Rabu, 06 Maret 2019

Perwira TNI Non-Job: Bersatunya Problem Relasi Sipil-Militer dan Personalia


Dalam beberapa minggu terakhir, pemberitaan mengenai wacana penempatan perwira—khususnya Pamen dan Pati—TNI non-job dalam posisi-posisi sipil Kementerian telah banyak menyedot perhatian publik. Para aktivis pro-demokrasi, utamanya yang memusatkan pandangan pada reformasi sektor keamanan menolak dengan keras wacana tersebut karena berpotensi mengembalikan ruang bagi bangkitnya ‘Dwifungsi TNI’ jilid dua. Ada juga yang melihat bahwa munculnya wacana tersebut sebagai bagian dari kurang baiknya manajemen personalia TNI sehingga menimbulkan kemandekan karir para perwira tinggi TNI yang seharusnya dapat berkontribusi lebih banyak sesuai bidang kerjanya dalam kemiliteran.

Menurut pandangan saya pribadi, kemandekan karir tersebut lebih disebabkan pada kurang tanggapnya manajemen personalia TNI dalam menghadapi gelombang perwira TNI yang memasuki golongan Pamen senior dan Perwira Tinggi sejak awal 2010-an. Dari sisi kesejarahan—utamanya berkaitan dengan relasi sipil-militer Orde Baru—kemandekan tersebut bisa diketahui penyebabnya.

Aksi Kamisan Menolak 'Dwifungsi TNI', Februari 2019
(sumber: CNN Indonesia)

Sejalan dengan semakin masifnya implementasi konsep Dwifungsi ABRI, jumlah penerimaan taruna AKABRI, terkhusus Akademi Militer (Akmil) mengalami peningkatan yang amat pesat dibanding sebelumnya sejak pertengahan dekade 1980-an. Lulusan AKABRI kemudian diproyeksikan tak hanya duduk di posisi kemiliteran, tetapi juga mampu berkarir di institusi sipil, padahal di masa-masa itu, utamanya saat kepanglimaan Jenderal Leonardus Benyamin 'Benny' Moerdani (1983-1988), TNI sedang menggalakkan upaya perampingan struktur ABRI sehingga agak kontradiktif dengan kenyataan yang ada. Di tahun 1980-1982, abituren (alumni) Akmil berjumlah tak lebih dari 160 orang tiap lichting-nya, namun perlahan naik di bilangan 187 orang di tahun  1983, dan kemudian melonjak sampai di angka 234 orang di tahun 1985. Selanjutnya, jumlah abituren Akmil selalu berada di atas 250 orang.

Namun, skema yang telah terbangun tersebut mendadak buyar ketika Reformasi TNI pecah pada awal dekade 2000-an. Dwifungsi yang menjadi wahana bagi pencapaian karir di luar kemiliteran dihapuskan, menjadikan prajurit TNI benar-benar pada posisinya yang profesional sebagai penjaga pertahanan Negara. Reformasi TNI kemudian tak membayangkan adanya bottle-necking karir perwira TNI—khususnya TNI-AD—di  masa depan, padahal ia adalah konsekuensi logis dari dihilangkannya posisi-posisi sipil yang sebelumnya bisa diisi para abituren Akmil yang berlimpah jumlahnya. Jumlah abituren Akmil pun tak bisa dikurangi secara drastis karena kecabangan militer yang semakin beragam, meskipun TNI-AD telah menerapkan kebijakan Zero Growth of Personnel (ZGP). Angka yang cukup rendah baru bisa dicapai pada dua-tiga tahun ke belakang dengan jumlah abituren tak lebih dari 230 orang.

The Jakarta Post per tanggal 4 Maret 2019 mencatat bahwa terdapat 500 Kolonel dan 150 Pati TNI yang mengganggur, namun pengamat militer Universitas Padjadjaran Dr. Muradi mencatat bahwa mungkin terdapat 800 Pamen dan Pati TNI yang berada pada posisi non-job. Upaya untuk melakukan mutasi jabatan pun sulit dilakukan karena tidak ada pos yang bisa diisi, dan jika hanya mengandalkan rotasi jabatan kenaikan karir dan pangkat para perwira tersebut sulit diraih, ditambah dengan kenyataan bahwa terjadi perpanjangan Masa Dinas Prajurit (MDP) dari 55 tahun menjadi 58 tahun berdasarkan UU No. 34/2004 tentang TNI. Lebih dari itu, di tubuh TNI sendiri diyakini masih hidup budaya favoritisme dan patrimonialisme terselubung yang terbangun selama berpuluh-puluh tahun; para perwira dan pejabat yang lebih tinggi mempromosikan bawahan—bisa juga adik asuh—yang memiliki kedekatan personal dengan dirinya, melompati mekanisme normal yang ada sehingga berlomba-lombalah para perwira yang bermimpi memiliki karir cemerlang dengan membangun atau mendekati klik-klik tertentu.

Wajar saja kemudian pemerintah mewacanakan penempatan para Perwira TNI aktif ke dalam institusi sipil sebagai respons instan atas kebuntuan yang terjadi di atas, tetapi jelas wacana tersebut bukan hal populer; Ia mendapat pertentangan masif dari banyak kalangan yang merasakan trauma kolektif atas berkuasanya militer dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita.

Penguatan Fungsi Organik

Dalam Peta Jalan Reformasi Birokrasi Tentara Nasional Indonesia Tahun 2015-2019, terdapat sembilan program yang diturunkan dalam beberapa agenda prioritas, salah satunya adalah Penataan Sistem Manajemen SDM TNI dengan fokus membangun manajemen personalia TNI yang profesional dan mampu menjawab tantangan tugas TNI ke depan, yang diturunkan dalam berbagai kegiatan antara lain perencanaan kebutuhan personel sesuai dengan kebutuhan organisasi, penataan pola karier personel TNI, penetapan kinerja individu, dan pelaksanaan evaluasi jabatan. Kegiatan-kegiatan tersebut sesungguhnya sedikit-banyak mampu mengurai problem munculnya para perwira non-job yang ada, namun karena perwira non-job tersebut dari tahun ke tahun semakin menggunung, pendekatan ‘konvensional’ tersebut tak mampu lagi menjadi solusi. Dibutuhkan pendekatan yang tak biasa guna menyelesaikan permasalahan yang juga tak biasa.

Masih dalam catatan The Jakarta Post (4/3/2019), pengamat militer yang juga Direktur Imparsial Al Araf sempat mengutarakan wacana untuk memasukkan para perwira non-job tersebut dalam struktur Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) guna memperkuat perannya sebagai tulang punggung peperangan modern, dan juga pos jabatan berkaitan dengan peperangan siber (cyber warfare) dalam menjawab tantangan keamanan global. Di saat yang sama, momentum menumpuknya perwira non-job tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi besar-besaran struktur organisasi TNI yang inefisien dan justru membebani anggaran pertahanan, termasuk di dalamnya penghapusan Komando Kewilayahan (Kowil) yang sudah muncul sejak awal Reformasi TNI didengungkan. Meskipun saya pribadi yakin usulan terakhir tersebut akan mendapat banyak tentangan karena kemunculan Kowil didasarkan dari sejarah TNI pada saat Perang Kemerdekaan, dimana ‘kantong-kantong gerilya’ memainkan peranan yang amat vital bagi kelancaran perjuangan, sehingga akan timbul anggapan bahwa upaya menghapus Kowil sama dengan menghapus sebagian sejarah TNI.

Dalam konferensi pers pasca acara Rapat Pimpinan TNI-Polri di Istana Negara pada 29 Januari lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa akan terdapat 60 jabatan baru di tubuh TNI yang diisi oleh perwira tinggi bintang satu, dua dan tiga guna memecahkan masalah surplus perwira non-job, salah satunya beberapa jabatan di  Kostrad dalam mendukung penguatan institusi tersebut seperti disampaikan Al Araf. Berdasarkan Perpres No. 62/2016 tentang Susunan Organisasi TNI, jabatan-jabatan tersebut antara lain Inspektur Kostrad berpangkat Mayjen yang sebelumnya dijabat Brigjen dan Asisten Kaskostrad berpangkat Brigjen yang sebelumnya dijabat Kolonel. Peningkatan status tersebut akan memberikan ruang jabatan bagi para Brigjen ke bawah untuk mengisi posisi staf di Inspektorat dan Keasistenan Kaskostrad.

Presiden Joko Widodo, Pimpinan TNI-Polri dan Mantan Panglima TNI serta Kapolri,
Januari 2019
(sumber: Sekretariat Kabinet RI)

Di samping jabatan baru di Kostrad, terdapat jabatan baru yang muncul sebagai konsekuensi dari diinisiasinya Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) dengan konsep Tri-Matra Terpadu dan berada di bawah koordinasi langsung Panglima TNI. Rencananya, Kogabwilhan akan dibentuk di tiga pangkalan terintegrasi mewakili wilayah utama Indonesia (Barat, Tengah, Timur) dengan dipimpin oleh Panglima berbintang tiga, Wakil Panglima berbintang dua, dan lebih kurang enam Asisten berbintang dua. Jika memang benar-benar terbentuk, Kogabwilhan akan mampu menyerap para perwira non-job tersebut dengan melalui berbagai penilaian kemampuan dan kompetensi, yang mana sejauh ini baru terbentuk embrionya berupa Satuan TNI Terintegrasi (STT) lintas-matra di Natuna, Kepulauan Riau.

Karir Kedua

Dari sisi personalia, sesungguhnya para pengambil kebijakan di TNI, terutama matra darat menyadari bahwa tak semua perwira akan menggapai posisi puncak kemiliteran, atau dalam bahasa yang lebih ringkas, tak semua prajurit bisa menjadi Jenderal. Oleh karenanya, dikembangkan peluang karir kedua (second career) bagi perwira yang berkompeten pada bidang-bidang terkait untuk dapat bekerja pada BUMN dan instansi swasta melalui pembentukan Paban V/Sahlur (Pemisahan dan Penyaluran) baik di Mabes TNI maupun TNI-AD. BUMN maupun instansi swasta dapat mengajukan permohonan penyaluran personel yang kemudian akan diproses lebih lanjut sampai diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan. Begitupun dengan alih status prajurit TNI menjadi PNS Eselon I dan II di Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian, harus melepas status keprajuritannya dan menjadi masyarakat biasa, yang khusus di tubuh TNI-AD telah diatur dalam Peraturan KSAD No. Perkasad/37/VIII/2013 tentang Buku Pedoman Alih Status dan Alih Profesi Prajurit TNI-AD.

Penjajakan karir kedua bagi para prajurit di atas dapat dibilang sebagai model ‘penempatan perwira pada posisi-posisi sipil’ dalam bentuk yang lebih soft, meskipun yang membedakan adalah permintaan atas kebutuhan perwira diajukan oleh instansi terkait, dan mereka yang beralih status serta profesi harus pensiun dari dinas aktif keprajuritan, berbeda dengan masa Dwifungsi yang mana para perwira di-deploy pada institusi sipil sebagai bagian dari doktrin yang mesti dijalankan.

Namun pada prakteknya, kebijakan penyaluran perwira pada instansi-instansi tersebut—terutama BUMN/BUMD—tidak menemukan hasil yang menggembirakan dan berkontribusi pada pengurangan jumlah perwira non-job. Dalam Jurnal Karya Vira Jati milik Sekolah Staf dan Komando TNI-AD (Seskoad), Wisnu Joko Saputro (2016) melakukan otokritik bahwa para prajurit yang namanya diajukan pada instansi pemohon tak semuanya diserap karena tidak memenuhi kriteria dasar yang digariskan instansi tersebut, sehingga kedepannya perlu dilakukan pembekalan tentang pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan instansi pemohon, baik yang bersifat umum seperti business management, strategic management atau entrepreneurial management serta kemampuan lainnya. Karena pada dasarnya prajurit dibentuk untuk bertempur, atau meminjam kalimat Profesor Mochtar Pabotinggi, prajurit dididik untuk menumpas tidak untuk berdiskusi atau berunding, yang mana ‘lubang-lubang’ yang ada tersebut perlu diisi.

Alex Gorsky; pensiun dari U.S. Army, melanjutkan sekolah di Wharton,
menjadi CEO Johnson & Johnson
(sumber: J & J)

Berkaitan dengan keterampilan manajerial utamanya di sektor bisnis, Angkatan Bersenjata Amerika Serikat dan Singapura telah memulainya sejak lama dengan mengirimkan para perwiranya bahkan sejak level perwira pertama untuk belajar di sekolah bisnis terkemuka dunia macam Wharton School at UPenn, Harvard Business School, dan National University of Singapore (NUS) agar ketika tak lagi berdinas militer mereka memiliki kecakapan spesifik yang bisa dimanfaatkan. TNI dapat saja menggodok kebijakan serupa yang ditujukan pada perwira yang ingin memperluas pengetahuan di luar studi stratejik pertahanan yang jamak diambil, sehingga ketika mereka pada akhirnya lebih memilih karir di luar kemiliteran, kemampuan manajerial bisnis telah dimiliki, tak hanya kemudian berperan pasif sebagai komisaris atau semata.

Golden Handshake

Jika kebijakan eksisting dirasa tak cukup mampu memecah permasalahan yang ada, TNI perlu mengadopsi langkah yang lebih radikal dengan menerapkan kebijakan Golden Handshake (Jabat Tangan Emas) berupa pemensiunan dini dengan kompensasi berupa pesangon yang saling menguntungkan. Kebijakan tersebut jamak dilakukan pada sektor privat dan saat ini mulai diterapkan pada sektor publik, antara lain Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) guna menjaga kesehatan sekaligus keseimbangan organisasi.

Dengan adanya kesadaran bahwa tidak semua perwira mampu menduduki jabatan puncak dan kondisi ‘force majeure’ yang memerlukan tindakan cepat, maka dapat dilakukan mekanisme evaluasi besar-besaran para Pamen setingkat Letnan Kolonel senior dan Kolonel (masa tugas di atas 20 tahun) dengan memperhatikan aspek dedikasi, loyalitas, akademik, psikologi serta jasmani. Patokannya jelas, apakah ia telah memiliki kecakapan menjalankan fungsi staf, mampu berpikir stratejik dan memiliki bakat serta kemampuan sebagai pemimpin masa depan. Jika ditemukan hasil yang kurang sejalan dengan patokan di atas, maka diberikan opsi pensiun dini disertai pesangon, sekaligus diintegrasikan dengan pendampingan second career melibatkan lembaga psikologi independen. Mungkin tak semua karir kedua diarahkan pada sektor bisnis, maka bisa diberikan opsi lain yang sesuai dengan minat dan kemampuan yang bersangkutan.

Untuk menerapkan kebijakan yang sama kepada para Pati, saya pribadi menilai sulit terwujud dengan alasan yang telah disebutkan di atas: karir para Pati sudah ‘dikawal’ lewat hadirnya klik-klik tertentu di tubuh militer kita. Pendayagunaan yang bisa dilakukan adalah dengan menempatkan para Pati tersebut guna memperkuat tangki pemikir (think-tank) internal TNI seperti Pusat Pengkajian Strategi (Pusjianstra) TNI, sesuai dengan kualifikasi minimum yang harus dimiliki para Pati yakni memiliki kemampuan sebagai strategist bervisi global, tanpa melupakan lingkungan stratejik nasional maupun regional. Pusjianstra harus menjadi center of excellence perumusan dan pengkajian kebijakan stratejik untuk mendukung tugas-tugas pokok TNI sebagai institusi profesional. Di samping itu, keberadaan Universitas Pertahanan (Unhan) juga dapat diperkuat oleh para Pati sebagai tenaga pengajar dan pengkaji seiring dengan semakin beragamnya program studi yang dikembangkan disana serta semakin banyak jumlah mahasiswa baru yang diterima.

Akhir kata, problem penumpukan para perwira non-job yang bermuara pada kurang sehatnya TNI sebagai organisasi harus dijadikan pelajaran bagi semua pihak, baik TNI sendiri, Kementerian Pertahanan, Parlemen maupun komunitas epistemik, bahwa ihwal personalia bukan semata isu internal namun perlu dikaji secara komprehensif melibatkan semua pemangku kepentingan. Transformasi pertahanan bukan hanya bertumpu pada pembaruan alutsista, tetapi juga harus berfokus pada upaya menjadikan TNI sebagai organisasi yang sehat, kenyal dan siap sedia.

Rabu, 09 Januari 2019

Tentang Revisi UU TNI

Belum genap setahun menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional, Letjen TNI Doni Monardo mendapat penugasan baru oleh Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggantikan Willem Rampangilei. Pasca upacara pelantikan di Istana Negara Rabu (9/1) pagi, Jokowi menekankan bahwa alasan memilih Doni karena ia memiliki jiwa kepemimpinan dan manajemen yang kuat, serta mampu mengambil tindakan cepat di lapangan. Nasib baik akhirnya masih berpihak pada Doni, ketika banyak pihak—termasuk saya—melihat bahwa ia sedang ‘ditendang ke atas’ saat diangkat sebagai Sesjen Wantannas, yang acapkali menjadi kuburan karir para perwira tinggi TNI. Doni pun menjadi perwira aktif pertama yang berhasil menakik karir militer pasca-Wantannas (saya pernah menulis tentang Doni di sini).

Yang menarik berkaitan dengan penugasan baru Doni adalah ia tetap berstatus sebagai prajurit TNI aktif, berbeda dengan para pendahulunya yang saat menjabat sebagai Kepala BNPB telah purnawira dari tugas kemiliteran seperti Mayjen (Purn) Syamsul Maarif dan Laksda (Purn) Willem Rampangilei. Menurut Kepala Staf Presiden Moeldoko, Hal tersebut dilakukan karena dalam praktek penanggulangan bencana saat ini BNPB banyak berbagi peran dengan TNI dan Polri, sehingga untuk memudahkan koordinasi dan konsolidasi dipilihlah Kepala BNPB dengan status prajurit aktif. Implikasinya, perlu dilakukan revisi Perpres No. 8/2008 yang sebelumnya mengatur BNPB berada langsung di bawah Presiden menjadi di bawah Menko Polhukam agar tak melanggar UU No. 34/2004 tentang TNI. Revisi Perpres tersebut menjadi alasan tertundanya pelantikan Doni sebagai Kepala BNPB yang sedianya dilaksanakan pada 2 Januari lalu, meskipun pada akhirnya ia tetap dilantik oleh Presiden, bukan Menko Polhukam.

Doni dan Presiden Joko Widodo sesaat setelah pelantikan sebagai Kepala BNPB
(sumber: setkab.go.id)

Dalam Pasal 47 Ayat (1) UU TNI, dijabarkan bahwa “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”, yang langsung disambung dengan Ayat (2) yang berbunyi “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung”, sehingga jika mengacu pada UU tersebut, prajurit aktif dilarang untuk menduduki jabatan sipil terkecuali pada kantor-kantor tersebut. Langkah Istana dengan merevisi Perpres No. 8/2008 dapat dikatakan sebagai cara ‘menyiasati’ UU TNI karena tidak ada larangan bagi prajurit aktif untuk berdinas kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara (Kemenko Polhukam).

Upaya yang sama juga dilakukan terhadap Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang merupakan hasil reorganisasi Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) berdasarkan UU No. 32/ 2014 tentang Kelautan, yang diperkuat dengan Perpres No. 178/2014 tentang Badan Keamanan Laut. Dalam Perpres tersebut tercantum bahwa Bakamla dikoordinasikan oleh Menko Polhukam sehingga prajurit aktif dapat berdinas di dalam Bakamla, dipimpin oleh seorang perwira tinggi TNI-AL berpangkat Laksamana Madya—saat ini dipimpin Laksdya TNI Achmad Taufiqoerrochman (AAL 1985). Meskipun dalam UU TNI tidak secara gamblang disebutkan bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi ‘Keamanan Laut’, namun jika sekilas melihat namanya yang mengandung unsur ‘keamanan’, orang akan cepat mahfum jika badan tersebut digerakkan oleh para prajurit aktif, utamanya dari TNI-AL.

Berkaitan dengan isu keamanan di laut, pada pertengahan tahun 2018 lalu Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan juga pernah melontarkan gagasan untuk menarik para perwira TNI aktif membantu dirinya di Kemenko Kemaritiman dalam menangani permasalahan kelautan yang banyak dipahami dan dikerjakan oleh prajurit TNI-AL. Memang dalam struktur Kemenko Kemaritiman, terdapat Kedeputian Bidang Koordinasi Keamanan Maritim yang banyak memerlukan sentuhan prajurit matra laut khususnya pada isu-isu spesifik berkaitan dengan keamanan dan pengawasan maritim, hukum laut, sampai delimitasi zona maritim. Dari situlah kemudian Luhut menjajaki peluang untuk merevisi UU TNI dengan membicarakannya bersama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), meskipun sampai saat ini belum ada pembicaraan lanjutan.

Dari berbagai peristiwa tersebut, saya setuju dengan pendapat Mantan Kepala BAIS TNI Soleman B. Ponto (Kompas, 04/02/2017) bahwa perlu dilakukan inventarisasi dan pembenahan personil yang berdinas di luar institusi TNI agar tercipta tertib administrasi di tubuh TNI. Nah, agar tercipta tertib hukum dan basis legitimasi yang kuat, perlu dilakukan revisi UU TNI dengan menambah bidang sipil yang telah disepakati politik negara dapat diisi para prajurit aktif seperti Penanggulangan Bencana, Keamanan Laut dan Penanggulangan Terorisme. Bidang Koordinator bidang Kemaritiman dapat ditambahkan jika telah ditetapkan oleh keputusan politik negara.

Terma ‘keputusan politik negara’ menjadi penting karena ia menjadi katalisator atas terlibatnya—dan pelibatan—TNI di ranah sipil. Di tengah meluasnya batas-batas konsepsi keamanan, maka semua hal dapat masuk ke dalam ‘kotak keamanan’ melalui kerangka sekuritisasi, memungkinkan digunakannya cara-cara luar biasa atas nama keamanan yang acapkali disalahgunakan untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Sehingga perlu ditetapkan secara ketat dan jelas ‘indikator’ yang mampu menyaring institusi sipil mana saja yang dapat diduduki prajurit TNI aktif guna menjunjung supremasi sipil, tanpa sekadar bertolak dari definisi keamanan kekinian yang amat luas.

Namun, ‘keputusan politik negara’ tidak dapat dijadikan sebagai patokan kebenaran mutlak, karena justru disitulah berbagai kepentingan dari para pengambil kebijakan saling bertarung, utamanya dalam hal memajukan supremasi sipil. Jika sebuah negara—khususnya pasca-militerisme—dipimpin oleh pemimpin yang mempunyai visi supremasi sipil sampai jauh ke depan, maka pemerintahan sipil yang berdaulat akan tegak berdiri. Tetapi apabila negara tersebut dipimpin oleh orang sipil yang justru condong pada supremasi militer dan malah didukung segenap masyarakatnya, jelas bahwa supremasi sipil berada dalam ancaman. Oleh karena itu, selain kedewasaan dan komitmen yang kuat dalam memajukan supremasi sipil dari para pemimpin negara, Salim Said (2015) berargumen bahwa diperlukan karakter masyarakat yang solid, tidak terfragmentasi, dan mampu menemukan kesepakatan bersama tentang bagaimana mengelola negara. Masuk—dan dimasukannya—militer dalam kehidupan sipil secara masif merupakan bukti dari kondisi masyarakat yang terpecah-pecah, saling bertentangan, tak berdayanya kelas menengah dan civil society yang menuntun jalan pada terciptanya ‘praetorian society’. Dari titik itulah, dapat lahir ‘praetorian military’ yang siap merebut kendali pemerintahan sipil kapan saja.


Daftar Bacaan

Salim Said. 2015. “Mengundang Keterlibatan Angkatan Bersenjata: Catatan dari Mesir dan Thailand”, Prisma Vol. 24 (1): 98-118.

Soleman B. Ponto. “Status TNI di Pusaran Institusi Sipil”, Kompas, 04/02/2017.



Jumat, 04 Januari 2019

'Buku Terlarang' dan Lagu Lama Ketakutan Itu


Sepanjang lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, pelarangan atau pemberangusan buku bukanlah hal yang jarang terjadi. Utamanya memasuki dekade 1960-an pasca geger G30S menjelang akhir tahun 1965, pelarangan—sekaligus pembakaran—buku yang bernuansa sosialisme, komunisme, bahkan yang memuat pemikiran dan gagasan Presiden Soekarno marak terjadi. Pemandangan menyayat hati dimana ribuan buku ‘terlarang’ tersebut ditumpuk di satu lokasi terbuka dan dibiarkan tersambar api jamak terlihat di berbagai kota-kota Indonesia.

Ketika Orde Baru berkuasa, penerbitan buku-buku dengan tema sensitif atau yang ditulis oleh orang yang dianggap memiliki rekam jejak kiri tidak mendapatkan ruang yang layak. Munculnya teks-teks yang berupaya menggugat narasi tunggal Orde Baru mengenai peristiwa G30S dianggap seperti mimpi di siang bolong, karena selain dipastikan tak akan lolos screening Kejaksaan Agung atau organ-organ intelijen Orde Baru, indoktrinasi yang menyasar kalangan masyarakat luas yang berupaya menjejalkan pemikiran bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan aktor tunggal dalam peristiwa G30S masif terjadi lewat berbagai medium: buku, film, diorama, museum, tak terkecuali pendidikan sejarah di tingkat sekolah. Bagi mereka yang lapar akan asupan narasi alternatif mengenai geger G30S, jelas Indonesia bukan tempat yang tepat. Pilihannya adalah keluar dari tanah air, atau secara klandestin memanfaatkan jaringan bawah-tanah untuk mendapatkan bahan-bahan terlarang tersebut.

Pemusnahan Buku-Buku Kiri dan 'Angkatan 66'
(sumber: hariansejarah.id)

Pada tahun 1994, Sekretariat Negara meluncurkan buku putih berjudul “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya” yang secara jelas menjadi pegangan utama masyarakat dalam memahami peristiwa G30S ‘PKI’. Hampir 2 dekade sebelumnya, telah muncul ‘kitab’ lain yang berangkat dari perspektif kesejarahan yakni buku “Sejarah Nasional Indonesia” (1975) yang terdiri dari 6 jilid berdasar pembabakan waktu. Penulisan mengenai peristiwa G30S di buku tersebut tak lepas dari pemosisian PKI sebagai satu-satunya pelaku, karena memang agenda penulisan SNI digawangi oleh Brigjen Nugroho Notosusanto, sejarawan-cum-perwira militer yang sejak tahun 1964 telah diserahi tugas oleh Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution untuk mengantisipasi penulisan sejarah dari perspektif kiri melalui pembentukan Biro Chusus Sejarah Staf Angkatan Bersenjata—kelak menjadi Pusat Sejarah TNI (Asvi Warman Adam, 2009).

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintahan Orde Baru sukses men-demonisasi PKI dan komunisme sebagai hal yang berbahaya dan patut diwaspadai kemunculannya. Perlahan kemudian ia menjadi hantu yang melahirkan ketakutan yang irrasional. Contoh menarik diungkapkan Stanley Adi Prasetyo (2008), ketika film komedi “Kiri Kanan OK” (Deddy Armand, 1989) ingin dilepas ke pasaran, Departemen Penerangan mengajukan keberatan atas judul tersebut dan lebih merekomendasikan judul “Kanan Kiri OK” yang mendahulukan kata kanan dibanding kiri, yang kemudian menjadi judul resmi film tersebut. Sungguh suatu hal yang menggelikan—sekaligus ironis—bahwa Negara mengidap paranoia tertentu terhadap sepotong kata.

Mulai Terbuka

Keruntuhan Orde Baru pada tahun 1998 membuka ruang yang amat lebar bagi munculnya teks-teks alternatif mengenai peristiwa G30S. Versi tunggal yang memandang peristiwa G30S sebagai pemberontakan PKI semata mendapatkan ‘penentangan akademik’ melalui terbitnya berbagai buku dan karya tulis. Asvi Warman Adam (2018)—yang beberapa waktu lalu dikukuhkan sebagai Profesor Riset bidang Sejarah Politik LIPI—setidaknya mencatat 5 versi lain terkait dalang peristiwa G30S yang sebenarnya telah lama terserak namun tak muncul ke permukaan, yakni (1) G30S sebagai puncak konflik internal di tubuh Angkatan Darat (Anderson dan McVey, 1971); (2) G30S dipersiapkan Presiden Soekarno (Hughes, 1967; Dake, 1973); (3) G30S dikendalikan oleh Central Intelligence Agency/CIA (Scott, 1985; Robinson, 1984); (4) G30S merupakan kudeta merangkak yang digerakkan Jenderal Soeharto (Wertheim, 1970; Soebandrio, 2001); dan (5) G30S merupakan hasil konspirasi unsur Nekolim dari dalam dan luar negeri (Soekarno, 1967). Kewajiban penulisan G30S yang menyertakan kata PKI setelahnya--G30S/PKI—lama-kelamaan kehilangan relevansinya.

Langkah paling progresif berkaitan dengan pelurusan sejarah 1965 adalah ketika Presiden Abdurrahman Wahid di sekitaran awal tahun 2000-an secara terbuka meminta maaf atas keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU) dalam pembantaian massal 1965-1966 dan menyerukan pencabutan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 karena bertentangan dengan konstitusi. Yang membuatnya berarti adalah ia meminta maaf bukan hanya dalam kapasitas sebagai mantan Ketua Umum PBNU, tetapi juga Presiden Republik Indonesia. Pesannya pun jelas, ia tak ingin generasi sekarang mewarisi ‘kabut sejarah’ karena tak mampu—dan berani—membuka lembaran sejarah 1965 yang selalu ditutup-tutupi selama puluhan tahun.

Didukung dengan iklim demokrasi yang semakin menghangat, sejarah yang dahulu melulu ditulis dari perspektif penguasa kemudian bergeser ditulis dari kacamata para korban. Buku-buku yang memuat kesaksian para mantan tahanan politik (tapol) 1965 selama berada di penjara dan kamp-kamp Orde Baru semakin mudah didapat, yang ditulis oleh beberapa nama antara lain Pramoedya Ananta Toer, Hersri Setiawan, Djoko Sri Moeljono, Mars Noersmono, Gregorius S. Goenito, tak terkecuali Soebandrio dan Omar Dani. Hadir pula mereka yang menganalisis geger G30S dan kejadian-kejadian setelahnya menggunakan pisau bedah yang berbeda, seperti dari sudut pandang sosial-politik di tingkat lokal, politik global selama Perang Dingin (Kurasawa, 2015; Robinson, 2018), bahkan ada yang menganalisis upaya militer untuk melegitimasi PKI dan komunisme sebagai ‘aktor jahat’ melalui pembangunan berbagai monumen serta museum (McGregor, 2007).

Kembali Sebagai Ancaman

Namun sayangnya, kerja-kerja akademik untuk membuka tabir gelap tersebut terhambat oleh paranoia kalangan tertentu di tubuh militer yang tak ingin sejarah 1965 diungkit-ungkit kembali ke permukaan. Beberapa peristiwa razia buku yang dianggap berpotensi menyebarkan paham komunisme dan ideologi terlarang lainnya semakin giat dilakukan tentara di beberapa daerah. Seperti yang paling anyar terjadi di Kediri akhir Desember lalu, aparat gabungan tentara dan polisi berhasil menarik buku-buku yang diduga mempropagandakan komunisme dan PKI, seperti Manifesto Komunis karya Engels dan Marx, serta Menempuh Jalan Rakyat karangan Aidit. Namun di samping itu, banyak pula buku yang ditarik yang sesungguhnya berupaya meluruskan sejarah 1965—dan Peristiwa Madiun 1948, seperti Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan (Gie, 1997), Negara Madiun? (Setiawan, 2002), Soekarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965 (Onghokham, 2009), dan Benturan NU-PKI 1948-1965 (PBNU, 2013). Malah ada yang ditarik karena judulnya yang dianggap provokatif, seperti Islam Sontoloyo karangan Soekarno yang isinya justru memaparkan pemikiran Soekarno mengenai pembaruan Islam dari beberapa oknum yang memanfaatkan keagungan nama Islam. Banyak pihak akhirnya memandang bahwa TNI memiliki problem literasi sejarah, yang sesungguhnya berlawanan dengan pengarusutamaan profesionalisme yang sedang digiatkan di berbagai lini komando.

Meskipun dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia (BPPI) 2015—yang menjadi acuan upaya pertahanan negara—Kementerian Pertahanan tak lagi menyebutkan komunisme sebagai salah satu bentuk ancaman berdimensi ideologi, tetapi dalam BPPI 2008 secara gamblang disebutkan bahwa “ancaman ideologi komunis masih tetap merupakan bahaya laten yang harus diperhitungkan”. Malah dalam bagian setelahnya, tertulis bahwa muncul usaha dari pihak-pihak tertentu yang telah melebur dalam masyarakat untuk menyebarkan ajaran komunis melalui “penulisan buku-buku sejarah dengan tidak mencantumkan peristiwa G-30-S/PKI dengan Dewan Revolusi”. 10 tahun pasca dirilisnya BPPI 2008, tentara tetap memandang komunisme sebagai hantu yang menakutkan, dan ketakutan itu terus direproduksi serta disebarluaskan kepada masyarakat.

Anggota Kodim 0809 Kediri Menunjukkan Buku-Buku Hasil Sitaan
(sumber: tempo.co)

Sebagai sebuah ideologi, komunisme dapat dikatakan bangkrut karena tak ada entitas setingkat negara yang berhasil mempraktikkan ideologi tersebut secara murni dan mencapai cita-cita masyarakat tanpa kelas yang terbebaskan serta hidup bermartabat. Rusia dan Tiongkok yang dikenal sebagai ‘ibukota’ komunisme pun perlahan merangkak menuju cara hidup kapitalistik, menyongsong kompleksnya realita ekonomi-politik yang tak memberikan ruang bagi pengaplikasian gagasan ideal yang digariskan Marx beratus-ratus tahun sebelumnya.

Namun dalam konteks Indonesia, komunisme masih laku sebagai dagangan politics of fear, dan patut diingat bahwa perumusan ancaman keamanan nasional merupakan proses politik yang tak hanya kedap di antara para aktor keamanan yang ‘profesional’ dan beredar di antara isu-isu high politics semata . Ketika Negara menganggap suatu hal dapat membahayakan eksistensinya—baik yang berdimensi militer maupun non-militer—maka ia dapat disebut sebagai ancaman, tetapi kembali lagi, Negara dijalankan oleh para politisi yang memiliki kepentingan atas banyak hal dan mereka dapat menentukan suatu hal sebagai sebuah ancaman atau tidak. Contoh yang paling ekstrim dapat ditilik saat Soeharto masih bercokol di puncak kekuasaan Orde Baru, dimana definisi keamanan nasional dimonopoli oleh segelintir elit penguasa yang ditafsirkan sebagai keamanan kedudukan penguasa dari berbagai pihak yang ingin menjatuhkannya (Jemadu, 2008). Mereka yang berpandangan berbeda dengan visi yang telah digariskan Orde Baru akan mudah dilabeli sebagai ‘PKI, komunis, atau simpatisan kiri’, dianggap sebagai ancaman keamanan, dan disingkirkan dari kehidupan bermasyarakat. Isu komunisme dijadikan sebagai medium kepatuhan masyarakat terhadap Negara untuk menjaga kondusivitas yang justru semu.

Di masa ketika konsepsi ancaman keamanan nasional menjadi sangat lentur (azymutal) dan multidimensional pasca usainya Perang Dingin seperti saat ini, kondisi tak banyak berubah karena apapun dapat dimasukan dalam kotak ancaman: Bukan hanya ancaman militer tetapi juga ancaman politik, ekonomi, kultural, tak terkecuali ideologi. Masih bergaungnya komunisme sebagai ancaman ideologi dalam berbagai dokumen, teks resmi dan forum-forum militer kemudian mendapatkan legitimasinya atas teori keamanan nasional yang lama-kelamaan semakin advance—namun ambigu. Hal tersebut didukung dengan masih eksisnya produk hukum yang menetapkan komunisme sebagai ideologi terlarang seperti TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang sialnya tak memiliki mekanisme uji materiil atas kandungan isinya.

Masa Depan

Pun ketika pemberangusan buku yang dilakukan tentara tersebut dilandasi alasan agar generasi muda terselamatkan dari ide-ide komunisme, informasi mengenai ideologi tersebut tak hanya tersedia dalam teks-teks konvensional. Di era dimana semua sumber-sumber pengetahuan tak terhalang batas ruang dan waktu sebagai dampak globalisasi, siapapun dapat mencari serta mengakses apa yang ingin ia ketahui melalui kekuatan internet. Teks-teks kunci komunisme dapat dicari oleh siapapun—pria, wanita, tua dan muda—semudah ketika mencari resep makanan di Google.

Malah yang saat ini menjelma menjadi ancaman nyata ialah mudahnya masyarakat terpapar propaganda ‘terorisme kanan’ untuk melaksanakan aksi yang mengatasnamakan jihad melalui internet dan media sosial. Utamanya berkaitan dengan teks-teks yang berisi pemikiran ISIS dan derivasinya di Asia Tenggara, ia sangat mudah dicari oleh siapapun yang ingin mendalaminya, sedikit banyak mengubah pola aksi teror yang biasanya mengandalkan jaringan, menjadi mampu eksis atas orang-perorang (lone-wolf). Tak adakah tindakan yang diambil aparat keamanan untuk membendung hal itu? Jelas ada. Beberapa langkah dilakukan Polri bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan dengan memantau, menutup situs-situs yang terbukti menyebarkan propaganda teror, bahkan menangkap orang-orang yang berada di balik kegiatan tersebut. Apakah tindakan itu berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah aksi teror yang terjadi? Memang belum ada kajian komprehensif yang mampu menjelaskan hubungan keduanya, namun di tengah kehidupan ‘rimba raya’ internet yang amat kompleks, logika pemberantasan yang berlaku di dunia nyata menjadi tak berlaku. Terdapat mekanisme teknologi yang canggih yang benar-benar mewujudkan adagium “mati satu, tumbuh seribu”. Kerja penanggulangan penyebaran ideologi teror pun bukanlah kerja singkat, cepat dan praktis.

Dari sini saya ingin mengatakan, bahkan kerja yang dilakukan Polri dan aktor keamanan lain yang padat teknologi tinggi untuk menanggulangi penyebaran ideologi teror acapkali masih sulit memperlihatkan keberhasilan yang memuaskan, apalagi model razia buku konvensional seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, yang tak didukung pemahaman mendalam tentara atas apa yang ingin mereka berantas.

Dalam pandangan saya, jika memang tentara ingin benar-benar ‘memberantas’ penyebaran paham komunisme, jalan terbaik—sekaligus elegan—ialah dengan memahami lebih dalam dahulu apa itu komunisme, PKI, dan G30S yang mereka percaya digerakkan oleh PKI. Undang para pemikir politik, filsafat, sejarawan yang memiliki pandangan beragam mengenai hal tersebut, bukan hanya mereka yang berpikiran sejalan dengan tentara, malah kalau bisa para penyintas dari berbagai peristiwa berdarah pasca-1965. Keberagaman pandangan justru akan membantu tentara dalam memandang apa itu sebenarnya komunisme, realita dan potensi perkembangannya di masa depan, bukan hanya sekadar latah mendengungkan isu “komunisme gaya baru” tiap awal bulan Oktober.

Tindakan merazia buku-buku itupun tentara tak bisa bergerak sendiri, karena seharusnya dilakukan oleh penyidik kepolisian berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan setempat yang tertuang dalam Pasal 38 KUHAP (Tirto.id, 2018). Kasarnya, tentara tak memiliki dasar hukum untuk melakukan tindakan penyitaan buku, meskipun ia dilandasi niat untuk mengurangi keresahan yang ada di tengah masyarakat. Namun di tengah realita bahwa tentara juga mesti menjalankan perannya untuk melakukan pembinaan teritorial di daerah, tindakan penyitaan buku oleh tentara di daerah sulit untuk dihentikan. Yang harus dijadikan perhatian adalah tentara harus mampu memilah dengan objektif mana saja teks yang memiliki potensi penyebaran ajaran komunisme sebelum ia dilimpahkan ke penyidik atau Kejaksaan, tidak sekadar merazia buku yang menyandang judul-judul berbau kiri di sampulnya, seperti yang terjadi di Kediri lalu.

Lebih baik lagi menurut saya, model penyitaan buku seperti itu dihentikan oleh tentara dan polisi. Kalau masyarakat—yang dipercaya sebagai ‘ibu kandung’ tentara—dianggap sudah matang dan dewasa, kebebasan dalam mencari informasi mengenai apapun mesti dihormati. Dari sanalah akan muncul mekanisme verifikasi yang mandiri, yang tumbuh dari nalar kritis karena segala sumber informasi dari berbagai sisi dapat diakses dan diperbandingan secara terbuka.

Tapi, kapan hal tersebut dapat benar-benar terwujud?



Kamis, 09 Agustus 2018

Pilpres dan Politik Ibukota


"....Yang paling berat (pekerjaannya) itu Pak Anies. Pak Anies itu Gubernur DKI, tapi ya (juga) Gubernur Indonesia”.

Pernyataan tersebut terlontar dari mulut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo ketika memberikan sambutan dalam pengukuhan kepengurusan Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), awal Juli lalu di Jakarta. Kontan saja gelombang politisasi menyertai pernyataan Tjahjo tersebut, ada yang melihat bahwa hal tersebut adalah pertanda bahwa Anies dapat naik kelas ke posisi yang lebih tinggi dari sekedar Gubernur, yakni Presiden. Ada pula yang melihat hal tersebut adalah ‘isyarat alam’ agar partai oposisi yang selama ini mencari nama calon Presiden alternatif dapat segara menetapkan nama Anies sebagai calon Presiden 2019. Dan hal tersebut bukan yang pertama, dimana pada pertengahan Februari lalu pun Ketua Steering Committee Piala Presiden 2018 sekaligus politisi PDIP Maruarar Sirait sempat mengalami slip of tongue dengan menyebut Anies sebagai ‘Gubernur Indonesia’.

Joko Widodo dan Anies Baswedan; Gubernur dan Mantan Gubernur
(sumber: medan.tribunnews.com)

Sejak kemarin malam, kita telah melihat perkembangan politik menjelang pendaftaran Capres-Cawapres 2019 yang sangat dinamis lagi ketat, dan muaranya justru bukan nama Anies yang keluar sebagai Capres ataupun Cawapres baik dari kubu petahana maupun oposisi, namun malah sang Wakil Gubernur, Sandiaga Uno yang dikabarkan akan menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto menjelang tenggat pendaftaran Capres-Cawapres yang akan ditutup besok Jumat (10/08). Jika Sandiaga terpilih sebagai Wakil Presiden, ia hanya perlu berpindah tempat kerja ke samping Balai Kota karena disanalah Istana Wakil Presiden berada. 

Batu Loncatan?

Dalam beberapa tahun terakhir, dinamika semacam ini telah jamak dilihat sebagai pola tertentu menuju kursi kepresidenan ataupun karir politik nasional yang lebih mengkilap, ketika jabatan Gubernur—dan juga Wakil Gubernur—dijadikan sebagai batu loncatan, dan hal tersebut sangat kentara terlihat ketika Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sebelum bertarung dalam medan Pilgub DKI Jakarta 2012, publik hanya mengenal dirinya sebagai Walikota Surakarta yang berhasil merebut simpati masyarakat lokal atas gebrakan inovatif yang ia buat, namun setelah dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta berduet dengan Basuki Tjahaja Purnama, namanya tak hanya dikenal warga ibukota tetapi menyebar sampai ke seluruh Indonesia khususnya berkat metode ‘Blusukan’ yang ia populerkan untuk menjaring aspirasi masyarakat serta melihat kondisi langsung di lapangan. Pada akhirnya, tak sulit bagi Jokowi untuk mendapat tiket pencalonan Presiden berkat popularitas yang ia rengkuh dengan mengandalkan citra sederhana dan merakyat yang melekat pada dirinya.

Sebagai pusat pemerintahan negara, segala bentuk dinamika politik nasional berputar di ibukota, ia menjadi penjelmaan modern dari konsep ‘polis’ yang telah berkembang sejak masa Yunani Kuno. Dalam kasus DKI Jakarta, posisinya menjadi semakin kuat berkat beberapa ‘keunggulan’, antara lain karena sebagai ibukota negara, Jakarta memiliki posisi administratif yang lebih tinggi dari daerah lain dilihat dari gelar yang ia sandang—Daerah Khusus Ibukota (DKI). Jakarta juga menjadi cermin multikulturalisme karena ia dihuni bukan hanya oleh warga asli Jakarta tetapi juga masyarakat dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Di samping itu, tingkat kompleksitas permasalahan sosial yang diemban Jakarta jelas lebih tinggi dari wilayah lain mulai dari kemiskinan, kriminalitas, sampai penataan kota sehingga wajar saja banyak yang melihat kursi DKI-1 merupakan fire test menuju jabatan publik yang lebih tinggi.

Istana Merdeka; hanya berjarak 4 km dari Balai Kota DKI Jakarta
(sumber: poskotanews.com)

Kasus tersebut sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia, beberapa negara juga mengalami hal serupa. Di Mexico, Presiden Enrique Pena Nieto menapaki kursi kepresidenan dari posisi Gubernur Negara Bagian Mexico (State of Mexico) dengan Mexico City sebagai ibukota negara bagian sekaligus ibukota negara. Di Korea Selatan, Presiden Lee Myung-bak (2008-2013) mengikuti pertarungan menuju kursi Presiden setelah ia purna tugas menjadi Walikota Seoul—ibukota Korea Selatan—dan ia menang. Selain itu, Presiden Prancis Jacques Chirac (1995-2007) berhasil memenangkan pemilihan Presiden Prancis di tahun 1995 setelah ia mengabdi menjadi Walikota Paris selama 18 tahun.

Instabilitas

Tetapi sesungguhnya, menjadikan jabatan publik di ibukota sebagai batu loncatan, apalagi ketika sang pejabat publik belum genap menyelesaikan pengabdiannya secara penuh sesuai masa jabatan yang dia emban sangatlah berbahaya karena berkaitan dengan kestabilan pembangunan dan roda pemerintahan ibukota itu sendiri. Beberapa kebijakan yang telah dirumuskan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama justru mandeg ketika kepemimpinan ibukota beralih tangan, bahkan ketika posisi Gubernur dipegang oleh Basuki yang notabene merupakan wakil Jokowi, seperti pembangunan Kampung Deret di beberapa titik perkampungan Jakarta. Ketika duet Anies Baswedan-Sandiaga Uno mendapat amanat untuk memimpin ibukota, pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang semula jor-joran dibangun ketika kepemimpinan Gubernur Basuki dan dilanjutkan oleh Gubernur Djarot Syaiful Hidayat pada akhirnya macet, meskipun muncul pemikiran akan merubah konsep RPTRA menjadi lebih compact. Dan masih banyak lagi jejak ‘ketidakstabilan’ pembangunan di DKI Jakarta, karena jika dilihat dalam waktu 5 tahun (2012-2017), Jakarta telah mempunyai 4 Gubernur: Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Djarot Syaiful Hidayat dan Anies Baswedan.

Masyarakat Jakarta tentunya menginginkan pemimpin yang ia pilih akan tetap mengabdi secara penuh sampai masa jabatannya berakhir. Besarnya ongkos politik yang telah dikeluarkan untuk menyelenggarakan Pemilihan Gubernur akan terbuang sia-sia jika sang pemimpin tidak berkomitmen atas mandat yang telah diberikan masyarakat kepadanya. Ketika Mayor Jenderal (KKO) Ali Sadikin dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 28 April 1966, Presiden Soekarno berucap bahwa seorang walikota—pemimpin kota—janganlah hanya orang yang mengerti bestuurvoering (pelaksanaan pemerintah), melainkan orang yang tahu ‘membuat kotanya itu bersih dari sampah’. Secara gamblang Bung Karno menekankan pada pentingnya fungsi urban management yang rasional dalam urban good governance, ketimbang hanya ‘main-main’ politik semata (Marco Kusumawijaya, 2004).

Jika 5 tahun mendatang Jakarta diimpikan sebagai tempat yang maju dan warganya bahagia, tiada prasyarat lain yang dibutuhkan selain komitmen politik dari pemimpinnya untuk sepenuh hati mencurahkan pengabdian demi pembangunan DKI Jakarta.


Jumat, 03 Agustus 2018

Karpet Merah Untuk Andika


Di tengah hingar-bingar isu perpolitikan nasional yang saban hari menghiasi pemberitaan cetak maupun daring, kabar datang dari kesenyapan Markas Besar TNI: Komandan Kodiklat TNI-AD Letjen Andika Perkasa diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis TNI-AD (Pangkostrad) menggantikan Letjen Agus Kriswanto yang telah memasuki masa pensiun. Bagi yang mengikuti karir dan latar belakang Andika, kabar ini jelas bukan sesuatu yang mengagetkan, bahkan posisi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sudah diproyeksikan sejak jauh hari akan jatuh pada dirinya.

Serah terima jabatan Komandan Paspampres kepada Mayjen TNI Andika Perkasa, 2014
(sindonews.net)

Di angkatannya, bersama dengan Letjen M. Herindra (Irjen TNI, Adhi Makayasa 1987), Andika dianggap sebagai bintang terang yang akan menduduki pos-pos pimpinan militer di masa depan, dan hal tersebut semakin mendekati kenyataan ketika Joko Widodo terpilih sebagai Presiden di tahun 2014.

Sebelum 2014, Andika dalam pangkat Brigjen menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI-AD, ‘juru terang’ yang mungkin bagi sebagian kalangan bukanlah posisi yang strategis, namun setelah Joko Widodo dilantik sebagai Presiden, perlahan karpet merah dibentangkan untuk Andika. Mula-mula pada posisi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) menggantikan Mayjen Doni Monardo yang berkonsekuensi pada kenaikan pangkat Andika menjadi Mayor Jenderal. Selang 2 tahun (2016), ia dimutasi ke Kalimantan Barat menjabat sebagai Panglima Kodam XII/Tanjungpura, dan 2 tahun kemudian (2018) ia kembali mendapat promosi sebagai Komandan Komando Pendidikan dan Latihan TNI-AD dengan pangkat bintang 3 di pundaknya. Namun tak genap 6 bulan, ia akhirnya dimutasi ke Jakarta sebagai Pangkostrad. 

Jika melihat tradisi yang selama ini berkembang, posisi Pangkostrad ibarat halaman depan sebelum masuk ke dalam sebuah rumah bernama Kepala Staf Angkatan Darat. Nama-nama seperti Wismoyo Arismunandar, Wiranto, Ryamizard Ryacudu, George Toisutta, Pramono Edhie Wibowo, Gatot Nurmantyo sampai Mulyono sebelumnya pernah menjabat sebagai Pangkostrad dan kemudian diangkat sebagai KSAD sehingga cukup beralasan jika Andika digadang-gadang akan menduduki kursi TNI-AD 1 tak lama lagi.

Tetapi kemudian, segala pencapaian karir tersebut sulit apabila tidak dikaitkan dengan sosok sang mertua, Jenderal (Purn) A.M. Hendropriyono yang memiliki peran vital dalam pemerintahan dan kemiliteran sejak era Orde Baru sampai saat ini. Ketika Hendro masih menjabat sebagai Kepala BIN (2001-2004), Andika yang saat itu menjabat sebagai Komandan Tim 3 Satuan Penanggulangan Teror (Sat-Gultor) 81 Kopassus diperbantukan di bawah institusi sang mertua untuk menangkap Umar Al-Faruq pada tahun 2002, terduga kasus terorisme yang dituding terlibat dalam kasus Bom Natal 2000 dan berencana membunuh Presiden Megawati Soekarnoputri, sebuah praktek janggal karena seharusnya institusi intelijen hanya bertugas mengumpulkan informasi, bukan justru menangkapi orang. Terpilihnya Andika sebagai Danpaspampres pun menimbulkan pertanyaan karena di samping masih terlalu muda dari segi angkatan (1987), ia pun baru memegang 1 jabatan selama berpangkat Brigadir Jenderal, padahal idealnya sebelum dipromosikan ke posisi sestrategis Danpaspampres, orang tersebut harus beberapa kali memegang jabatan setingkat yang lagi-lagi menyeret nama Hendro sebagai faktor yang memungkinkan hal tersebut terjadi.

Peluang

Jika kita lihat, KSAD Jenderal Mulyono akan memasuki masa pensiun pada Januari 2019 dan disaat tersebut—apabila tidak ada perubahan—TNI-AD telah memiliki beberapa jenderal bintang 3 yang memiliki kans untuk diangkat sebagai KSAD baru, antara lain Irjen Kementerian Pertahanan Letjen Thamrin Marzuki, Staf Khusus KSAD Letjen Ediwan Prabowo (1984), Sesjen Wantannas Letjen Doni Monardo, Staf Khusus Panglima TNI Letjen Dodik Wijanarko (1985), Wakil KSAD Letjen Tatang Sulaiman (1986), Irjen TNI Letjen M. Herindra, Dankodiklat TNI-AD Letjen Anto Mukti Putranto, dan Pangkostrad Letjen Andika Perkasa (1987). Apabila diperhatikan lebih jauh, hanya nama Letjen Doni Monardo, Herindra, AM Putranto, dan Andika yang memiliki kans lebih besar. Thamrin Marzuki terkendala umur karena di tahun 2019 ia akan masuk masa pensiun, karir Ediwan Prabowo sendiri sudah saya singgung sebelumnya (Ajudan Presiden dan Politik Istana), sedangkan Dodik Wijanarko berasal dari Corps Polisi Militer (CPM) yang tak lazim diangkat menjadi KSAD. Tatang Sulaiman sendiri meskipun saat ini menjabat sebagai Wakil KSAD yang dalam beberapa kasus menjadi ‘jalan tol’ menuju posisi KSAD, di tahun 2019 umurnya akan masuk 57 tahun—setahun menuju akhir masa pengabdian—sehingga sulit bagi dirinya jika diangkat sebagai KSAD untuk melakukan gerak perubahan di masa jabatan yang amat pendek.

Nah, dari keempat nama yang telah disaring, akan didapat nama Herindra dan Andika yang menduduki posisi puncak. Mengapa 2 nama lainnya terdepak? Pertama, meskipun nama Doni Monardo sempat diisukan menjadi kandidat kuat calon KSAD, namun setelah ia dipromosikan menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Sesjen Wantannas) banyak yang percaya Doni justru sedang ‘ditendang ke atas’ dan akan menghabiskan sisa masa baktinya disana, apalagi jika melihat perjalanan para Sesjen terdahulu, kecemerlangan karir mereka berakhir di Wantannas sehingga banyak kalangan menilai bahwa tipis kemungkinan bagi Doni untuk diangkat menjadi KSAD meskipun tidak tertutup sama sekali (selanjutnya dapat dibaca dalam Ujung Karir Kemiliteran Bernama Setjen Wantannas). Kedua, AM Putranto bersama dengan Herindra dan Andika berasal dari angkatan yang sama di Akmil (1987), dan jika membandingkan—tanpa mengurangi rasa hormat—‘keunggulan kompetitif’ dari mereka masing-masing, Putranto akan berada di urutan buncit, disusul dengan Herindra di tempat kedua dan Andika di posisi pertama.  

Andika Perkasa semasa Pangdam XII/Tanjungpura menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo
(nusantaranews.co)

Penjelasannya kira-kira seperti ini: Meskipun Herindra merupakan peraih penghargaan Adhi Makayasa sekaligus Tri Sakti Wiratama di angkatannya, pemegang 2 gelar master dari The George Washington University dan National Defense University, Amerika Serikat dan kenyang pengalaman tour of duty, Herindra tidak mempunyai satu determinan penting yang membuatnya memiliki keunggulan lebih, yakni kedekatan dengan pusat kekuatan politik yang secara gamblang dimiliki oleh Andika. Mempunyai hubungan kekerabatan dengan pensiunan Jenderal yang masih memiliki pengaruh yang amat besar di negeri ini yang kemudian menariknya ke dalam pusaran kekuasaan negara menjadi ‘aset’ penting Andika, tanpa itu, tak mungkin karirnya secemerlang sekarang. Tetapi Ia juga merupakan alumni terbaik Seskoad 1999/2000 sekaligus penyandang 3 gelar master (Norwich University, National Defense University, Harvard University) dan doktor (The George Washington University) yang salah satunya menjadi alasan mengapa Andika diposisikan di urutan teratas. Putranto sendiri menduduki urutan terakhir karena ia hanya memenuhi determinan ‘kenyang pengalaman lapangan’; Ia bukan alumni terbaik di Akademi maupun di pendidikan lanjutan, tidak merepresentasikan kelompok intelektual militer, dan tidak dianggap dekat dengan pusaran kekuatan politik nasional.

Tantangan Ke Depan

Jika memang benar Andika yang ditunjuk sebagai KSAD pada Januari tahun depan, setidaknya ada 2 tantangan strategis yang harus dipecahkan. Pertama ialah menjamin netralitas TNI-AD dalam menghadapi Pemilihan Umum 2019, dimana Andika harus benar-benar menjamin bahwa dirinya—dan institusi yang dipimpinnya—bebas dari segala pengaruh politik praktis. Tentunya hal ini menjadi tantangan besar karena selama ini Andika diasosiasikan dekat Presiden Joko Widodo yang dipastikan akan kembali bertarung pada Pemilihan Presiden 2019. Jika terpilih sebagai KSAD, ia harus mampu melepaskan diri dari stigma yang menempel tersebut. Desas-desus yang sering terdengar bahwa Bintara Pembina Desa (Babinsa) acapkali meminta masyarakat untuk mendukung salah satu calon tertentu dalam pemilihan umum harus ditanggapi secara serius oleh KSAD baru agar tak menjadi bola liar yang akan menjadi bumerang bagi institusi TNI-AD.

Kedua, membangun postur pertahanan—kekuatan, gelar pasukan, dan kemampuan prajurit—yang tangguh untuk menjawab ketidak-stabilan global yang semakin meningkatkan probabilitas perang, yang mana ketika tercipta postur yang tangguh tersebut Indonesia dapat memainkan peran pengimbang (balancer) dalam kompetisi global antara Tiongkok, Amerika Serikat, dan juga India (Andi Widjajanto, 2017). Namun sekali lagi, hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan di samping karena masih kuatnya pendekatan perang tradisional yang hanya berfokus pada pengembangan ‘core competency’ TNI-AD seperti perang gerilya atau perang hutan (selanjutnya dapat dibawa dalam Perang Semesta Bukan "Perang Bersama Rakyat"), industri pertahanan yang semestinya menyokong pembangunan postur ideal tersebut belum mampu berdiri sendiri dan hanya memanfaatkan keuntungan dari rezim pasar konsumen tanpa secara maksimal menggali transfer teknologi dari tiap pembelian alutsista.

Maka dari itu, penting bagi Andika untuk mengawal penyelarasan Doktrin Kartika Eka Paksi agar sesuai dengan lingkungan stratejik yang sangat dinamis, yang mana kuatnya latar belakang akademik yang dimiliki Andika dapat memudahkan pelaksanaan agenda tersebut. Selain itu, optimalisasi mekanisme transfer teknologi beserta kerjasama industri pertahanan seperti co-production, joint production atau license (Andi Widjajanto, 2017) wajib dilakukan oleh industri pertahanan utamanya PT. Pindad (Persero) dan PT. Dirgantara Indonesia (Persero) yang sejak lama menjadi rekanan TNI-AD dalam mengembangkan kemandirian alutsista di 6 kecabangan (Infanteri, Kavaleri, Armed, Arhanud, Zeni, Penerbad). Di sisi internal, penguatan fungsi penelitian dan pengembangan (litbang) TNI-AD mutlak diperlukan dengan melakukan 3 langkah strategis, yakni (1) validasi struktur organisasi litbang TNI-AD yang selama ini terpecah; (2) manajemen sumber daya manusia litbang mulai dari proses rekrutmen, pendidikan lanjutan dan jaminan kesejahteraan; dan (3) pembangunan budaya organisasi litbang seperti budaya berpikir serta belajar dengan menjunjung tinggi moral (Rudiono Edi, 2017).

Pada akhirnya, karpet merah memang sudah tergelar di hadapan Andika. Hanya Presiden Joko Widodo-lah yang memiliki mandat untuk mempersilahkan Andika menapaki karpet tersebut atau tidak. 

Selasa, 10 April 2018

Perang Semesta Bukan ‘Perang Bersama Rakyat’


Pada pertengahan tahun 1991, setelah Perang Teluk Januari-April 1991 berakhir, surat kabar Kompas memuat ulasan saya bahwa RRC memutuskan untuk mengubah strategi dan doktrin ‘Perang Rakyat’ menjadi yang lebih mengutamakan modernisasi teknologi perang, termasuk teknologi komando dan kendali. Perang Teluk 1991 telah menggugah pimpinan Tentara Pembebasan Rakyat RRC bahwa dominasi teknologi persenjataan Amerika Serikat dapat melumpuhkan kemampuan tentara negara berkembang dalam sekejap akibat kemajuan pesat dalam bidang apa yang dikenal kemudian sebagai Revolusi Kemiliteran.

Dalam ulasan itu saya menganjurkan Indonesia pun mulai mengedepankan teknologi militer modern meski semangat tetap berpegang pada doktrin perang rakyat semesta. Ulasan itu mendapat tanggapan dan kritik pedas dari sejumlah perwira tinggi TNI aktif waktu itu, yang menyayangkan pandangan seakan-akan saya meremehkan doktrin perang rakyat semesta” (Sudarsono, 2009).

Kutipan tulisan mantan Menteri Pertahanan Prof. Juwono Sudarsono di atas tersebut memang benar-benar terjadi, di masa ketika doktrin ‘Perang Rakyat Semesta’ bersama dengan konsep ‘Kemanunggalan ABRI-Masyarakat’ sedang diagung-agungkan oleh para insan militer kita seperti halnya sebuah kitab suci yang mesti dihafal secara benar lagi tuntas, sehingga tak heran banyak Jenderal ABRI yang merasa gusar mendengarkan anjuran yang sesungguhnya bersifat akademis tersebut. Pun jangan dilupakan bahwa meskipun tongkat kepemimpinan ABRI saat itu telah dipegang oleh ‘generasi peralihan’ menuju estafet ke ‘generasi muda’ yang tidak merasakan langsung implementasi doktrin ‘Perang Rakyat Semesta’ yang mewujud dalam perang gerilya pada periode 1945-1949, tetapi campur tangan para generasi ’45—walaupun semuanya telah tuntas mengabdi di dinas kemiliteran—tetap terjadi dalam kerangka ‘senior-yunior’; senior menasehati, yunior menaati. Nasehat yang diberikan pun pasti takkan jauh dari pengalaman yang mereka alami saat palagan perang kemerdekaan, termasuk pengalaman nyata bekerjanya doktrin dan konsep di atas. Dalam hal ini, yunior tak bisa melakukan apapun selain menaati, mengikuti, sekaligus melestarikan apa yang sudah ada.

Kini, setelah hampir 20 tahun Orde Baru runtuh dan Indonesia sedang menjalani era transformasi pertahanan yang menekankan pada perubahan mendasar dalam doktrin, personel, organisasi, pelatihan dan pendidikan, logistik, dan peran yang disokong oleh perubahan teknologi (Laksmana, 2010), apakah doktrin ‘Perang Rakyat Semesta’ masih tetap relevan untuk dianut?

People’s War ≠ Total Defense

Dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dijabarkan bahwa Sistem Pertahanan Negara merupakan sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, berkesinambungan, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman. Dalam pasal tersebut, karena adanya frasa “melibatkan seluruh warga negara” maka sistem pertahanan yang bersifat semesta (sishanta) yang merupakan operasionalisasi dari konsep Total Defense ini kerap disamakan dengan ‘perang bersama rakyat’ yang merupakan perwujudan dari People’s War, padahal kedua hal tersebut sangat berbeda. Kolonel—kini Brigjen—Joko Putranto menjelaskan secara gamblang perbedaan konsep tersebut dalam tulisannya yang berjudul “Perang Rakyat Versus Perang Semesta” (2016) yang akan dikupas di bawah ini.

Dalam konsep People’s War, perang yang berjalan mengaburkan status combatant yang dimiliki militer dan non-combatant yang dipegang oleh masyarakat, dimana semua orang dapat menjadi sasaran untuk diserang. Seperti halnya ketika Perang Kemerdekaan 1945-1949, masyarakat dan tentara saling bahu-membahu menjalankan perang yang berlarut tanpa adanya kejelasan tentang rules of the game dan mekanisme peralihan dari non-combatant menjadi combatant dalam kerangka perang gerilya. Sedangkan Total Defense seharusnya dimaknai sebagai bagaimana cara negera menghadapi ancaman, khususnya dari luar, dengan mensyaratkan integrasi antarkomponen utama dan cadangan serta komponen bangsa lain, yang mengatur pula mekanisme peralihan non-combatant menjadi combatant dalam suatu regulasi khusus serta menjunjung tinggi rules of the game berupa Konvensi Jenewa beserta Protokol Tambahannya.

Sehingga dalam hal ini, mengartikan ‘kesemestaan’ dalam Total Defense sebagai keikutsertaan rakyat dalam pembelaan negara secara langsung semasih dalam wujud sipil (non-combatant) merupakan sebuah langkah yang salah, utamanya karena melanggar Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya yang mensyaratkan adanya pemberian status non-combatant immunity kepada sipil untuk dilindungi dalam perang konvensional. Apalagi Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa pada tahun 1958—9 tahun setelah Konvensi tersebut disahkan pada 1949—yang disusul dengan ratifikasi Protokol Tambahannya, yang berimplikasi pada dihilangkannya istilah ‘perang bersama rakyat’ dalam berbagai dokumen yang membahas tentang Sishanta.

Namun apa yang terjadi, karena faktor—atau dapat pula dikatakan sebagai ‘beban’—sejarah, ‘perang bersama rakyat’ tetap ada bahkan terus dilestarikan oleh generasi militer pasca-1945. Kenangan akan keberhasilan perang gerilya dalam mengusir penjajah dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949 menjadi basis justifikasi terus bercokolnya doktrin People’s War dalam berbagai dokumen dan pengajaran kemiliteran Indonesia. Padahal jika ditelaah lebih jauh, A.H Nasution dalam “Pokok-Pokok Gerilya” menyatakan bahwa perang gerilya ditujukan hanya untuk memeras darah musuh, bukan untuk membawa kemenangan terakhir yang hanya akan bisa dicapai oleh tentara yang teratur dalam perang konvensional (Putranto, 2016). ‘Perang bersama rakyat’ juga kemudian menjadi apologi yang biasa digunakan pemerintah untuk menutupi kekurangmampuannya dalam melakukan pembangunan kekuatan militer dan modernisasi sistem kesenjataan yang menjadikan pemerintah mengandalkan potensi masyarakat untuk dapat digunakan kapan saja apabila pecah perang, tanpa adanya mekanisme yang ketat tentang peralihan status non-combatant menjadi combatant. Lihat saja salah satu tulisan mantan Wakil KSAD Kiki Syahnakri di bawah ini :

Namun pada intinya Sishanrata dilatari oleh konsep “Perang Rakyat” sebagai pilihan yang paling realistis dengan merujuk pada kendala anggaran yang sangat terbatas sehingga kita masih jauh dari kemampuan menciptakan kekuatan pertahanan yang tangguh dan handal (yang berbasiskan sistem senjata teknologi)” (Syahnakri, 2008).

Maka dalam hemat saya, sungguh tidak benar untuk ‘mengorbankan’ rakyat agar selalu siap sedia diterjunkan saat perang terjadi. Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN) pun sampai saat ini masih menggantung dalam pembahasan internal di lingkaran Kementerian Pertahanan sebagai leading sector (tribunnews.com, 2018) meskipun batang tubuhnya telah digodok sejak Maret 2003 (hukumonline.com, 2009), sehingga sebelum berbicara tentang mobilisasi masyarakat sebagai combatant, pembahasan RUU KCPN harus segera dituntaskan, tentunya tanpa melupakan prinsip HAM—yang salah satunya dapat mengatur warga negara untuk menolak terlibat dalam upaya wajib militer—sebagai dasar dari segala pengaturan komponen cadangan tersebut.



Daftar Bacaan

Laksmana, Evan A. 2010. “Dari ‘Reformasi Militer’ Menuju ‘Transformasi Pertahanan’: Tantangan dan Prospek ke Depan”, Indonesian Review RSK & Media Vol I: 1-12.

Putranto, Joko. 2016. ‘Perang Rakyat Versus Perang Semesta’, dalam Iswandi Syahputra (ed), Perang Semesta: Dalam Kajian Budaya dan Media. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Sudarsono, Juwono. 2009. ‘SBY, Tentara dan Demokrasi’, dalam Dino Patti Djalal (ed), Energi Positif: Opini 100 Tokoh Mengenai Indonesia di Era SBY. Jakarta: Red & White Publishing.

Syahnakri, Kiki. 2008. Aku Hanya Tentara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Hukum Onlline. 2009. “RUU Komponen Cadangan Abaikan Prinsip HAM”, 20 Februari (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21252/ruu-komponen-cadangan-abaikan-prinsip-ham), diakses 11 April 2018.

Tribun News. 2018. “Perombakan Internal TNI dan RUU Komcad Jadi Pembahasan di Rapim Kemenhan”, 11 Januari (http://www.tribunnews.com/amp/nasional/2018/01/11/perombakan-internal-tni-dan-ruu-komcad-jadi-pembahasan-di-rapim-kemenhan), diakses 11 April 2018.