Belum genap setahun menjabat
sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional, Letjen TNI Doni Monardo
mendapat penugasan baru oleh Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) menggantikan Willem Rampangilei. Pasca upacara
pelantikan di Istana Negara Rabu (9/1) pagi, Jokowi menekankan bahwa alasan
memilih Doni karena ia memiliki jiwa kepemimpinan dan manajemen yang kuat,
serta mampu mengambil tindakan cepat di lapangan. Nasib baik akhirnya masih
berpihak pada Doni, ketika banyak pihak—termasuk saya—melihat bahwa ia sedang
‘ditendang ke atas’ saat diangkat sebagai Sesjen Wantannas, yang acapkali
menjadi kuburan karir para perwira tinggi TNI. Doni pun menjadi perwira aktif
pertama yang berhasil menakik karir militer pasca-Wantannas (saya pernah
menulis tentang Doni di
sini).
Yang menarik berkaitan
dengan penugasan baru Doni adalah ia tetap berstatus sebagai prajurit TNI
aktif, berbeda dengan para pendahulunya yang saat menjabat sebagai Kepala BNPB
telah purnawira dari tugas kemiliteran seperti Mayjen (Purn) Syamsul Maarif dan
Laksda (Purn) Willem Rampangilei. Menurut Kepala Staf Presiden Moeldoko, Hal
tersebut dilakukan karena dalam praktek penanggulangan bencana saat ini
BNPB banyak berbagi peran dengan TNI dan Polri, sehingga untuk memudahkan
koordinasi dan konsolidasi dipilihlah Kepala BNPB dengan status prajurit aktif.
Implikasinya, perlu dilakukan revisi Perpres No. 8/2008 yang sebelumnya
mengatur BNPB berada langsung di bawah Presiden menjadi di bawah Menko Polhukam
agar tak melanggar UU No. 34/2004 tentang TNI. Revisi Perpres tersebut menjadi
alasan tertundanya pelantikan Doni sebagai Kepala BNPB yang sedianya
dilaksanakan pada 2 Januari lalu, meskipun pada akhirnya ia tetap dilantik oleh
Presiden, bukan Menko Polhukam.
![]() |
Doni dan Presiden Joko Widodo sesaat setelah pelantikan sebagai Kepala BNPB (sumber: setkab.go.id) |
Dalam Pasal 47 Ayat (1) UU TNI, dijabarkan bahwa “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”, yang langsung disambung dengan Ayat (2) yang berbunyi “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung”, sehingga jika mengacu pada UU tersebut, prajurit aktif dilarang untuk menduduki jabatan sipil terkecuali pada kantor-kantor tersebut. Langkah Istana dengan merevisi Perpres No. 8/2008 dapat dikatakan sebagai cara ‘menyiasati’ UU TNI karena tidak ada larangan bagi prajurit aktif untuk berdinas kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara (Kemenko Polhukam).
Upaya yang sama juga
dilakukan terhadap Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang merupakan hasil
reorganisasi Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) berdasarkan UU No. 32/
2014 tentang Kelautan, yang diperkuat dengan Perpres No. 178/2014 tentang Badan
Keamanan Laut. Dalam Perpres tersebut tercantum bahwa Bakamla dikoordinasikan
oleh Menko Polhukam sehingga prajurit aktif dapat berdinas di dalam Bakamla,
dipimpin oleh seorang perwira tinggi TNI-AL berpangkat Laksamana
Madya—saat ini dipimpin Laksdya TNI Achmad Taufiqoerrochman (AAL
1985). Meskipun dalam UU TNI tidak secara gamblang disebutkan bahwa
prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi ‘Keamanan
Laut’, namun jika sekilas melihat namanya yang mengandung unsur ‘keamanan’,
orang akan cepat mahfum jika badan tersebut digerakkan oleh para prajurit
aktif, utamanya dari TNI-AL.
Berkaitan dengan isu
keamanan di laut, pada pertengahan tahun 2018 lalu Menko Kemaritiman Luhut
Binsar Pandjaitan juga pernah melontarkan gagasan untuk menarik para perwira
TNI aktif membantu dirinya di Kemenko Kemaritiman dalam menangani permasalahan
kelautan yang banyak dipahami dan dikerjakan oleh prajurit TNI-AL. Memang
dalam struktur Kemenko Kemaritiman, terdapat Kedeputian Bidang Koordinasi
Keamanan Maritim yang banyak memerlukan sentuhan prajurit matra laut khususnya
pada isu-isu spesifik berkaitan dengan keamanan dan pengawasan maritim, hukum
laut, sampai delimitasi zona maritim. Dari situlah kemudian Luhut menjajaki
peluang untuk merevisi UU TNI dengan membicarakannya bersama Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN), meskipun sampai saat ini belum ada pembicaraan lanjutan.
Dari berbagai peristiwa
tersebut, saya setuju dengan pendapat Mantan Kepala BAIS TNI Soleman B. Ponto (Kompas,
04/02/2017) bahwa perlu dilakukan inventarisasi dan pembenahan personil yang
berdinas di luar institusi TNI agar tercipta tertib administrasi di tubuh TNI.
Nah, agar tercipta tertib hukum dan basis legitimasi yang kuat, perlu dilakukan revisi UU TNI dengan
menambah bidang sipil yang telah disepakati politik negara dapat diisi para
prajurit aktif seperti Penanggulangan Bencana, Keamanan Laut dan Penanggulangan
Terorisme. Bidang Koordinator bidang Kemaritiman dapat ditambahkan jika telah
ditetapkan oleh keputusan politik negara.
Terma ‘keputusan
politik negara’ menjadi penting karena ia menjadi katalisator atas
terlibatnya—dan pelibatan—TNI di ranah sipil. Di tengah meluasnya batas-batas
konsepsi keamanan, maka semua hal dapat masuk ke dalam ‘kotak keamanan’ melalui
kerangka sekuritisasi, memungkinkan digunakannya cara-cara luar biasa atas nama
keamanan yang acapkali disalahgunakan untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
Sehingga perlu ditetapkan secara ketat dan jelas ‘indikator’ yang mampu
menyaring institusi sipil mana saja yang dapat diduduki prajurit TNI aktif guna
menjunjung supremasi sipil, tanpa sekadar bertolak dari definisi keamanan
kekinian yang amat luas.
Namun, ‘keputusan
politik negara’ tidak dapat dijadikan sebagai patokan kebenaran mutlak, karena
justru disitulah berbagai kepentingan dari para pengambil kebijakan saling
bertarung, utamanya dalam hal memajukan supremasi sipil. Jika sebuah
negara—khususnya pasca-militerisme—dipimpin oleh pemimpin yang mempunyai visi
supremasi sipil sampai jauh ke depan, maka pemerintahan sipil yang berdaulat
akan tegak berdiri. Tetapi apabila negara tersebut dipimpin oleh orang sipil
yang justru condong pada supremasi militer dan malah didukung segenap
masyarakatnya, jelas bahwa supremasi sipil berada dalam ancaman. Oleh karena
itu, selain kedewasaan dan komitmen yang kuat dalam memajukan supremasi sipil dari
para pemimpin negara, Salim Said (2015) berargumen bahwa diperlukan karakter
masyarakat yang solid, tidak terfragmentasi, dan mampu menemukan kesepakatan
bersama tentang bagaimana mengelola negara. Masuk—dan dimasukannya—militer
dalam kehidupan sipil secara masif merupakan bukti dari kondisi masyarakat yang
terpecah-pecah, saling bertentangan, tak berdayanya kelas menengah dan civil
society yang menuntun jalan pada terciptanya ‘praetorian society’.
Dari titik itulah, dapat lahir ‘praetorian military’ yang siap merebut
kendali pemerintahan sipil kapan saja.
Daftar Bacaan
Salim Said. 2015.
“Mengundang Keterlibatan Angkatan Bersenjata: Catatan dari Mesir dan
Thailand”, Prisma Vol. 24 (1): 98-118.
Soleman B. Ponto.
“Status TNI di Pusaran Institusi Sipil”, Kompas, 04/02/2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar