Kamis, 09 Agustus 2018

Pilpres dan Politik Ibukota


"....Yang paling berat (pekerjaannya) itu Pak Anies. Pak Anies itu Gubernur DKI, tapi ya (juga) Gubernur Indonesia”.

Pernyataan tersebut terlontar dari mulut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo ketika memberikan sambutan dalam pengukuhan kepengurusan Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), awal Juli lalu di Jakarta. Kontan saja gelombang politisasi menyertai pernyataan Tjahjo tersebut, ada yang melihat bahwa hal tersebut adalah pertanda bahwa Anies dapat naik kelas ke posisi yang lebih tinggi dari sekedar Gubernur, yakni Presiden. Ada pula yang melihat hal tersebut adalah ‘isyarat alam’ agar partai oposisi yang selama ini mencari nama calon Presiden alternatif dapat segara menetapkan nama Anies sebagai calon Presiden 2019. Dan hal tersebut bukan yang pertama, dimana pada pertengahan Februari lalu pun Ketua Steering Committee Piala Presiden 2018 sekaligus politisi PDIP Maruarar Sirait sempat mengalami slip of tongue dengan menyebut Anies sebagai ‘Gubernur Indonesia’.

Joko Widodo dan Anies Baswedan; Gubernur dan Mantan Gubernur
(sumber: medan.tribunnews.com)

Sejak kemarin malam, kita telah melihat perkembangan politik menjelang pendaftaran Capres-Cawapres 2019 yang sangat dinamis lagi ketat, dan muaranya justru bukan nama Anies yang keluar sebagai Capres ataupun Cawapres baik dari kubu petahana maupun oposisi, namun malah sang Wakil Gubernur, Sandiaga Uno yang dikabarkan akan menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto menjelang tenggat pendaftaran Capres-Cawapres yang akan ditutup besok Jumat (10/08). Jika Sandiaga terpilih sebagai Wakil Presiden, ia hanya perlu berpindah tempat kerja ke samping Balai Kota karena disanalah Istana Wakil Presiden berada. 

Batu Loncatan?

Dalam beberapa tahun terakhir, dinamika semacam ini telah jamak dilihat sebagai pola tertentu menuju kursi kepresidenan ataupun karir politik nasional yang lebih mengkilap, ketika jabatan Gubernur—dan juga Wakil Gubernur—dijadikan sebagai batu loncatan, dan hal tersebut sangat kentara terlihat ketika Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sebelum bertarung dalam medan Pilgub DKI Jakarta 2012, publik hanya mengenal dirinya sebagai Walikota Surakarta yang berhasil merebut simpati masyarakat lokal atas gebrakan inovatif yang ia buat, namun setelah dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta berduet dengan Basuki Tjahaja Purnama, namanya tak hanya dikenal warga ibukota tetapi menyebar sampai ke seluruh Indonesia khususnya berkat metode ‘Blusukan’ yang ia populerkan untuk menjaring aspirasi masyarakat serta melihat kondisi langsung di lapangan. Pada akhirnya, tak sulit bagi Jokowi untuk mendapat tiket pencalonan Presiden berkat popularitas yang ia rengkuh dengan mengandalkan citra sederhana dan merakyat yang melekat pada dirinya.

Sebagai pusat pemerintahan negara, segala bentuk dinamika politik nasional berputar di ibukota, ia menjadi penjelmaan modern dari konsep ‘polis’ yang telah berkembang sejak masa Yunani Kuno. Dalam kasus DKI Jakarta, posisinya menjadi semakin kuat berkat beberapa ‘keunggulan’, antara lain karena sebagai ibukota negara, Jakarta memiliki posisi administratif yang lebih tinggi dari daerah lain dilihat dari gelar yang ia sandang—Daerah Khusus Ibukota (DKI). Jakarta juga menjadi cermin multikulturalisme karena ia dihuni bukan hanya oleh warga asli Jakarta tetapi juga masyarakat dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Di samping itu, tingkat kompleksitas permasalahan sosial yang diemban Jakarta jelas lebih tinggi dari wilayah lain mulai dari kemiskinan, kriminalitas, sampai penataan kota sehingga wajar saja banyak yang melihat kursi DKI-1 merupakan fire test menuju jabatan publik yang lebih tinggi.

Istana Merdeka; hanya berjarak 4 km dari Balai Kota DKI Jakarta
(sumber: poskotanews.com)

Kasus tersebut sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia, beberapa negara juga mengalami hal serupa. Di Mexico, Presiden Enrique Pena Nieto menapaki kursi kepresidenan dari posisi Gubernur Negara Bagian Mexico (State of Mexico) dengan Mexico City sebagai ibukota negara bagian sekaligus ibukota negara. Di Korea Selatan, Presiden Lee Myung-bak (2008-2013) mengikuti pertarungan menuju kursi Presiden setelah ia purna tugas menjadi Walikota Seoul—ibukota Korea Selatan—dan ia menang. Selain itu, Presiden Prancis Jacques Chirac (1995-2007) berhasil memenangkan pemilihan Presiden Prancis di tahun 1995 setelah ia mengabdi menjadi Walikota Paris selama 18 tahun.

Instabilitas

Tetapi sesungguhnya, menjadikan jabatan publik di ibukota sebagai batu loncatan, apalagi ketika sang pejabat publik belum genap menyelesaikan pengabdiannya secara penuh sesuai masa jabatan yang dia emban sangatlah berbahaya karena berkaitan dengan kestabilan pembangunan dan roda pemerintahan ibukota itu sendiri. Beberapa kebijakan yang telah dirumuskan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama justru mandeg ketika kepemimpinan ibukota beralih tangan, bahkan ketika posisi Gubernur dipegang oleh Basuki yang notabene merupakan wakil Jokowi, seperti pembangunan Kampung Deret di beberapa titik perkampungan Jakarta. Ketika duet Anies Baswedan-Sandiaga Uno mendapat amanat untuk memimpin ibukota, pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang semula jor-joran dibangun ketika kepemimpinan Gubernur Basuki dan dilanjutkan oleh Gubernur Djarot Syaiful Hidayat pada akhirnya macet, meskipun muncul pemikiran akan merubah konsep RPTRA menjadi lebih compact. Dan masih banyak lagi jejak ‘ketidakstabilan’ pembangunan di DKI Jakarta, karena jika dilihat dalam waktu 5 tahun (2012-2017), Jakarta telah mempunyai 4 Gubernur: Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Djarot Syaiful Hidayat dan Anies Baswedan.

Masyarakat Jakarta tentunya menginginkan pemimpin yang ia pilih akan tetap mengabdi secara penuh sampai masa jabatannya berakhir. Besarnya ongkos politik yang telah dikeluarkan untuk menyelenggarakan Pemilihan Gubernur akan terbuang sia-sia jika sang pemimpin tidak berkomitmen atas mandat yang telah diberikan masyarakat kepadanya. Ketika Mayor Jenderal (KKO) Ali Sadikin dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 28 April 1966, Presiden Soekarno berucap bahwa seorang walikota—pemimpin kota—janganlah hanya orang yang mengerti bestuurvoering (pelaksanaan pemerintah), melainkan orang yang tahu ‘membuat kotanya itu bersih dari sampah’. Secara gamblang Bung Karno menekankan pada pentingnya fungsi urban management yang rasional dalam urban good governance, ketimbang hanya ‘main-main’ politik semata (Marco Kusumawijaya, 2004).

Jika 5 tahun mendatang Jakarta diimpikan sebagai tempat yang maju dan warganya bahagia, tiada prasyarat lain yang dibutuhkan selain komitmen politik dari pemimpinnya untuk sepenuh hati mencurahkan pengabdian demi pembangunan DKI Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar