"....Yang paling berat (pekerjaannya) itu Pak
Anies. Pak Anies itu Gubernur DKI, tapi ya (juga) Gubernur Indonesia”.
Pernyataan tersebut terlontar
dari mulut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo ketika memberikan sambutan dalam
pengukuhan kepengurusan Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia
(APPSI), awal Juli lalu di Jakarta. Kontan saja gelombang politisasi menyertai
pernyataan Tjahjo tersebut, ada yang melihat bahwa hal tersebut adalah pertanda
bahwa Anies dapat naik kelas ke posisi yang lebih tinggi dari sekedar Gubernur,
yakni Presiden. Ada pula yang melihat hal tersebut adalah ‘isyarat alam’ agar
partai oposisi yang selama ini mencari nama calon Presiden alternatif dapat
segara menetapkan nama Anies sebagai calon Presiden 2019. Dan hal tersebut
bukan yang pertama, dimana pada pertengahan Februari lalu pun Ketua Steering Committee Piala Presiden 2018
sekaligus politisi PDIP Maruarar Sirait sempat mengalami slip of tongue dengan menyebut Anies sebagai ‘Gubernur Indonesia’.
![]() |
Joko Widodo dan Anies Baswedan; Gubernur dan Mantan Gubernur (sumber: medan.tribunnews.com) |
Sejak kemarin malam, kita telah melihat perkembangan politik menjelang pendaftaran Capres-Cawapres 2019 yang sangat dinamis lagi ketat, dan muaranya justru bukan nama Anies yang keluar sebagai Capres ataupun Cawapres baik dari kubu petahana maupun oposisi, namun malah sang Wakil Gubernur, Sandiaga Uno yang dikabarkan akan menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto menjelang tenggat pendaftaran Capres-Cawapres yang akan ditutup besok Jumat (10/08). Jika Sandiaga terpilih sebagai Wakil Presiden, ia hanya perlu berpindah tempat kerja ke samping Balai Kota karena disanalah Istana Wakil Presiden berada.
Batu Loncatan?
Dalam beberapa tahun terakhir,
dinamika semacam ini telah jamak dilihat sebagai pola tertentu menuju kursi
kepresidenan ataupun karir politik nasional yang lebih mengkilap, ketika
jabatan Gubernur—dan juga Wakil Gubernur—dijadikan sebagai batu loncatan, dan hal
tersebut sangat kentara terlihat ketika Joko Widodo menjadi Gubernur DKI
Jakarta. Sebelum bertarung dalam medan Pilgub DKI Jakarta 2012, publik hanya
mengenal dirinya sebagai Walikota Surakarta yang berhasil merebut simpati
masyarakat lokal atas gebrakan inovatif yang ia buat, namun setelah dirinya
menjadi Gubernur DKI Jakarta berduet dengan Basuki Tjahaja Purnama, namanya tak
hanya dikenal warga ibukota tetapi menyebar sampai ke seluruh Indonesia
khususnya berkat metode ‘Blusukan’ yang ia populerkan untuk menjaring aspirasi
masyarakat serta melihat kondisi langsung di lapangan. Pada akhirnya, tak sulit
bagi Jokowi untuk mendapat tiket pencalonan Presiden berkat popularitas yang ia
rengkuh dengan mengandalkan citra sederhana dan merakyat yang melekat pada
dirinya.
Sebagai pusat pemerintahan
negara, segala bentuk dinamika politik nasional berputar di ibukota, ia menjadi
penjelmaan modern dari konsep ‘polis’
yang telah berkembang sejak masa Yunani Kuno. Dalam kasus DKI Jakarta,
posisinya menjadi semakin kuat berkat beberapa ‘keunggulan’, antara lain karena
sebagai ibukota negara, Jakarta memiliki posisi administratif yang lebih tinggi
dari daerah lain dilihat dari gelar yang ia sandang—Daerah Khusus Ibukota
(DKI). Jakarta juga menjadi cermin multikulturalisme karena ia dihuni bukan hanya
oleh warga asli Jakarta tetapi juga masyarakat dari berbagai daerah di seluruh
Indonesia. Di samping itu, tingkat kompleksitas permasalahan sosial yang
diemban Jakarta jelas lebih tinggi dari wilayah lain mulai dari kemiskinan,
kriminalitas, sampai penataan kota sehingga wajar saja banyak yang melihat
kursi DKI-1 merupakan fire test
menuju jabatan publik yang lebih tinggi.
![]() |
Istana Merdeka; hanya berjarak 4 km dari Balai Kota DKI Jakarta (sumber: poskotanews.com) |
Kasus tersebut sebetulnya
tidak hanya terjadi di Indonesia, beberapa negara juga mengalami hal serupa. Di
Mexico, Presiden Enrique Pena Nieto menapaki kursi kepresidenan dari posisi
Gubernur Negara Bagian Mexico (State of
Mexico) dengan Mexico City sebagai ibukota negara bagian sekaligus ibukota
negara. Di Korea Selatan, Presiden Lee Myung-bak (2008-2013) mengikuti
pertarungan menuju kursi Presiden setelah ia purna tugas menjadi Walikota Seoul—ibukota
Korea Selatan—dan ia menang. Selain itu, Presiden Prancis Jacques Chirac
(1995-2007) berhasil memenangkan pemilihan Presiden Prancis di tahun 1995
setelah ia mengabdi menjadi Walikota Paris selama 18 tahun.
Instabilitas
Tetapi sesungguhnya,
menjadikan jabatan publik di ibukota sebagai batu loncatan, apalagi ketika sang
pejabat publik belum genap menyelesaikan pengabdiannya secara penuh sesuai masa
jabatan yang dia emban sangatlah berbahaya karena berkaitan dengan kestabilan
pembangunan dan roda pemerintahan ibukota itu sendiri. Beberapa kebijakan yang
telah dirumuskan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama justru mandeg ketika
kepemimpinan ibukota beralih tangan, bahkan ketika posisi Gubernur dipegang
oleh Basuki yang notabene merupakan wakil Jokowi, seperti pembangunan Kampung
Deret di beberapa titik perkampungan Jakarta. Ketika duet Anies
Baswedan-Sandiaga Uno mendapat amanat untuk memimpin ibukota, pembangunan Ruang
Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang semula jor-joran dibangun ketika
kepemimpinan Gubernur Basuki dan dilanjutkan oleh Gubernur Djarot Syaiful Hidayat
pada akhirnya macet, meskipun muncul pemikiran akan merubah konsep RPTRA
menjadi lebih compact. Dan masih
banyak lagi jejak ‘ketidakstabilan’ pembangunan di DKI Jakarta, karena jika
dilihat dalam waktu 5 tahun (2012-2017), Jakarta telah mempunyai 4 Gubernur:
Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Djarot Syaiful Hidayat dan Anies Baswedan.
Masyarakat Jakarta tentunya
menginginkan pemimpin yang ia pilih akan tetap mengabdi secara penuh sampai
masa jabatannya berakhir. Besarnya ongkos politik yang telah dikeluarkan untuk
menyelenggarakan Pemilihan Gubernur akan terbuang sia-sia jika sang pemimpin
tidak berkomitmen atas mandat yang telah diberikan masyarakat kepadanya. Ketika
Mayor Jenderal (KKO) Ali Sadikin dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 28
April 1966, Presiden Soekarno berucap bahwa seorang walikota—pemimpin kota—janganlah
hanya orang yang mengerti bestuurvoering
(pelaksanaan pemerintah), melainkan orang yang tahu ‘membuat kotanya itu bersih
dari sampah’. Secara gamblang Bung Karno menekankan pada pentingnya fungsi urban management yang rasional dalam urban good governance, ketimbang hanya ‘main-main’
politik semata (Marco Kusumawijaya, 2004).
Jika 5 tahun mendatang Jakarta
diimpikan sebagai tempat yang maju dan warganya bahagia, tiada prasyarat lain
yang dibutuhkan selain komitmen politik dari pemimpinnya untuk sepenuh hati
mencurahkan pengabdian demi pembangunan DKI Jakarta.