Dalam
beberapa minggu terakhir, pemberitaan mengenai wacana penempatan
perwira—khususnya Pamen dan Pati—TNI non-job
dalam posisi-posisi sipil Kementerian telah banyak menyedot perhatian publik.
Para aktivis pro-demokrasi, utamanya yang memusatkan pandangan pada reformasi
sektor keamanan menolak dengan keras wacana tersebut karena berpotensi
mengembalikan ruang bagi bangkitnya ‘Dwifungsi TNI’ jilid dua. Ada juga yang
melihat bahwa munculnya wacana tersebut sebagai bagian dari kurang baiknya
manajemen personalia TNI sehingga menimbulkan kemandekan karir para perwira
tinggi TNI yang seharusnya dapat berkontribusi lebih banyak sesuai bidang
kerjanya dalam kemiliteran.
Menurut pandangan saya pribadi, kemandekan karir tersebut lebih disebabkan pada kurang
tanggapnya manajemen personalia TNI dalam menghadapi gelombang perwira TNI yang
memasuki golongan Pamen senior dan Perwira Tinggi sejak awal 2010-an. Dari sisi
kesejarahan—utamanya berkaitan dengan relasi sipil-militer Orde Baru—kemandekan
tersebut bisa diketahui penyebabnya.
![]() |
Aksi Kamisan Menolak 'Dwifungsi TNI', Februari 2019 (sumber: CNN Indonesia) |
Sejalan
dengan semakin masifnya implementasi konsep Dwifungsi ABRI, jumlah penerimaan taruna
AKABRI, terkhusus Akademi Militer (Akmil) mengalami peningkatan yang amat pesat
dibanding sebelumnya sejak pertengahan dekade 1980-an. Lulusan AKABRI kemudian
diproyeksikan tak hanya duduk di posisi kemiliteran, tetapi juga mampu berkarir
di institusi sipil, padahal di masa-masa itu, utamanya saat kepanglimaan Jenderal Leonardus Benyamin 'Benny' Moerdani (1983-1988), TNI sedang menggalakkan upaya perampingan struktur ABRI sehingga agak kontradiktif dengan kenyataan yang ada. Di tahun 1980-1982, abituren (alumni) Akmil berjumlah tak
lebih dari 160 orang tiap lichting-nya,
namun perlahan naik di bilangan 187 orang di tahun 1983, dan kemudian melonjak sampai di angka
234 orang di tahun 1985. Selanjutnya, jumlah abituren Akmil selalu berada di
atas 250 orang.
Namun,
skema yang telah terbangun tersebut mendadak buyar ketika Reformasi TNI pecah pada
awal dekade 2000-an. Dwifungsi yang menjadi wahana bagi pencapaian karir di
luar kemiliteran dihapuskan, menjadikan prajurit TNI benar-benar pada posisinya
yang profesional sebagai penjaga pertahanan Negara. Reformasi TNI kemudian tak
membayangkan adanya bottle-necking
karir perwira TNI—khususnya TNI-AD—di
masa depan, padahal ia adalah konsekuensi logis dari dihilangkannya
posisi-posisi sipil yang sebelumnya bisa diisi para abituren Akmil yang
berlimpah jumlahnya. Jumlah abituren Akmil pun tak bisa dikurangi secara
drastis karena kecabangan militer yang semakin beragam, meskipun TNI-AD telah
menerapkan kebijakan Zero Growth of
Personnel (ZGP). Angka yang cukup rendah baru bisa dicapai pada dua-tiga
tahun ke belakang dengan jumlah abituren tak lebih dari 230 orang.
The Jakarta Post per tanggal 4 Maret 2019 mencatat bahwa terdapat 500
Kolonel dan 150 Pati TNI yang mengganggur, namun pengamat militer Universitas
Padjadjaran Dr. Muradi mencatat bahwa mungkin terdapat 800 Pamen dan Pati TNI
yang berada pada posisi non-job.
Upaya untuk melakukan mutasi jabatan pun sulit dilakukan karena tidak ada pos
yang bisa diisi, dan jika hanya mengandalkan rotasi jabatan kenaikan karir dan
pangkat para perwira tersebut sulit diraih, ditambah dengan kenyataan bahwa
terjadi perpanjangan Masa Dinas Prajurit (MDP) dari 55 tahun menjadi 58 tahun
berdasarkan UU No. 34/2004 tentang TNI. Lebih dari itu, di tubuh TNI sendiri
diyakini masih hidup budaya favoritisme dan patrimonialisme terselubung yang terbangun
selama berpuluh-puluh tahun; para perwira dan pejabat yang lebih tinggi
mempromosikan bawahan—bisa juga adik asuh—yang memiliki kedekatan personal dengan
dirinya, melompati mekanisme normal yang ada sehingga berlomba-lombalah para
perwira yang bermimpi memiliki karir cemerlang dengan membangun atau mendekati klik-klik
tertentu.
Wajar
saja kemudian pemerintah mewacanakan penempatan para Perwira TNI aktif ke dalam
institusi sipil sebagai respons instan atas kebuntuan yang terjadi di atas,
tetapi jelas wacana tersebut bukan hal populer; Ia mendapat pertentangan masif
dari banyak kalangan yang merasakan trauma kolektif atas berkuasanya militer
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita.
Penguatan Fungsi Organik
Dalam
Peta Jalan Reformasi Birokrasi Tentara Nasional Indonesia Tahun 2015-2019,
terdapat sembilan program yang diturunkan dalam beberapa agenda prioritas,
salah satunya adalah Penataan Sistem Manajemen SDM TNI dengan fokus membangun
manajemen personalia TNI yang profesional dan mampu menjawab tantangan tugas
TNI ke depan, yang diturunkan dalam berbagai kegiatan antara lain perencanaan
kebutuhan personel sesuai dengan kebutuhan organisasi, penataan pola karier
personel TNI, penetapan kinerja individu, dan pelaksanaan evaluasi jabatan.
Kegiatan-kegiatan tersebut sesungguhnya sedikit-banyak mampu mengurai problem
munculnya para perwira non-job yang
ada, namun karena perwira non-job
tersebut dari tahun ke tahun semakin menggunung, pendekatan ‘konvensional’
tersebut tak mampu lagi menjadi solusi. Dibutuhkan pendekatan yang tak biasa
guna menyelesaikan permasalahan yang juga tak biasa.
Masih
dalam catatan The Jakarta Post (4/3/2019),
pengamat militer yang juga Direktur Imparsial Al Araf sempat mengutarakan wacana
untuk memasukkan para perwira non-job
tersebut dalam struktur Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) guna
memperkuat perannya sebagai tulang punggung peperangan modern, dan juga pos
jabatan berkaitan dengan peperangan siber (cyber
warfare) dalam menjawab tantangan keamanan global. Di saat yang sama, momentum
menumpuknya perwira non-job tersebut
juga dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi besar-besaran struktur organisasi
TNI yang inefisien dan justru membebani anggaran pertahanan, termasuk di
dalamnya penghapusan Komando Kewilayahan (Kowil) yang sudah muncul sejak awal
Reformasi TNI didengungkan. Meskipun saya pribadi yakin usulan terakhir
tersebut akan mendapat banyak tentangan karena kemunculan Kowil didasarkan dari
sejarah TNI pada saat Perang Kemerdekaan, dimana ‘kantong-kantong gerilya’
memainkan peranan yang amat vital bagi kelancaran perjuangan, sehingga akan
timbul anggapan bahwa upaya menghapus Kowil sama dengan menghapus sebagian
sejarah TNI.
Dalam konferensi pers pasca
acara Rapat Pimpinan TNI-Polri di Istana Negara pada 29 Januari lalu, Presiden
Joko Widodo menyampaikan bahwa akan terdapat 60 jabatan baru di tubuh TNI yang
diisi oleh perwira tinggi bintang satu, dua dan tiga guna memecahkan masalah
surplus perwira non-job, salah
satunya beberapa jabatan di Kostrad
dalam mendukung penguatan institusi tersebut seperti disampaikan Al Araf. Berdasarkan
Perpres No. 62/2016 tentang Susunan Organisasi TNI, jabatan-jabatan tersebut
antara lain Inspektur Kostrad berpangkat Mayjen yang sebelumnya dijabat Brigjen
dan Asisten Kaskostrad berpangkat Brigjen yang sebelumnya dijabat Kolonel.
Peningkatan status tersebut akan memberikan ruang jabatan bagi para Brigjen ke
bawah untuk mengisi posisi staf di Inspektorat dan Keasistenan Kaskostrad.
![]() |
Presiden Joko Widodo, Pimpinan TNI-Polri dan Mantan Panglima TNI serta Kapolri, Januari 2019 (sumber: Sekretariat Kabinet RI) |
Di samping jabatan baru di
Kostrad, terdapat jabatan baru yang muncul sebagai konsekuensi dari
diinisiasinya Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) dengan konsep
Tri-Matra Terpadu dan berada di bawah koordinasi langsung Panglima TNI.
Rencananya, Kogabwilhan akan dibentuk di tiga pangkalan terintegrasi mewakili
wilayah utama Indonesia (Barat, Tengah, Timur) dengan dipimpin oleh Panglima
berbintang tiga, Wakil Panglima berbintang dua, dan lebih kurang enam Asisten
berbintang dua. Jika memang benar-benar terbentuk, Kogabwilhan akan mampu
menyerap para perwira non-job tersebut
dengan melalui berbagai penilaian kemampuan dan kompetensi, yang mana sejauh
ini baru terbentuk embrionya berupa Satuan TNI Terintegrasi (STT) lintas-matra
di Natuna, Kepulauan Riau.
Karir
Kedua
Dari
sisi personalia, sesungguhnya para pengambil kebijakan di TNI, terutama matra
darat menyadari bahwa tak semua perwira akan menggapai posisi puncak
kemiliteran, atau dalam bahasa yang lebih ringkas, tak semua prajurit bisa
menjadi Jenderal. Oleh karenanya, dikembangkan peluang karir kedua (second career) bagi perwira yang
berkompeten pada bidang-bidang terkait untuk dapat bekerja pada BUMN dan
instansi swasta melalui pembentukan Paban
V/Sahlur (Pemisahan dan Penyaluran) baik di Mabes TNI maupun TNI-AD. BUMN
maupun instansi swasta dapat mengajukan permohonan penyaluran personel yang
kemudian akan diproses lebih lanjut sampai diberhentikan dengan hormat dari
dinas keprajuritan. Begitupun dengan alih status prajurit TNI menjadi PNS
Eselon I dan II di Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian, harus
melepas status keprajuritannya dan menjadi masyarakat biasa, yang khusus di
tubuh TNI-AD telah diatur dalam Peraturan KSAD No. Perkasad/37/VIII/2013
tentang Buku Pedoman Alih Status dan Alih Profesi Prajurit TNI-AD.
Penjajakan
karir kedua bagi para prajurit di atas dapat dibilang sebagai model ‘penempatan
perwira pada posisi-posisi sipil’ dalam bentuk yang lebih soft, meskipun yang membedakan adalah permintaan atas kebutuhan perwira
diajukan oleh instansi terkait, dan mereka yang beralih status serta profesi
harus pensiun dari dinas aktif keprajuritan, berbeda dengan masa Dwifungsi yang
mana para perwira di-deploy pada
institusi sipil sebagai bagian dari doktrin yang mesti dijalankan.
Namun
pada prakteknya, kebijakan penyaluran perwira pada instansi-instansi tersebut—terutama
BUMN/BUMD—tidak menemukan hasil yang menggembirakan dan berkontribusi pada
pengurangan jumlah perwira non-job.
Dalam Jurnal Karya Vira Jati milik
Sekolah Staf dan Komando TNI-AD (Seskoad), Wisnu Joko Saputro (2016) melakukan
otokritik bahwa para prajurit yang namanya diajukan pada instansi pemohon tak
semuanya diserap karena tidak memenuhi kriteria dasar yang digariskan instansi
tersebut, sehingga kedepannya perlu dilakukan pembekalan tentang pengetahuan
dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan instansi pemohon, baik yang
bersifat umum seperti business management,
strategic management atau entrepreneurial management serta
kemampuan lainnya. Karena pada dasarnya prajurit dibentuk untuk bertempur, atau
meminjam kalimat Profesor Mochtar Pabotinggi, prajurit dididik untuk menumpas
tidak untuk berdiskusi atau berunding, yang mana ‘lubang-lubang’ yang ada
tersebut perlu diisi.
![]() |
Alex Gorsky; pensiun dari U.S. Army, melanjutkan sekolah di Wharton, menjadi CEO Johnson & Johnson (sumber: J & J) |
Berkaitan dengan keterampilan manajerial utamanya di sektor bisnis, Angkatan Bersenjata Amerika Serikat dan Singapura telah memulainya sejak lama dengan mengirimkan para perwiranya bahkan sejak level perwira pertama untuk belajar di sekolah bisnis terkemuka dunia macam Wharton School at UPenn, Harvard Business School, dan National University of Singapore (NUS) agar ketika tak lagi berdinas militer mereka memiliki kecakapan spesifik yang bisa dimanfaatkan. TNI dapat saja menggodok kebijakan serupa yang ditujukan pada perwira yang ingin memperluas pengetahuan di luar studi stratejik pertahanan yang jamak diambil, sehingga ketika mereka pada akhirnya lebih memilih karir di luar kemiliteran, kemampuan manajerial bisnis telah dimiliki, tak hanya kemudian berperan pasif sebagai komisaris atau semata.
Golden Handshake
Jika
kebijakan eksisting dirasa tak cukup mampu memecah permasalahan yang ada, TNI perlu
mengadopsi langkah yang lebih radikal dengan menerapkan kebijakan Golden Handshake (Jabat Tangan Emas)
berupa pemensiunan dini dengan kompensasi berupa pesangon yang saling menguntungkan.
Kebijakan tersebut jamak dilakukan pada sektor privat dan saat ini mulai
diterapkan pada sektor publik, antara lain Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) serta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) guna menjaga kesehatan sekaligus
keseimbangan organisasi.
Dengan
adanya kesadaran bahwa tidak semua perwira mampu menduduki jabatan puncak dan
kondisi ‘force majeure’ yang
memerlukan tindakan cepat, maka dapat dilakukan mekanisme evaluasi besar-besaran
para Pamen setingkat Letnan Kolonel senior dan Kolonel (masa tugas di atas 20
tahun) dengan memperhatikan aspek dedikasi, loyalitas, akademik, psikologi
serta jasmani. Patokannya jelas, apakah ia telah memiliki kecakapan menjalankan
fungsi staf, mampu berpikir stratejik dan memiliki bakat serta kemampuan sebagai
pemimpin masa depan. Jika ditemukan hasil yang kurang sejalan dengan patokan di
atas, maka diberikan opsi pensiun dini disertai pesangon, sekaligus
diintegrasikan dengan pendampingan second
career melibatkan lembaga psikologi independen. Mungkin tak semua karir
kedua diarahkan pada sektor bisnis, maka bisa diberikan opsi lain yang sesuai
dengan minat dan kemampuan yang bersangkutan.
Untuk
menerapkan kebijakan yang sama kepada para Pati, saya pribadi menilai sulit
terwujud dengan alasan yang telah disebutkan di atas: karir para Pati sudah ‘dikawal’
lewat hadirnya klik-klik tertentu di tubuh militer kita. Pendayagunaan yang
bisa dilakukan adalah dengan menempatkan para Pati tersebut guna memperkuat
tangki pemikir (think-tank) internal
TNI seperti Pusat Pengkajian Strategi (Pusjianstra) TNI, sesuai dengan
kualifikasi minimum yang harus dimiliki para Pati yakni memiliki kemampuan
sebagai strategist bervisi global, tanpa
melupakan lingkungan stratejik nasional maupun regional. Pusjianstra harus
menjadi center of excellence perumusan
dan pengkajian kebijakan stratejik untuk mendukung tugas-tugas pokok TNI
sebagai institusi profesional. Di
samping itu, keberadaan Universitas Pertahanan (Unhan) juga dapat diperkuat
oleh para Pati sebagai tenaga pengajar dan pengkaji seiring dengan semakin
beragamnya program studi yang dikembangkan disana serta semakin banyak jumlah
mahasiswa baru yang diterima.
Akhir kata, problem
penumpukan para perwira non-job yang
bermuara pada kurang sehatnya TNI sebagai organisasi harus dijadikan pelajaran
bagi semua pihak, baik TNI sendiri, Kementerian Pertahanan, Parlemen maupun komunitas
epistemik, bahwa ihwal personalia bukan semata isu internal namun perlu dikaji
secara komprehensif melibatkan semua pemangku kepentingan. Transformasi
pertahanan bukan hanya bertumpu pada pembaruan alutsista, tetapi juga harus
berfokus pada upaya menjadikan TNI sebagai organisasi yang sehat, kenyal dan
siap sedia.