Jumat, 03 Agustus 2018

Karpet Merah Untuk Andika


Di tengah hingar-bingar isu perpolitikan nasional yang saban hari menghiasi pemberitaan cetak maupun daring, kabar datang dari kesenyapan Markas Besar TNI: Komandan Kodiklat TNI-AD Letjen Andika Perkasa diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis TNI-AD (Pangkostrad) menggantikan Letjen Agus Kriswanto yang telah memasuki masa pensiun. Bagi yang mengikuti karir dan latar belakang Andika, kabar ini jelas bukan sesuatu yang mengagetkan, bahkan posisi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sudah diproyeksikan sejak jauh hari akan jatuh pada dirinya.

Serah terima jabatan Komandan Paspampres kepada Mayjen TNI Andika Perkasa, 2014
(sindonews.net)

Di angkatannya, bersama dengan Letjen M. Herindra (Irjen TNI, Adhi Makayasa 1987), Andika dianggap sebagai bintang terang yang akan menduduki pos-pos pimpinan militer di masa depan, dan hal tersebut semakin mendekati kenyataan ketika Joko Widodo terpilih sebagai Presiden di tahun 2014.

Sebelum 2014, Andika dalam pangkat Brigjen menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI-AD, ‘juru terang’ yang mungkin bagi sebagian kalangan bukanlah posisi yang strategis, namun setelah Joko Widodo dilantik sebagai Presiden, perlahan karpet merah dibentangkan untuk Andika. Mula-mula pada posisi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) menggantikan Mayjen Doni Monardo yang berkonsekuensi pada kenaikan pangkat Andika menjadi Mayor Jenderal. Selang 2 tahun (2016), ia dimutasi ke Kalimantan Barat menjabat sebagai Panglima Kodam XII/Tanjungpura, dan 2 tahun kemudian (2018) ia kembali mendapat promosi sebagai Komandan Komando Pendidikan dan Latihan TNI-AD dengan pangkat bintang 3 di pundaknya. Namun tak genap 6 bulan, ia akhirnya dimutasi ke Jakarta sebagai Pangkostrad. 

Jika melihat tradisi yang selama ini berkembang, posisi Pangkostrad ibarat halaman depan sebelum masuk ke dalam sebuah rumah bernama Kepala Staf Angkatan Darat. Nama-nama seperti Wismoyo Arismunandar, Wiranto, Ryamizard Ryacudu, George Toisutta, Pramono Edhie Wibowo, Gatot Nurmantyo sampai Mulyono sebelumnya pernah menjabat sebagai Pangkostrad dan kemudian diangkat sebagai KSAD sehingga cukup beralasan jika Andika digadang-gadang akan menduduki kursi TNI-AD 1 tak lama lagi.

Tetapi kemudian, segala pencapaian karir tersebut sulit apabila tidak dikaitkan dengan sosok sang mertua, Jenderal (Purn) A.M. Hendropriyono yang memiliki peran vital dalam pemerintahan dan kemiliteran sejak era Orde Baru sampai saat ini. Ketika Hendro masih menjabat sebagai Kepala BIN (2001-2004), Andika yang saat itu menjabat sebagai Komandan Tim 3 Satuan Penanggulangan Teror (Sat-Gultor) 81 Kopassus diperbantukan di bawah institusi sang mertua untuk menangkap Umar Al-Faruq pada tahun 2002, terduga kasus terorisme yang dituding terlibat dalam kasus Bom Natal 2000 dan berencana membunuh Presiden Megawati Soekarnoputri, sebuah praktek janggal karena seharusnya institusi intelijen hanya bertugas mengumpulkan informasi, bukan justru menangkapi orang. Terpilihnya Andika sebagai Danpaspampres pun menimbulkan pertanyaan karena di samping masih terlalu muda dari segi angkatan (1987), ia pun baru memegang 1 jabatan selama berpangkat Brigadir Jenderal, padahal idealnya sebelum dipromosikan ke posisi sestrategis Danpaspampres, orang tersebut harus beberapa kali memegang jabatan setingkat yang lagi-lagi menyeret nama Hendro sebagai faktor yang memungkinkan hal tersebut terjadi.

Peluang

Jika kita lihat, KSAD Jenderal Mulyono akan memasuki masa pensiun pada Januari 2019 dan disaat tersebut—apabila tidak ada perubahan—TNI-AD telah memiliki beberapa jenderal bintang 3 yang memiliki kans untuk diangkat sebagai KSAD baru, antara lain Irjen Kementerian Pertahanan Letjen Thamrin Marzuki, Staf Khusus KSAD Letjen Ediwan Prabowo (1984), Sesjen Wantannas Letjen Doni Monardo, Staf Khusus Panglima TNI Letjen Dodik Wijanarko (1985), Wakil KSAD Letjen Tatang Sulaiman (1986), Irjen TNI Letjen M. Herindra, Dankodiklat TNI-AD Letjen Anto Mukti Putranto, dan Pangkostrad Letjen Andika Perkasa (1987). Apabila diperhatikan lebih jauh, hanya nama Letjen Doni Monardo, Herindra, AM Putranto, dan Andika yang memiliki kans lebih besar. Thamrin Marzuki terkendala umur karena di tahun 2019 ia akan masuk masa pensiun, karir Ediwan Prabowo sendiri sudah saya singgung sebelumnya (Ajudan Presiden dan Politik Istana), sedangkan Dodik Wijanarko berasal dari Corps Polisi Militer (CPM) yang tak lazim diangkat menjadi KSAD. Tatang Sulaiman sendiri meskipun saat ini menjabat sebagai Wakil KSAD yang dalam beberapa kasus menjadi ‘jalan tol’ menuju posisi KSAD, di tahun 2019 umurnya akan masuk 57 tahun—setahun menuju akhir masa pengabdian—sehingga sulit bagi dirinya jika diangkat sebagai KSAD untuk melakukan gerak perubahan di masa jabatan yang amat pendek.

Nah, dari keempat nama yang telah disaring, akan didapat nama Herindra dan Andika yang menduduki posisi puncak. Mengapa 2 nama lainnya terdepak? Pertama, meskipun nama Doni Monardo sempat diisukan menjadi kandidat kuat calon KSAD, namun setelah ia dipromosikan menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Sesjen Wantannas) banyak yang percaya Doni justru sedang ‘ditendang ke atas’ dan akan menghabiskan sisa masa baktinya disana, apalagi jika melihat perjalanan para Sesjen terdahulu, kecemerlangan karir mereka berakhir di Wantannas sehingga banyak kalangan menilai bahwa tipis kemungkinan bagi Doni untuk diangkat menjadi KSAD meskipun tidak tertutup sama sekali (selanjutnya dapat dibaca dalam Ujung Karir Kemiliteran Bernama Setjen Wantannas). Kedua, AM Putranto bersama dengan Herindra dan Andika berasal dari angkatan yang sama di Akmil (1987), dan jika membandingkan—tanpa mengurangi rasa hormat—‘keunggulan kompetitif’ dari mereka masing-masing, Putranto akan berada di urutan buncit, disusul dengan Herindra di tempat kedua dan Andika di posisi pertama.  

Andika Perkasa semasa Pangdam XII/Tanjungpura menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo
(nusantaranews.co)

Penjelasannya kira-kira seperti ini: Meskipun Herindra merupakan peraih penghargaan Adhi Makayasa sekaligus Tri Sakti Wiratama di angkatannya, pemegang 2 gelar master dari The George Washington University dan National Defense University, Amerika Serikat dan kenyang pengalaman tour of duty, Herindra tidak mempunyai satu determinan penting yang membuatnya memiliki keunggulan lebih, yakni kedekatan dengan pusat kekuatan politik yang secara gamblang dimiliki oleh Andika. Mempunyai hubungan kekerabatan dengan pensiunan Jenderal yang masih memiliki pengaruh yang amat besar di negeri ini yang kemudian menariknya ke dalam pusaran kekuasaan negara menjadi ‘aset’ penting Andika, tanpa itu, tak mungkin karirnya secemerlang sekarang. Tetapi Ia juga merupakan alumni terbaik Seskoad 1999/2000 sekaligus penyandang 3 gelar master (Norwich University, National Defense University, Harvard University) dan doktor (The George Washington University) yang salah satunya menjadi alasan mengapa Andika diposisikan di urutan teratas. Putranto sendiri menduduki urutan terakhir karena ia hanya memenuhi determinan ‘kenyang pengalaman lapangan’; Ia bukan alumni terbaik di Akademi maupun di pendidikan lanjutan, tidak merepresentasikan kelompok intelektual militer, dan tidak dianggap dekat dengan pusaran kekuatan politik nasional.

Tantangan Ke Depan

Jika memang benar Andika yang ditunjuk sebagai KSAD pada Januari tahun depan, setidaknya ada 2 tantangan strategis yang harus dipecahkan. Pertama ialah menjamin netralitas TNI-AD dalam menghadapi Pemilihan Umum 2019, dimana Andika harus benar-benar menjamin bahwa dirinya—dan institusi yang dipimpinnya—bebas dari segala pengaruh politik praktis. Tentunya hal ini menjadi tantangan besar karena selama ini Andika diasosiasikan dekat Presiden Joko Widodo yang dipastikan akan kembali bertarung pada Pemilihan Presiden 2019. Jika terpilih sebagai KSAD, ia harus mampu melepaskan diri dari stigma yang menempel tersebut. Desas-desus yang sering terdengar bahwa Bintara Pembina Desa (Babinsa) acapkali meminta masyarakat untuk mendukung salah satu calon tertentu dalam pemilihan umum harus ditanggapi secara serius oleh KSAD baru agar tak menjadi bola liar yang akan menjadi bumerang bagi institusi TNI-AD.

Kedua, membangun postur pertahanan—kekuatan, gelar pasukan, dan kemampuan prajurit—yang tangguh untuk menjawab ketidak-stabilan global yang semakin meningkatkan probabilitas perang, yang mana ketika tercipta postur yang tangguh tersebut Indonesia dapat memainkan peran pengimbang (balancer) dalam kompetisi global antara Tiongkok, Amerika Serikat, dan juga India (Andi Widjajanto, 2017). Namun sekali lagi, hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan di samping karena masih kuatnya pendekatan perang tradisional yang hanya berfokus pada pengembangan ‘core competency’ TNI-AD seperti perang gerilya atau perang hutan (selanjutnya dapat dibawa dalam Perang Semesta Bukan "Perang Bersama Rakyat"), industri pertahanan yang semestinya menyokong pembangunan postur ideal tersebut belum mampu berdiri sendiri dan hanya memanfaatkan keuntungan dari rezim pasar konsumen tanpa secara maksimal menggali transfer teknologi dari tiap pembelian alutsista.

Maka dari itu, penting bagi Andika untuk mengawal penyelarasan Doktrin Kartika Eka Paksi agar sesuai dengan lingkungan stratejik yang sangat dinamis, yang mana kuatnya latar belakang akademik yang dimiliki Andika dapat memudahkan pelaksanaan agenda tersebut. Selain itu, optimalisasi mekanisme transfer teknologi beserta kerjasama industri pertahanan seperti co-production, joint production atau license (Andi Widjajanto, 2017) wajib dilakukan oleh industri pertahanan utamanya PT. Pindad (Persero) dan PT. Dirgantara Indonesia (Persero) yang sejak lama menjadi rekanan TNI-AD dalam mengembangkan kemandirian alutsista di 6 kecabangan (Infanteri, Kavaleri, Armed, Arhanud, Zeni, Penerbad). Di sisi internal, penguatan fungsi penelitian dan pengembangan (litbang) TNI-AD mutlak diperlukan dengan melakukan 3 langkah strategis, yakni (1) validasi struktur organisasi litbang TNI-AD yang selama ini terpecah; (2) manajemen sumber daya manusia litbang mulai dari proses rekrutmen, pendidikan lanjutan dan jaminan kesejahteraan; dan (3) pembangunan budaya organisasi litbang seperti budaya berpikir serta belajar dengan menjunjung tinggi moral (Rudiono Edi, 2017).

Pada akhirnya, karpet merah memang sudah tergelar di hadapan Andika. Hanya Presiden Joko Widodo-lah yang memiliki mandat untuk mempersilahkan Andika menapaki karpet tersebut atau tidak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar