Di
tengah hingar-bingar isu perpolitikan nasional yang saban hari menghiasi
pemberitaan cetak maupun daring, kabar datang dari kesenyapan Markas Besar TNI:
Komandan Kodiklat TNI-AD Letjen Andika Perkasa diangkat sebagai Panglima Komando
Cadangan Strategis TNI-AD (Pangkostrad) menggantikan Letjen Agus Kriswanto yang
telah memasuki masa pensiun. Bagi yang mengikuti karir dan latar belakang
Andika, kabar ini jelas bukan sesuatu yang mengagetkan, bahkan posisi Kepala
Staf Angkatan Darat (KSAD) sudah diproyeksikan sejak jauh hari akan jatuh pada
dirinya.
![]() |
Serah terima jabatan Komandan Paspampres kepada Mayjen TNI Andika Perkasa, 2014 (sindonews.net) |
Di angkatannya, bersama dengan Letjen M. Herindra (Irjen TNI, Adhi Makayasa 1987), Andika dianggap sebagai bintang terang yang akan menduduki pos-pos pimpinan militer di masa depan, dan hal tersebut semakin mendekati kenyataan ketika Joko Widodo terpilih sebagai Presiden di tahun 2014.
Sebelum
2014, Andika dalam pangkat Brigjen menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan
TNI-AD, ‘juru terang’ yang mungkin bagi sebagian kalangan bukanlah posisi yang
strategis, namun setelah Joko Widodo dilantik sebagai Presiden, perlahan karpet
merah dibentangkan untuk Andika. Mula-mula pada posisi Komandan Pasukan
Pengamanan Presiden (Paspampres) menggantikan Mayjen Doni Monardo yang
berkonsekuensi pada kenaikan pangkat Andika menjadi Mayor Jenderal. Selang 2
tahun (2016), ia dimutasi ke Kalimantan Barat menjabat sebagai Panglima Kodam
XII/Tanjungpura, dan 2 tahun kemudian (2018) ia kembali mendapat promosi
sebagai Komandan Komando Pendidikan dan Latihan TNI-AD dengan pangkat bintang 3
di pundaknya. Namun tak genap 6 bulan, ia akhirnya dimutasi ke Jakarta sebagai
Pangkostrad.
Jika melihat tradisi yang selama ini berkembang, posisi Pangkostrad ibarat halaman depan sebelum masuk ke dalam sebuah rumah bernama Kepala Staf Angkatan Darat. Nama-nama seperti Wismoyo Arismunandar, Wiranto, Ryamizard Ryacudu, George Toisutta, Pramono Edhie Wibowo, Gatot Nurmantyo sampai Mulyono sebelumnya pernah menjabat sebagai Pangkostrad dan kemudian diangkat sebagai KSAD sehingga cukup beralasan jika Andika digadang-gadang akan menduduki kursi TNI-AD 1 tak lama lagi.
Jika melihat tradisi yang selama ini berkembang, posisi Pangkostrad ibarat halaman depan sebelum masuk ke dalam sebuah rumah bernama Kepala Staf Angkatan Darat. Nama-nama seperti Wismoyo Arismunandar, Wiranto, Ryamizard Ryacudu, George Toisutta, Pramono Edhie Wibowo, Gatot Nurmantyo sampai Mulyono sebelumnya pernah menjabat sebagai Pangkostrad dan kemudian diangkat sebagai KSAD sehingga cukup beralasan jika Andika digadang-gadang akan menduduki kursi TNI-AD 1 tak lama lagi.
Tetapi
kemudian, segala pencapaian karir tersebut sulit apabila tidak dikaitkan dengan
sosok sang mertua, Jenderal (Purn) A.M. Hendropriyono yang memiliki peran vital
dalam pemerintahan dan kemiliteran sejak era Orde Baru sampai saat ini. Ketika
Hendro masih menjabat sebagai Kepala BIN (2001-2004), Andika yang saat itu
menjabat sebagai Komandan Tim 3 Satuan Penanggulangan Teror (Sat-Gultor) 81
Kopassus diperbantukan di bawah institusi sang mertua untuk menangkap Umar
Al-Faruq pada tahun 2002, terduga kasus terorisme yang dituding terlibat dalam
kasus Bom Natal 2000 dan berencana membunuh Presiden Megawati Soekarnoputri,
sebuah praktek janggal karena seharusnya institusi intelijen hanya bertugas
mengumpulkan informasi, bukan justru menangkapi orang. Terpilihnya Andika
sebagai Danpaspampres pun menimbulkan pertanyaan karena di samping masih
terlalu muda dari segi angkatan (1987), ia pun baru memegang 1 jabatan selama
berpangkat Brigadir Jenderal, padahal idealnya sebelum dipromosikan ke posisi sestrategis
Danpaspampres, orang tersebut harus beberapa kali memegang jabatan setingkat yang
lagi-lagi menyeret nama Hendro sebagai faktor yang memungkinkan hal tersebut
terjadi.
Peluang
Jika
kita lihat, KSAD Jenderal Mulyono akan memasuki masa pensiun pada Januari 2019
dan disaat tersebut—apabila tidak ada perubahan—TNI-AD telah memiliki beberapa
jenderal bintang 3 yang memiliki kans untuk diangkat sebagai KSAD baru, antara
lain Irjen Kementerian Pertahanan Letjen Thamrin Marzuki, Staf Khusus KSAD
Letjen Ediwan Prabowo (1984), Sesjen Wantannas Letjen
Doni Monardo, Staf Khusus Panglima TNI Letjen Dodik Wijanarko (1985), Wakil
KSAD Letjen Tatang Sulaiman (1986), Irjen TNI Letjen M. Herindra, Dankodiklat
TNI-AD Letjen Anto Mukti Putranto, dan Pangkostrad Letjen Andika Perkasa
(1987). Apabila diperhatikan lebih jauh, hanya nama Letjen Doni Monardo, Herindra,
AM Putranto, dan Andika yang memiliki kans lebih besar. Thamrin Marzuki
terkendala umur karena di tahun 2019 ia akan masuk masa pensiun, karir Ediwan
Prabowo sendiri sudah saya singgung sebelumnya (Ajudan Presiden dan Politik Istana), sedangkan Dodik Wijanarko
berasal dari Corps Polisi Militer (CPM) yang tak lazim diangkat menjadi KSAD. Tatang
Sulaiman sendiri meskipun saat ini menjabat sebagai Wakil KSAD yang dalam
beberapa kasus menjadi ‘jalan tol’ menuju posisi KSAD, di tahun 2019 umurnya
akan masuk 57 tahun—setahun menuju akhir masa pengabdian—sehingga sulit bagi
dirinya jika diangkat sebagai KSAD untuk melakukan gerak perubahan di masa
jabatan yang amat pendek.
Nah,
dari keempat nama yang telah disaring, akan didapat nama Herindra dan Andika
yang menduduki posisi puncak. Mengapa 2 nama lainnya terdepak? Pertama,
meskipun nama Doni Monardo sempat diisukan menjadi kandidat kuat calon KSAD,
namun setelah ia dipromosikan menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan
Nasional (Sesjen Wantannas) banyak yang percaya Doni justru sedang ‘ditendang
ke atas’ dan akan menghabiskan sisa masa baktinya disana, apalagi jika melihat
perjalanan para Sesjen terdahulu, kecemerlangan karir mereka berakhir di
Wantannas sehingga banyak kalangan menilai bahwa tipis kemungkinan bagi Doni
untuk diangkat menjadi KSAD meskipun tidak tertutup sama sekali (selanjutnya dapat dibaca dalam Ujung Karir Kemiliteran Bernama Setjen Wantannas). Kedua, AM
Putranto bersama dengan Herindra dan Andika berasal dari angkatan yang sama di
Akmil (1987), dan jika membandingkan—tanpa mengurangi rasa hormat—‘keunggulan
kompetitif’ dari mereka masing-masing, Putranto akan berada di urutan buncit,
disusul dengan Herindra di tempat kedua dan Andika di posisi pertama.
![]() |
Andika Perkasa semasa Pangdam XII/Tanjungpura menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo (nusantaranews.co) |
Penjelasannya kira-kira seperti ini: Meskipun Herindra merupakan peraih penghargaan Adhi Makayasa sekaligus Tri Sakti Wiratama di angkatannya, pemegang 2 gelar master dari The George Washington University dan National Defense University, Amerika Serikat dan kenyang pengalaman tour of duty, Herindra tidak mempunyai satu determinan penting yang membuatnya memiliki keunggulan lebih, yakni kedekatan dengan pusat kekuatan politik yang secara gamblang dimiliki oleh Andika. Mempunyai hubungan kekerabatan dengan pensiunan Jenderal yang masih memiliki pengaruh yang amat besar di negeri ini yang kemudian menariknya ke dalam pusaran kekuasaan negara menjadi ‘aset’ penting Andika, tanpa itu, tak mungkin karirnya secemerlang sekarang. Tetapi Ia juga merupakan alumni terbaik Seskoad 1999/2000 sekaligus penyandang 3 gelar master (Norwich University, National Defense University, Harvard University) dan doktor (The George Washington University) yang salah satunya menjadi alasan mengapa Andika diposisikan di urutan teratas. Putranto sendiri menduduki urutan terakhir karena ia hanya memenuhi determinan ‘kenyang pengalaman lapangan’; Ia bukan alumni terbaik di Akademi maupun di pendidikan lanjutan, tidak merepresentasikan kelompok intelektual militer, dan tidak dianggap dekat dengan pusaran kekuatan politik nasional.
Tantangan Ke Depan
Jika
memang benar Andika yang ditunjuk sebagai KSAD pada Januari tahun depan,
setidaknya ada 2 tantangan strategis yang harus dipecahkan. Pertama
ialah menjamin netralitas TNI-AD dalam menghadapi Pemilihan Umum 2019, dimana
Andika harus benar-benar menjamin bahwa dirinya—dan institusi yang dipimpinnya—bebas
dari segala pengaruh politik praktis. Tentunya hal ini menjadi tantangan besar
karena selama ini Andika diasosiasikan dekat Presiden Joko Widodo yang dipastikan
akan kembali bertarung pada Pemilihan Presiden 2019. Jika terpilih sebagai
KSAD, ia harus mampu melepaskan diri dari stigma yang menempel tersebut. Desas-desus
yang sering terdengar bahwa Bintara Pembina Desa (Babinsa) acapkali meminta
masyarakat untuk mendukung salah satu calon tertentu dalam pemilihan umum harus
ditanggapi secara serius oleh KSAD baru agar tak menjadi bola liar yang akan
menjadi bumerang bagi institusi TNI-AD.
Kedua, membangun postur pertahanan—kekuatan, gelar pasukan, dan
kemampuan prajurit—yang tangguh untuk menjawab ketidak-stabilan global yang
semakin meningkatkan probabilitas perang, yang mana ketika tercipta postur yang
tangguh tersebut Indonesia dapat memainkan peran pengimbang (balancer) dalam kompetisi global antara
Tiongkok, Amerika Serikat, dan juga India (Andi Widjajanto, 2017). Namun sekali
lagi, hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan di samping karena masih kuatnya
pendekatan perang tradisional yang hanya berfokus pada pengembangan ‘core competency’ TNI-AD seperti perang
gerilya atau perang hutan (selanjutnya dapat dibawa dalam Perang Semesta Bukan "Perang Bersama Rakyat"), industri pertahanan yang semestinya menyokong pembangunan
postur ideal tersebut belum mampu berdiri sendiri dan hanya memanfaatkan
keuntungan dari rezim pasar konsumen tanpa secara maksimal menggali transfer
teknologi dari tiap pembelian alutsista.
Maka
dari itu, penting bagi Andika untuk mengawal penyelarasan Doktrin Kartika Eka
Paksi agar sesuai dengan lingkungan stratejik yang sangat dinamis, yang mana kuatnya
latar belakang akademik yang dimiliki Andika dapat memudahkan pelaksanaan
agenda tersebut. Selain itu, optimalisasi mekanisme transfer teknologi beserta
kerjasama industri pertahanan seperti co-production,
joint production atau license (Andi Widjajanto, 2017) wajib
dilakukan oleh industri pertahanan utamanya PT. Pindad (Persero) dan PT.
Dirgantara Indonesia (Persero) yang sejak lama menjadi rekanan TNI-AD dalam
mengembangkan kemandirian alutsista di 6 kecabangan (Infanteri, Kavaleri,
Armed, Arhanud, Zeni, Penerbad). Di sisi internal, penguatan fungsi penelitian
dan pengembangan (litbang) TNI-AD mutlak diperlukan dengan melakukan 3 langkah
strategis, yakni (1) validasi struktur organisasi litbang TNI-AD yang selama
ini terpecah; (2) manajemen sumber daya manusia litbang mulai dari proses
rekrutmen, pendidikan lanjutan dan jaminan kesejahteraan; dan (3) pembangunan
budaya organisasi litbang seperti budaya berpikir serta belajar dengan
menjunjung tinggi moral (Rudiono Edi, 2017).
Pada
akhirnya, karpet merah memang sudah tergelar di hadapan Andika. Hanya Presiden
Joko Widodo-lah yang memiliki mandat untuk mempersilahkan Andika menapaki karpet tersebut atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar