang menjawab.


Yogyakarta, April 2017



Daftar Bacaan
Affifudin, Mohammad. 2014. “Deyudhoyonoisasi”. Jawa Pos, 29/09. (Diakses dari http://www2.jawapos.com/baca/opinidetail/7511/Deyudhoyonoisasi)

Said, Salim Haji. 2016. Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. Bandung: Penerbit Mizan.

Santoso, Aris. 2016. “Misteri Keberuntungan Wiranto”. Deutsche Welle, 24/10. (Diakses dari http://www.dw.com/id/misteri-keberuntungan-wiranto/a-35973276)