Rabu, 09 Januari 2019

Tentang Revisi UU TNI

Belum genap setahun menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional, Letjen TNI Doni Monardo mendapat penugasan baru oleh Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggantikan Willem Rampangilei. Pasca upacara pelantikan di Istana Negara Rabu (9/1) pagi, Jokowi menekankan bahwa alasan memilih Doni karena ia memiliki jiwa kepemimpinan dan manajemen yang kuat, serta mampu mengambil tindakan cepat di lapangan. Nasib baik akhirnya masih berpihak pada Doni, ketika banyak pihak—termasuk saya—melihat bahwa ia sedang ‘ditendang ke atas’ saat diangkat sebagai Sesjen Wantannas, yang acapkali menjadi kuburan karir para perwira tinggi TNI. Doni pun menjadi perwira aktif pertama yang berhasil menakik karir militer pasca-Wantannas (saya pernah menulis tentang Doni di sini).

Yang menarik berkaitan dengan penugasan baru Doni adalah ia tetap berstatus sebagai prajurit TNI aktif, berbeda dengan para pendahulunya yang saat menjabat sebagai Kepala BNPB telah purnawira dari tugas kemiliteran seperti Mayjen (Purn) Syamsul Maarif dan Laksda (Purn) Willem Rampangilei. Menurut Kepala Staf Presiden Moeldoko, Hal tersebut dilakukan karena dalam praktek penanggulangan bencana saat ini BNPB banyak berbagi peran dengan TNI dan Polri, sehingga untuk memudahkan koordinasi dan konsolidasi dipilihlah Kepala BNPB dengan status prajurit aktif. Implikasinya, perlu dilakukan revisi Perpres No. 8/2008 yang sebelumnya mengatur BNPB berada langsung di bawah Presiden menjadi di bawah Menko Polhukam agar tak melanggar UU No. 34/2004 tentang TNI. Revisi Perpres tersebut menjadi alasan tertundanya pelantikan Doni sebagai Kepala BNPB yang sedianya dilaksanakan pada 2 Januari lalu, meskipun pada akhirnya ia tetap dilantik oleh Presiden, bukan Menko Polhukam.

Doni dan Presiden Joko Widodo sesaat setelah pelantikan sebagai Kepala BNPB
(sumber: setkab.go.id)

Dalam Pasal 47 Ayat (1) UU TNI, dijabarkan bahwa “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”, yang langsung disambung dengan Ayat (2) yang berbunyi “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung”, sehingga jika mengacu pada UU tersebut, prajurit aktif dilarang untuk menduduki jabatan sipil terkecuali pada kantor-kantor tersebut. Langkah Istana dengan merevisi Perpres No. 8/2008 dapat dikatakan sebagai cara ‘menyiasati’ UU TNI karena tidak ada larangan bagi prajurit aktif untuk berdinas kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara (Kemenko Polhukam).

Upaya yang sama juga dilakukan terhadap Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang merupakan hasil reorganisasi Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) berdasarkan UU No. 32/ 2014 tentang Kelautan, yang diperkuat dengan Perpres No. 178/2014 tentang Badan Keamanan Laut. Dalam Perpres tersebut tercantum bahwa Bakamla dikoordinasikan oleh Menko Polhukam sehingga prajurit aktif dapat berdinas di dalam Bakamla, dipimpin oleh seorang perwira tinggi TNI-AL berpangkat Laksamana Madya—saat ini dipimpin Laksdya TNI Achmad Taufiqoerrochman (AAL 1985). Meskipun dalam UU TNI tidak secara gamblang disebutkan bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi ‘Keamanan Laut’, namun jika sekilas melihat namanya yang mengandung unsur ‘keamanan’, orang akan cepat mahfum jika badan tersebut digerakkan oleh para prajurit aktif, utamanya dari TNI-AL.

Berkaitan dengan isu keamanan di laut, pada pertengahan tahun 2018 lalu Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan juga pernah melontarkan gagasan untuk menarik para perwira TNI aktif membantu dirinya di Kemenko Kemaritiman dalam menangani permasalahan kelautan yang banyak dipahami dan dikerjakan oleh prajurit TNI-AL. Memang dalam struktur Kemenko Kemaritiman, terdapat Kedeputian Bidang Koordinasi Keamanan Maritim yang banyak memerlukan sentuhan prajurit matra laut khususnya pada isu-isu spesifik berkaitan dengan keamanan dan pengawasan maritim, hukum laut, sampai delimitasi zona maritim. Dari situlah kemudian Luhut menjajaki peluang untuk merevisi UU TNI dengan membicarakannya bersama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), meskipun sampai saat ini belum ada pembicaraan lanjutan.

Dari berbagai peristiwa tersebut, saya setuju dengan pendapat Mantan Kepala BAIS TNI Soleman B. Ponto (Kompas, 04/02/2017) bahwa perlu dilakukan inventarisasi dan pembenahan personil yang berdinas di luar institusi TNI agar tercipta tertib administrasi di tubuh TNI. Nah, agar tercipta tertib hukum dan basis legitimasi yang kuat, perlu dilakukan revisi UU TNI dengan menambah bidang sipil yang telah disepakati politik negara dapat diisi para prajurit aktif seperti Penanggulangan Bencana, Keamanan Laut dan Penanggulangan Terorisme. Bidang Koordinator bidang Kemaritiman dapat ditambahkan jika telah ditetapkan oleh keputusan politik negara.

Terma ‘keputusan politik negara’ menjadi penting karena ia menjadi katalisator atas terlibatnya—dan pelibatan—TNI di ranah sipil. Di tengah meluasnya batas-batas konsepsi keamanan, maka semua hal dapat masuk ke dalam ‘kotak keamanan’ melalui kerangka sekuritisasi, memungkinkan digunakannya cara-cara luar biasa atas nama keamanan yang acapkali disalahgunakan untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Sehingga perlu ditetapkan secara ketat dan jelas ‘indikator’ yang mampu menyaring institusi sipil mana saja yang dapat diduduki prajurit TNI aktif guna menjunjung supremasi sipil, tanpa sekadar bertolak dari definisi keamanan kekinian yang amat luas.

Namun, ‘keputusan politik negara’ tidak dapat dijadikan sebagai patokan kebenaran mutlak, karena justru disitulah berbagai kepentingan dari para pengambil kebijakan saling bertarung, utamanya dalam hal memajukan supremasi sipil. Jika sebuah negara—khususnya pasca-militerisme—dipimpin oleh pemimpin yang mempunyai visi supremasi sipil sampai jauh ke depan, maka pemerintahan sipil yang berdaulat akan tegak berdiri. Tetapi apabila negara tersebut dipimpin oleh orang sipil yang justru condong pada supremasi militer dan malah didukung segenap masyarakatnya, jelas bahwa supremasi sipil berada dalam ancaman. Oleh karena itu, selain kedewasaan dan komitmen yang kuat dalam memajukan supremasi sipil dari para pemimpin negara, Salim Said (2015) berargumen bahwa diperlukan karakter masyarakat yang solid, tidak terfragmentasi, dan mampu menemukan kesepakatan bersama tentang bagaimana mengelola negara. Masuk—dan dimasukannya—militer dalam kehidupan sipil secara masif merupakan bukti dari kondisi masyarakat yang terpecah-pecah, saling bertentangan, tak berdayanya kelas menengah dan civil society yang menuntun jalan pada terciptanya ‘praetorian society’. Dari titik itulah, dapat lahir ‘praetorian military’ yang siap merebut kendali pemerintahan sipil kapan saja.


Daftar Bacaan

Salim Said. 2015. “Mengundang Keterlibatan Angkatan Bersenjata: Catatan dari Mesir dan Thailand”, Prisma Vol. 24 (1): 98-118.

Soleman B. Ponto. “Status TNI di Pusaran Institusi Sipil”, Kompas, 04/02/2017.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar