Kamis, 09 Agustus 2018

Pilpres dan Politik Ibukota


"....Yang paling berat (pekerjaannya) itu Pak Anies. Pak Anies itu Gubernur DKI, tapi ya (juga) Gubernur Indonesia”.

Pernyataan tersebut terlontar dari mulut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo ketika memberikan sambutan dalam pengukuhan kepengurusan Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), awal Juli lalu di Jakarta. Kontan saja gelombang politisasi menyertai pernyataan Tjahjo tersebut, ada yang melihat bahwa hal tersebut adalah pertanda bahwa Anies dapat naik kelas ke posisi yang lebih tinggi dari sekedar Gubernur, yakni Presiden. Ada pula yang melihat hal tersebut adalah ‘isyarat alam’ agar partai oposisi yang selama ini mencari nama calon Presiden alternatif dapat segara menetapkan nama Anies sebagai calon Presiden 2019. Dan hal tersebut bukan yang pertama, dimana pada pertengahan Februari lalu pun Ketua Steering Committee Piala Presiden 2018 sekaligus politisi PDIP Maruarar Sirait sempat mengalami slip of tongue dengan menyebut Anies sebagai ‘Gubernur Indonesia’.

Joko Widodo dan Anies Baswedan; Gubernur dan Mantan Gubernur
(sumber: medan.tribunnews.com)

Sejak kemarin malam, kita telah melihat perkembangan politik menjelang pendaftaran Capres-Cawapres 2019 yang sangat dinamis lagi ketat, dan muaranya justru bukan nama Anies yang keluar sebagai Capres ataupun Cawapres baik dari kubu petahana maupun oposisi, namun malah sang Wakil Gubernur, Sandiaga Uno yang dikabarkan akan menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto menjelang tenggat pendaftaran Capres-Cawapres yang akan ditutup besok Jumat (10/08). Jika Sandiaga terpilih sebagai Wakil Presiden, ia hanya perlu berpindah tempat kerja ke samping Balai Kota karena disanalah Istana Wakil Presiden berada. 

Batu Loncatan?

Dalam beberapa tahun terakhir, dinamika semacam ini telah jamak dilihat sebagai pola tertentu menuju kursi kepresidenan ataupun karir politik nasional yang lebih mengkilap, ketika jabatan Gubernur—dan juga Wakil Gubernur—dijadikan sebagai batu loncatan, dan hal tersebut sangat kentara terlihat ketika Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sebelum bertarung dalam medan Pilgub DKI Jakarta 2012, publik hanya mengenal dirinya sebagai Walikota Surakarta yang berhasil merebut simpati masyarakat lokal atas gebrakan inovatif yang ia buat, namun setelah dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta berduet dengan Basuki Tjahaja Purnama, namanya tak hanya dikenal warga ibukota tetapi menyebar sampai ke seluruh Indonesia khususnya berkat metode ‘Blusukan’ yang ia populerkan untuk menjaring aspirasi masyarakat serta melihat kondisi langsung di lapangan. Pada akhirnya, tak sulit bagi Jokowi untuk mendapat tiket pencalonan Presiden berkat popularitas yang ia rengkuh dengan mengandalkan citra sederhana dan merakyat yang melekat pada dirinya.

Sebagai pusat pemerintahan negara, segala bentuk dinamika politik nasional berputar di ibukota, ia menjadi penjelmaan modern dari konsep ‘polis’ yang telah berkembang sejak masa Yunani Kuno. Dalam kasus DKI Jakarta, posisinya menjadi semakin kuat berkat beberapa ‘keunggulan’, antara lain karena sebagai ibukota negara, Jakarta memiliki posisi administratif yang lebih tinggi dari daerah lain dilihat dari gelar yang ia sandang—Daerah Khusus Ibukota (DKI). Jakarta juga menjadi cermin multikulturalisme karena ia dihuni bukan hanya oleh warga asli Jakarta tetapi juga masyarakat dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Di samping itu, tingkat kompleksitas permasalahan sosial yang diemban Jakarta jelas lebih tinggi dari wilayah lain mulai dari kemiskinan, kriminalitas, sampai penataan kota sehingga wajar saja banyak yang melihat kursi DKI-1 merupakan fire test menuju jabatan publik yang lebih tinggi.

Istana Merdeka; hanya berjarak 4 km dari Balai Kota DKI Jakarta
(sumber: poskotanews.com)

Kasus tersebut sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia, beberapa negara juga mengalami hal serupa. Di Mexico, Presiden Enrique Pena Nieto menapaki kursi kepresidenan dari posisi Gubernur Negara Bagian Mexico (State of Mexico) dengan Mexico City sebagai ibukota negara bagian sekaligus ibukota negara. Di Korea Selatan, Presiden Lee Myung-bak (2008-2013) mengikuti pertarungan menuju kursi Presiden setelah ia purna tugas menjadi Walikota Seoul—ibukota Korea Selatan—dan ia menang. Selain itu, Presiden Prancis Jacques Chirac (1995-2007) berhasil memenangkan pemilihan Presiden Prancis di tahun 1995 setelah ia mengabdi menjadi Walikota Paris selama 18 tahun.

Instabilitas

Tetapi sesungguhnya, menjadikan jabatan publik di ibukota sebagai batu loncatan, apalagi ketika sang pejabat publik belum genap menyelesaikan pengabdiannya secara penuh sesuai masa jabatan yang dia emban sangatlah berbahaya karena berkaitan dengan kestabilan pembangunan dan roda pemerintahan ibukota itu sendiri. Beberapa kebijakan yang telah dirumuskan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama justru mandeg ketika kepemimpinan ibukota beralih tangan, bahkan ketika posisi Gubernur dipegang oleh Basuki yang notabene merupakan wakil Jokowi, seperti pembangunan Kampung Deret di beberapa titik perkampungan Jakarta. Ketika duet Anies Baswedan-Sandiaga Uno mendapat amanat untuk memimpin ibukota, pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang semula jor-joran dibangun ketika kepemimpinan Gubernur Basuki dan dilanjutkan oleh Gubernur Djarot Syaiful Hidayat pada akhirnya macet, meskipun muncul pemikiran akan merubah konsep RPTRA menjadi lebih compact. Dan masih banyak lagi jejak ‘ketidakstabilan’ pembangunan di DKI Jakarta, karena jika dilihat dalam waktu 5 tahun (2012-2017), Jakarta telah mempunyai 4 Gubernur: Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Djarot Syaiful Hidayat dan Anies Baswedan.

Masyarakat Jakarta tentunya menginginkan pemimpin yang ia pilih akan tetap mengabdi secara penuh sampai masa jabatannya berakhir. Besarnya ongkos politik yang telah dikeluarkan untuk menyelenggarakan Pemilihan Gubernur akan terbuang sia-sia jika sang pemimpin tidak berkomitmen atas mandat yang telah diberikan masyarakat kepadanya. Ketika Mayor Jenderal (KKO) Ali Sadikin dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 28 April 1966, Presiden Soekarno berucap bahwa seorang walikota—pemimpin kota—janganlah hanya orang yang mengerti bestuurvoering (pelaksanaan pemerintah), melainkan orang yang tahu ‘membuat kotanya itu bersih dari sampah’. Secara gamblang Bung Karno menekankan pada pentingnya fungsi urban management yang rasional dalam urban good governance, ketimbang hanya ‘main-main’ politik semata (Marco Kusumawijaya, 2004).

Jika 5 tahun mendatang Jakarta diimpikan sebagai tempat yang maju dan warganya bahagia, tiada prasyarat lain yang dibutuhkan selain komitmen politik dari pemimpinnya untuk sepenuh hati mencurahkan pengabdian demi pembangunan DKI Jakarta.


Jumat, 03 Agustus 2018

Karpet Merah Untuk Andika


Di tengah hingar-bingar isu perpolitikan nasional yang saban hari menghiasi pemberitaan cetak maupun daring, kabar datang dari kesenyapan Markas Besar TNI: Komandan Kodiklat TNI-AD Letjen Andika Perkasa diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis TNI-AD (Pangkostrad) menggantikan Letjen Agus Kriswanto yang telah memasuki masa pensiun. Bagi yang mengikuti karir dan latar belakang Andika, kabar ini jelas bukan sesuatu yang mengagetkan, bahkan posisi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sudah diproyeksikan sejak jauh hari akan jatuh pada dirinya.

Serah terima jabatan Komandan Paspampres kepada Mayjen TNI Andika Perkasa, 2014
(sindonews.net)

Di angkatannya, bersama dengan Letjen M. Herindra (Irjen TNI, Adhi Makayasa 1987), Andika dianggap sebagai bintang terang yang akan menduduki pos-pos pimpinan militer di masa depan, dan hal tersebut semakin mendekati kenyataan ketika Joko Widodo terpilih sebagai Presiden di tahun 2014.

Sebelum 2014, Andika dalam pangkat Brigjen menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI-AD, ‘juru terang’ yang mungkin bagi sebagian kalangan bukanlah posisi yang strategis, namun setelah Joko Widodo dilantik sebagai Presiden, perlahan karpet merah dibentangkan untuk Andika. Mula-mula pada posisi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) menggantikan Mayjen Doni Monardo yang berkonsekuensi pada kenaikan pangkat Andika menjadi Mayor Jenderal. Selang 2 tahun (2016), ia dimutasi ke Kalimantan Barat menjabat sebagai Panglima Kodam XII/Tanjungpura, dan 2 tahun kemudian (2018) ia kembali mendapat promosi sebagai Komandan Komando Pendidikan dan Latihan TNI-AD dengan pangkat bintang 3 di pundaknya. Namun tak genap 6 bulan, ia akhirnya dimutasi ke Jakarta sebagai Pangkostrad. 

Jika melihat tradisi yang selama ini berkembang, posisi Pangkostrad ibarat halaman depan sebelum masuk ke dalam sebuah rumah bernama Kepala Staf Angkatan Darat. Nama-nama seperti Wismoyo Arismunandar, Wiranto, Ryamizard Ryacudu, George Toisutta, Pramono Edhie Wibowo, Gatot Nurmantyo sampai Mulyono sebelumnya pernah menjabat sebagai Pangkostrad dan kemudian diangkat sebagai KSAD sehingga cukup beralasan jika Andika digadang-gadang akan menduduki kursi TNI-AD 1 tak lama lagi.

Tetapi kemudian, segala pencapaian karir tersebut sulit apabila tidak dikaitkan dengan sosok sang mertua, Jenderal (Purn) A.M. Hendropriyono yang memiliki peran vital dalam pemerintahan dan kemiliteran sejak era Orde Baru sampai saat ini. Ketika Hendro masih menjabat sebagai Kepala BIN (2001-2004), Andika yang saat itu menjabat sebagai Komandan Tim 3 Satuan Penanggulangan Teror (Sat-Gultor) 81 Kopassus diperbantukan di bawah institusi sang mertua untuk menangkap Umar Al-Faruq pada tahun 2002, terduga kasus terorisme yang dituding terlibat dalam kasus Bom Natal 2000 dan berencana membunuh Presiden Megawati Soekarnoputri, sebuah praktek janggal karena seharusnya institusi intelijen hanya bertugas mengumpulkan informasi, bukan justru menangkapi orang. Terpilihnya Andika sebagai Danpaspampres pun menimbulkan pertanyaan karena di samping masih terlalu muda dari segi angkatan (1987), ia pun baru memegang 1 jabatan selama berpangkat Brigadir Jenderal, padahal idealnya sebelum dipromosikan ke posisi sestrategis Danpaspampres, orang tersebut harus beberapa kali memegang jabatan setingkat yang lagi-lagi menyeret nama Hendro sebagai faktor yang memungkinkan hal tersebut terjadi.

Peluang

Jika kita lihat, KSAD Jenderal Mulyono akan memasuki masa pensiun pada Januari 2019 dan disaat tersebut—apabila tidak ada perubahan—TNI-AD telah memiliki beberapa jenderal bintang 3 yang memiliki kans untuk diangkat sebagai KSAD baru, antara lain Irjen Kementerian Pertahanan Letjen Thamrin Marzuki, Staf Khusus KSAD Letjen Ediwan Prabowo (1984), Sesjen Wantannas Letjen Doni Monardo, Staf Khusus Panglima TNI Letjen Dodik Wijanarko (1985), Wakil KSAD Letjen Tatang Sulaiman (1986), Irjen TNI Letjen M. Herindra, Dankodiklat TNI-AD Letjen Anto Mukti Putranto, dan Pangkostrad Letjen Andika Perkasa (1987). Apabila diperhatikan lebih jauh, hanya nama Letjen Doni Monardo, Herindra, AM Putranto, dan Andika yang memiliki kans lebih besar. Thamrin Marzuki terkendala umur karena di tahun 2019 ia akan masuk masa pensiun, karir Ediwan Prabowo sendiri sudah saya singgung sebelumnya (Ajudan Presiden dan Politik Istana), sedangkan Dodik Wijanarko berasal dari Corps Polisi Militer (CPM) yang tak lazim diangkat menjadi KSAD. Tatang Sulaiman sendiri meskipun saat ini menjabat sebagai Wakil KSAD yang dalam beberapa kasus menjadi ‘jalan tol’ menuju posisi KSAD, di tahun 2019 umurnya akan masuk 57 tahun—setahun menuju akhir masa pengabdian—sehingga sulit bagi dirinya jika diangkat sebagai KSAD untuk melakukan gerak perubahan di masa jabatan yang amat pendek.

Nah, dari keempat nama yang telah disaring, akan didapat nama Herindra dan Andika yang menduduki posisi puncak. Mengapa 2 nama lainnya terdepak? Pertama, meskipun nama Doni Monardo sempat diisukan menjadi kandidat kuat calon KSAD, namun setelah ia dipromosikan menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Sesjen Wantannas) banyak yang percaya Doni justru sedang ‘ditendang ke atas’ dan akan menghabiskan sisa masa baktinya disana, apalagi jika melihat perjalanan para Sesjen terdahulu, kecemerlangan karir mereka berakhir di Wantannas sehingga banyak kalangan menilai bahwa tipis kemungkinan bagi Doni untuk diangkat menjadi KSAD meskipun tidak tertutup sama sekali (selanjutnya dapat dibaca dalam Ujung Karir Kemiliteran Bernama Setjen Wantannas). Kedua, AM Putranto bersama dengan Herindra dan Andika berasal dari angkatan yang sama di Akmil (1987), dan jika membandingkan—tanpa mengurangi rasa hormat—‘keunggulan kompetitif’ dari mereka masing-masing, Putranto akan berada di urutan buncit, disusul dengan Herindra di tempat kedua dan Andika di posisi pertama.  

Andika Perkasa semasa Pangdam XII/Tanjungpura menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo
(nusantaranews.co)

Penjelasannya kira-kira seperti ini: Meskipun Herindra merupakan peraih penghargaan Adhi Makayasa sekaligus Tri Sakti Wiratama di angkatannya, pemegang 2 gelar master dari The George Washington University dan National Defense University, Amerika Serikat dan kenyang pengalaman tour of duty, Herindra tidak mempunyai satu determinan penting yang membuatnya memiliki keunggulan lebih, yakni kedekatan dengan pusat kekuatan politik yang secara gamblang dimiliki oleh Andika. Mempunyai hubungan kekerabatan dengan pensiunan Jenderal yang masih memiliki pengaruh yang amat besar di negeri ini yang kemudian menariknya ke dalam pusaran kekuasaan negara menjadi ‘aset’ penting Andika, tanpa itu, tak mungkin karirnya secemerlang sekarang. Tetapi Ia juga merupakan alumni terbaik Seskoad 1999/2000 sekaligus penyandang 3 gelar master (Norwich University, National Defense University, Harvard University) dan doktor (The George Washington University) yang salah satunya menjadi alasan mengapa Andika diposisikan di urutan teratas. Putranto sendiri menduduki urutan terakhir karena ia hanya memenuhi determinan ‘kenyang pengalaman lapangan’; Ia bukan alumni terbaik di Akademi maupun di pendidikan lanjutan, tidak merepresentasikan kelompok intelektual militer, dan tidak dianggap dekat dengan pusaran kekuatan politik nasional.

Tantangan Ke Depan

Jika memang benar Andika yang ditunjuk sebagai KSAD pada Januari tahun depan, setidaknya ada 2 tantangan strategis yang harus dipecahkan. Pertama ialah menjamin netralitas TNI-AD dalam menghadapi Pemilihan Umum 2019, dimana Andika harus benar-benar menjamin bahwa dirinya—dan institusi yang dipimpinnya—bebas dari segala pengaruh politik praktis. Tentunya hal ini menjadi tantangan besar karena selama ini Andika diasosiasikan dekat Presiden Joko Widodo yang dipastikan akan kembali bertarung pada Pemilihan Presiden 2019. Jika terpilih sebagai KSAD, ia harus mampu melepaskan diri dari stigma yang menempel tersebut. Desas-desus yang sering terdengar bahwa Bintara Pembina Desa (Babinsa) acapkali meminta masyarakat untuk mendukung salah satu calon tertentu dalam pemilihan umum harus ditanggapi secara serius oleh KSAD baru agar tak menjadi bola liar yang akan menjadi bumerang bagi institusi TNI-AD.

Kedua, membangun postur pertahanan—kekuatan, gelar pasukan, dan kemampuan prajurit—yang tangguh untuk menjawab ketidak-stabilan global yang semakin meningkatkan probabilitas perang, yang mana ketika tercipta postur yang tangguh tersebut Indonesia dapat memainkan peran pengimbang (balancer) dalam kompetisi global antara Tiongkok, Amerika Serikat, dan juga India (Andi Widjajanto, 2017). Namun sekali lagi, hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan di samping karena masih kuatnya pendekatan perang tradisional yang hanya berfokus pada pengembangan ‘core competency’ TNI-AD seperti perang gerilya atau perang hutan (selanjutnya dapat dibawa dalam Perang Semesta Bukan "Perang Bersama Rakyat"), industri pertahanan yang semestinya menyokong pembangunan postur ideal tersebut belum mampu berdiri sendiri dan hanya memanfaatkan keuntungan dari rezim pasar konsumen tanpa secara maksimal menggali transfer teknologi dari tiap pembelian alutsista.

Maka dari itu, penting bagi Andika untuk mengawal penyelarasan Doktrin Kartika Eka Paksi agar sesuai dengan lingkungan stratejik yang sangat dinamis, yang mana kuatnya latar belakang akademik yang dimiliki Andika dapat memudahkan pelaksanaan agenda tersebut. Selain itu, optimalisasi mekanisme transfer teknologi beserta kerjasama industri pertahanan seperti co-production, joint production atau license (Andi Widjajanto, 2017) wajib dilakukan oleh industri pertahanan utamanya PT. Pindad (Persero) dan PT. Dirgantara Indonesia (Persero) yang sejak lama menjadi rekanan TNI-AD dalam mengembangkan kemandirian alutsista di 6 kecabangan (Infanteri, Kavaleri, Armed, Arhanud, Zeni, Penerbad). Di sisi internal, penguatan fungsi penelitian dan pengembangan (litbang) TNI-AD mutlak diperlukan dengan melakukan 3 langkah strategis, yakni (1) validasi struktur organisasi litbang TNI-AD yang selama ini terpecah; (2) manajemen sumber daya manusia litbang mulai dari proses rekrutmen, pendidikan lanjutan dan jaminan kesejahteraan; dan (3) pembangunan budaya organisasi litbang seperti budaya berpikir serta belajar dengan menjunjung tinggi moral (Rudiono Edi, 2017).

Pada akhirnya, karpet merah memang sudah tergelar di hadapan Andika. Hanya Presiden Joko Widodo-lah yang memiliki mandat untuk mempersilahkan Andika menapaki karpet tersebut atau tidak. 

Selasa, 10 April 2018

Perang Semesta Bukan ‘Perang Bersama Rakyat’


Pada pertengahan tahun 1991, setelah Perang Teluk Januari-April 1991 berakhir, surat kabar Kompas memuat ulasan saya bahwa RRC memutuskan untuk mengubah strategi dan doktrin ‘Perang Rakyat’ menjadi yang lebih mengutamakan modernisasi teknologi perang, termasuk teknologi komando dan kendali. Perang Teluk 1991 telah menggugah pimpinan Tentara Pembebasan Rakyat RRC bahwa dominasi teknologi persenjataan Amerika Serikat dapat melumpuhkan kemampuan tentara negara berkembang dalam sekejap akibat kemajuan pesat dalam bidang apa yang dikenal kemudian sebagai Revolusi Kemiliteran.

Dalam ulasan itu saya menganjurkan Indonesia pun mulai mengedepankan teknologi militer modern meski semangat tetap berpegang pada doktrin perang rakyat semesta. Ulasan itu mendapat tanggapan dan kritik pedas dari sejumlah perwira tinggi TNI aktif waktu itu, yang menyayangkan pandangan seakan-akan saya meremehkan doktrin perang rakyat semesta” (Sudarsono, 2009).

Kutipan tulisan mantan Menteri Pertahanan Prof. Juwono Sudarsono di atas tersebut memang benar-benar terjadi, di masa ketika doktrin ‘Perang Rakyat Semesta’ bersama dengan konsep ‘Kemanunggalan ABRI-Masyarakat’ sedang diagung-agungkan oleh para insan militer kita seperti halnya sebuah kitab suci yang mesti dihafal secara benar lagi tuntas, sehingga tak heran banyak Jenderal ABRI yang merasa gusar mendengarkan anjuran yang sesungguhnya bersifat akademis tersebut. Pun jangan dilupakan bahwa meskipun tongkat kepemimpinan ABRI saat itu telah dipegang oleh ‘generasi peralihan’ menuju estafet ke ‘generasi muda’ yang tidak merasakan langsung implementasi doktrin ‘Perang Rakyat Semesta’ yang mewujud dalam perang gerilya pada periode 1945-1949, tetapi campur tangan para generasi ’45—walaupun semuanya telah tuntas mengabdi di dinas kemiliteran—tetap terjadi dalam kerangka ‘senior-yunior’; senior menasehati, yunior menaati. Nasehat yang diberikan pun pasti takkan jauh dari pengalaman yang mereka alami saat palagan perang kemerdekaan, termasuk pengalaman nyata bekerjanya doktrin dan konsep di atas. Dalam hal ini, yunior tak bisa melakukan apapun selain menaati, mengikuti, sekaligus melestarikan apa yang sudah ada.

Kini, setelah hampir 20 tahun Orde Baru runtuh dan Indonesia sedang menjalani era transformasi pertahanan yang menekankan pada perubahan mendasar dalam doktrin, personel, organisasi, pelatihan dan pendidikan, logistik, dan peran yang disokong oleh perubahan teknologi (Laksmana, 2010), apakah doktrin ‘Perang Rakyat Semesta’ masih tetap relevan untuk dianut?

People’s War ≠ Total Defense

Dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dijabarkan bahwa Sistem Pertahanan Negara merupakan sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, berkesinambungan, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman. Dalam pasal tersebut, karena adanya frasa “melibatkan seluruh warga negara” maka sistem pertahanan yang bersifat semesta (sishanta) yang merupakan operasionalisasi dari konsep Total Defense ini kerap disamakan dengan ‘perang bersama rakyat’ yang merupakan perwujudan dari People’s War, padahal kedua hal tersebut sangat berbeda. Kolonel—kini Brigjen—Joko Putranto menjelaskan secara gamblang perbedaan konsep tersebut dalam tulisannya yang berjudul “Perang Rakyat Versus Perang Semesta” (2016) yang akan dikupas di bawah ini.

Dalam konsep People’s War, perang yang berjalan mengaburkan status combatant yang dimiliki militer dan non-combatant yang dipegang oleh masyarakat, dimana semua orang dapat menjadi sasaran untuk diserang. Seperti halnya ketika Perang Kemerdekaan 1945-1949, masyarakat dan tentara saling bahu-membahu menjalankan perang yang berlarut tanpa adanya kejelasan tentang rules of the game dan mekanisme peralihan dari non-combatant menjadi combatant dalam kerangka perang gerilya. Sedangkan Total Defense seharusnya dimaknai sebagai bagaimana cara negera menghadapi ancaman, khususnya dari luar, dengan mensyaratkan integrasi antarkomponen utama dan cadangan serta komponen bangsa lain, yang mengatur pula mekanisme peralihan non-combatant menjadi combatant dalam suatu regulasi khusus serta menjunjung tinggi rules of the game berupa Konvensi Jenewa beserta Protokol Tambahannya.

Sehingga dalam hal ini, mengartikan ‘kesemestaan’ dalam Total Defense sebagai keikutsertaan rakyat dalam pembelaan negara secara langsung semasih dalam wujud sipil (non-combatant) merupakan sebuah langkah yang salah, utamanya karena melanggar Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya yang mensyaratkan adanya pemberian status non-combatant immunity kepada sipil untuk dilindungi dalam perang konvensional. Apalagi Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa pada tahun 1958—9 tahun setelah Konvensi tersebut disahkan pada 1949—yang disusul dengan ratifikasi Protokol Tambahannya, yang berimplikasi pada dihilangkannya istilah ‘perang bersama rakyat’ dalam berbagai dokumen yang membahas tentang Sishanta.

Namun apa yang terjadi, karena faktor—atau dapat pula dikatakan sebagai ‘beban’—sejarah, ‘perang bersama rakyat’ tetap ada bahkan terus dilestarikan oleh generasi militer pasca-1945. Kenangan akan keberhasilan perang gerilya dalam mengusir penjajah dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949 menjadi basis justifikasi terus bercokolnya doktrin People’s War dalam berbagai dokumen dan pengajaran kemiliteran Indonesia. Padahal jika ditelaah lebih jauh, A.H Nasution dalam “Pokok-Pokok Gerilya” menyatakan bahwa perang gerilya ditujukan hanya untuk memeras darah musuh, bukan untuk membawa kemenangan terakhir yang hanya akan bisa dicapai oleh tentara yang teratur dalam perang konvensional (Putranto, 2016). ‘Perang bersama rakyat’ juga kemudian menjadi apologi yang biasa digunakan pemerintah untuk menutupi kekurangmampuannya dalam melakukan pembangunan kekuatan militer dan modernisasi sistem kesenjataan yang menjadikan pemerintah mengandalkan potensi masyarakat untuk dapat digunakan kapan saja apabila pecah perang, tanpa adanya mekanisme yang ketat tentang peralihan status non-combatant menjadi combatant. Lihat saja salah satu tulisan mantan Wakil KSAD Kiki Syahnakri di bawah ini :

Namun pada intinya Sishanrata dilatari oleh konsep “Perang Rakyat” sebagai pilihan yang paling realistis dengan merujuk pada kendala anggaran yang sangat terbatas sehingga kita masih jauh dari kemampuan menciptakan kekuatan pertahanan yang tangguh dan handal (yang berbasiskan sistem senjata teknologi)” (Syahnakri, 2008).

Maka dalam hemat saya, sungguh tidak benar untuk ‘mengorbankan’ rakyat agar selalu siap sedia diterjunkan saat perang terjadi. Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN) pun sampai saat ini masih menggantung dalam pembahasan internal di lingkaran Kementerian Pertahanan sebagai leading sector (tribunnews.com, 2018) meskipun batang tubuhnya telah digodok sejak Maret 2003 (hukumonline.com, 2009), sehingga sebelum berbicara tentang mobilisasi masyarakat sebagai combatant, pembahasan RUU KCPN harus segera dituntaskan, tentunya tanpa melupakan prinsip HAM—yang salah satunya dapat mengatur warga negara untuk menolak terlibat dalam upaya wajib militer—sebagai dasar dari segala pengaturan komponen cadangan tersebut.



Daftar Bacaan

Laksmana, Evan A. 2010. “Dari ‘Reformasi Militer’ Menuju ‘Transformasi Pertahanan’: Tantangan dan Prospek ke Depan”, Indonesian Review RSK & Media Vol I: 1-12.

Putranto, Joko. 2016. ‘Perang Rakyat Versus Perang Semesta’, dalam Iswandi Syahputra (ed), Perang Semesta: Dalam Kajian Budaya dan Media. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Sudarsono, Juwono. 2009. ‘SBY, Tentara dan Demokrasi’, dalam Dino Patti Djalal (ed), Energi Positif: Opini 100 Tokoh Mengenai Indonesia di Era SBY. Jakarta: Red & White Publishing.

Syahnakri, Kiki. 2008. Aku Hanya Tentara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Hukum Onlline. 2009. “RUU Komponen Cadangan Abaikan Prinsip HAM”, 20 Februari (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21252/ruu-komponen-cadangan-abaikan-prinsip-ham), diakses 11 April 2018.

Tribun News. 2018. “Perombakan Internal TNI dan RUU Komcad Jadi Pembahasan di Rapim Kemenhan”, 11 Januari (http://www.tribunnews.com/amp/nasional/2018/01/11/perombakan-internal-tni-dan-ruu-komcad-jadi-pembahasan-di-rapim-kemenhan), diakses 11 April 2018.

Kamis, 22 Maret 2018

Ujung Karir Kemiliteran Bernama Setjen Wantannas


Bulan ke-3 di tahun 2018 ini dapat dikatakan sebagai bulan mutasi dan promosi bagi TNI—utamanya TNI Angkatan Darat, karena tidak kurang 2 lusin perwira tinggi masuk dalam gerbong tersebut, yang mana turut serta beberapa nama yang kerap disebut-sebut sebagai calon pemimpin matra darat, seperti Perwira Staf Ahli Tk. III Bid. Hubungan Internasional Panglima TNI Mayjen Herindra yang dipromosikan sebagai Inspektur Jenderal TNI, dan Pangdam III/Siliwangi Mayjen Doni Monardo sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas). “Rising star” lainnya seperti Mayjen Andika Perkasa telah terlebih dahulu dipromosikan dari pos lamanya yakni Pangdam XII/Tanjungpura ke jabatan Komandan Kodiklat TNI pada bulan Januari lalu. Dengan promosi tersebut, mereka berhak menyandang 3 bintang di pundaknya.

Doni Monardo
(Sumber: Wikipedia Bahasa Indonesia)
Jika diperhatikan, di antara ke-3 perwira tinggi tersebut Doni berasal dari lichting tertua, yakni 1985, sedangkan Herindra dan Andika berasal dari angkatan yang sama di Akademi Militer, yakni angkatan 1987, bahkan Herindra menyandang penghargaan Adhi Makayasa di angkatannya—bersama dengan Jenderal Pol M. Tito Karnavian yang meraih Adhi Makayasa Akpol 1987. Analisis angkatan ini penting untuk membuktikan tesis yang diajukan banyak pengamat, bahwasanya kepemimpinan TNI di masa depan akan dipegang oleh mereka yang berasal dari angkatan 1986-1987, yang secara perlahan mulai terbukti kebenarannya ketika Presiden Joko Widodo mengangkat Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI dan Marsekal Yuyu Sutisna sebagai Kepala Staf Angkatan Udara yang sama-sama berasal dari angkatan 1986, sehingga peluang Herindra serta Andika untuk menduduki pos Kepala Staf Angkatan Darat yang akan ditinggal oleh Jenderal Mulyono pada Januari 2019 sangatlah besar. Pertanyaannya, bagaimana prospek karir Doni sebagai Sesjen Wantannas?

Jika disetarakan dengan jabatan eselon pemerintahan, posisi Sesjen Wantannas merupakan jabatan eselon I.a. yang setara dengan pos Sekretaris Jenderal di sebuah kementerian atau lembaga negara, sebuah posisi yang menjadi rebutan para pejabat karir. Sekretariat Jenderal Wantannas sendiri mengemban fungsi yang sangat penting, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 1999 tentang Dewan Ketahanan Nasional dan Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional, yakni “(a) perumusan rancangan ketetapan kebijakan dan strategi nasional dalam rangka pembinaan ketahanan nasional; (b) perumusan rancangan ketetapan kebijakan dan strategi nasional dalam rangka menjamin keselamatan bangsa dan negara dari ancaman terhadap kedaulatan, persatuan, kesatuan, kelangsungan hidup bangsa dan negara; dan (c) penyusunan perkiraan resiko pembangunan nasional yang dihadapi dalam kurun waktu tertentu dan rancangan ketetapan kebijakan dan strategi nasional dalam rangka merehabilitasi akibat resiko pembangunan”. Mengikuti model National Security Council di Amerika Serikat, Setjen Wantannas merupakan pelaksana tugas sehari-hari dari Wantannas yang langsung diketuai sendiri oleh Presiden dan dianggotai para pejabat lintas-sektor, antara lain yang membidangi urusan Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Perekonomian, Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kepala Badan Intelijen Negara.

Melihat ‘job-desk’ tersebut, posisi Sesjen Wantannas dapat dikatakan sangat strategis karena berkaitan dengan pembangunan dan pembinaan ketahanan—serta keamanan—nasional. Namun kenyataannya, gaung keberadaan Setjen Wantannas sendiri tak pernah terdengar jauh, entah karena fungsinya yang penuh dengan pertimbangan kerahasiaan, atau memang karena fungsi yang ada telah dijalankan oleh lembaga lain, seperti Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Bahkan dalam dokumen Rencana Strategis Setjen Wantannas 2015-2019, dinyatakan bahwa capaian kinerja yang belum maksimal ialah belum optimalnya tindak lanjut hasil kajian dinamis, siklis, dan perkiraan cepat bidang kebijakan ketahanan nasional yang di respon Presiden terhadap saran tindak Setjen Wantannas yang disampaikan kepada Presiden; sebuah ironi karena diminta atau tidak Setjen Wantannas selalu memberikan day-to-day report, incidental report, dan emergency report yang berkaitan dengan aspek pertahanan serta keamanan kepada Presiden.

Nuansa ‘kemuraman’ yang sama juga terasa bagi mereka yang menduduki pos Sesjen Wantannas. Jika ditelisik, posisi tersebut menjadi akhir karir banyak perwira tinggi, setidaknya apabila dilacak dari rekam jejak para Sesjen pasca-Reformasi yang akan dijelaskan dalam tabel di bawah ini :


Nama
Jabatan Sebelumnya
Penugasan Selanjutnya
Masa Jabatan
Arifin Tarigan
Pangdam XVII/Cenderawasih (Mayjen)
Pensiun
1998-2003
Prof. Dr. Budi Santoso
sipil
sipil
2003-2005
Muhammad Yasin
Deputi Menko Polkam bid. Politik Dalam Negeri (Mayjen)
Pensiun
2005-2008
Bambang Darmono
Komandan Kodiklat TNI (Letjen)
Pensiun
2008-2010
Rasyid Qurnuen Aquary
Asisten Intelijen Panglima TNI (Mayjen)
Pensiun
2010-2011
Junianto Haroen
Deputi IV bid. Koordinasi Pertahanan Keamanan Kemenko Polhukam (Mayjen)
Pensiun
2011-2012
Waris
Panglima Kodam Jaya (Mayjen)
Pensiun
2012-2015
Muhammad Munir
Pati Mabes TNI (Letjen)
Pensiun
2015-2016
Nugroho Widyotomo
Inspektur Jenderal TNI-AD (Mayjen)
Pensiun
2016-2017


Dari tabel di atas bisa dilihat bahwa mereka yang dipromosikan menjadi Sesjen Wantannas mayoritas memang baru sekali dipromosikan dari panngkat Mayjen menjadi Letjen, dan seterusnya berada di posisi tersebut sampai pensiun. Pengecualian bagi Bambang Darmono yang sebelumnya menjabat sebagai Komandan Kodiklat TNI dengan pangkat Letjen, dan M. Munir yang sempat menjadi Pati non-job di Mabes TNI pasca lengser dari posisi Wakil KSAD (“ironi” tentang Munir sendiri telah saya jabarkan di tulisan sebelumnya.

Doni berasal dari angkatan 1985, dan tahun ini akan masuk usia 55 tahun—3 tahun lagi menuju usia pensiun. Nah, apabila melihat lama masa menjabat, para Sesjen Wantannas rata-rata memimpin selama 1-3 tahun, yang mana Arifin Tarigan paling lama menjabat (5 tahun), disusul oleh Waris (3 tahun), sehingga mungkin saja Doni akan menghabiskan karirnya di Setjen Wantannas. Berkaca dari sosok Waris, sebelum menjadi Sesjen Wantannas ia menduduki pos mentereng seperti Komandan Paspampres dan Pangdam Jaya. Ketika menjabat sebagai Sesjen, sebagai perwira tinggi bintang 3 ia berkali-kali masuk dalam bursa calon KSAD, namun nasib baik tak kunjung hinggap sampai akhirnya ia menghabsikan karirnya di Setjen Wantannas.

Namun masih ada jalan bagi Doni untuk “mengaktualisasikan potensinya” meskipun Setjen Wantannas dikenal sebagai kuburan karir para perwira tinggi. Dalam waktu yang tak lama lagi, perubahan Wantannas menjadi Dewan Keamanan Nasional (DKN) yang telah direncanakan lebih dari 3 tahun yang lalu akan segera terwujud, dalam upaya merespon perubahan lingkungan strategis yang semakin dinamis dan juga karena memang merupakan amanat Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang saat ini masih digodok di parlemen. Langkah perubahan ini tentunya membutuhkan tangan dingin untuk memuluskan jalannya, dan Doni selama ini dikenal sebagai perwira yang berprestasi. Berbagai jejak positif—utamanya di bidang lingkungan hidup—telah ia tinggalkan baik ketika masih menjabat sebagai Pangdam XVI/Pattimura lewat program “Emas Biru” dan “Emas Hijau” maupun ketika menjabat sebagai Pangdam III/Siliwangi lewat “Citarum Harum”.

Sebagai lembaga yang memainkan peran sebagai think-tank pemerintah, sudah seyogyanya keberadaan dan fungsi Setjen Wantannas kembali ditingkatkan sampai ke tingkatan paling strategis, dan ketika hal tersebut terwujud, Setjen Wantannas sebagai kuburan karir para perwira tinggi pun hanya akan menjadi mitos belaka.  


Senin, 05 Februari 2018

Pertempuran Laut Cirebon 1947: Dimana Bangkai RI Gadjah Mada?


Sebagai warga Kota Cirebon yang telah hidup di kota ini selama lebih kurang 20 tahun terakhir, saya selalu tertarik untuk mencari tahu tentang sejarah dari segala peristiwa yang pernah terjadi di Kota Cirebon. Dan bagi saya bukanlah perkara yang mudah untuk mengungkap hal tersebut, karena selain keterbatasan bahan yang bisa dibaca atau didapat, yang paling mendasar ialah kita lemah dalam mendokumentasikan segala sesuatu yang pernah terjadi atau dialami, terlebih jika peristiwa tersebut terjadi di masa-masa krusial dimana orang-orang tak memperdulikan aspek penting dokumentasi, seperti di masa Perang Kemerdekaan 1945-1949.

Dalam masa krusial tersebut, banyak peristiwa yang terjadi di aras lokal yang luput dalam historiografi nasional, padahal sekecil apapun skala peristiwa tersebut sesungguhnya ia turut mempengaruhi jalannya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Nah, salah satu yang luput dan jarang menjadi pembicaraan adalah peristiwa Pertempuran Laut Cirebon yang terjadi pada tanggal 5 Januari 1947.

Berdirinya Pangkalan III Cirebon

Sejak ratusan tahun yang lalu, perairan dan pelabuhan Cirebon telah dikenal sebagai simpul dari lalu lintas perdagangan di wilayah Pantai Utara Jawa sehingga memiliki arti penting tersendiri. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR)-Laut Cirebon pada tahun 1945 pun tak lepas dari misi tersebut, yakni guna memelihara keamanan dan ketertiban di sekitaran perairan Cirebon. Dengan pucuk pimpinan antara lain Idma Kartadisastra, R.A. Girwo, dan Tirtaatmadja, BKR-Laut Cirebon terus mengembangkan kemampuan dari segi personel maupun persenjataan sampai kemudian BKR-Laut bersalin nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR)-Laut pada 5 Oktober 1945, berubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI)-Laut pada 24 Januari 1946, dan terakhir menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada 19 Juli 1946 (Meiliadin, 2015). Seiring dengan perubahan nama tersebut dilaksanakan pula reorganisasi yang berimbas pada pembentukan Pangkalan III Cirebon di bawah kepemimpinan Laksamana III Adam yang kemudian diganti oleh Kolonel H.P. Simanjuntak (Azhari, 2012). Tugas pertama prajurit laut Cirebon antara lain menjaga proses pengangkutan beras bantuan Indonesia ke kapal-kapal milik India di Pelabuhan Cirebon pada April 1946 sebagai bentuk 'diplomasi beras' Perdana Menteri Sutan Sjahrir sebanyak 500.000 ton guna membantu India yang sedang mengalami krisis pangan.

Dengan segala keterbatasannya Pangkalan III Cirebon melengkapi persenjataan lewat berbagai cara, salah satunya lewat barter yang dilakukan dengan pihak Singapura, yang berhasil menambah armada lautnya antara lain terdiri dari kapal jenis Coaster dengan nama RI Gadjah Mada sebagai kapal pimpinan, 2 buah kapal motor dengan nama Surapringga dan Antareja, 1 kapal tarik dengan nama Semar, dan 4 buah kapal patroli, disamping dengan adanya beberapa kapal kayu bekas Jawa Unko Kaisya serta sejumlah perahu nelayan (Azhari, 2012). Dengan kekuatan yang sederhana tersebut, pasukan ALRI tetap melaksanakan gelar operasi walaupun hanya sebatas operasi lintas laut dengan melancarkan konsep pertahanan linier, dimana hanya mengandalkan kondisi medan yang ada di wilayah yang akan dilintasi musuh (Stevia, 2010).

Kronologi Pertempuran Laut Cirebon

Sebagaimana dicatat Meiliadin (2015), dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kewaspadaan para pelaut di Pangkalan III Cirebon, bersama dengan unsur angkatan darat dilaksanakan latihan gabungan di perairan Cirebon pada tanggal 1 sampai 5 Januari 1947. RI Gadjah Mada sebagai kapal pimpinan bernomor lambung 408 dipimpin oleh Letnan I Samadikun, yang mengikutsertakan pula kapal tunda Semar, kapal motor Antareja, kapal patroli P-8 dan P-9.

RI Gadjah Mada dengan Nomor Lambung 408
(sumber: merdeka.com)

Selama latihan berlangsung, keganjilan terasa karena terdapat kapal perang Belanda yang terus melakukan pengintaian dari jarak jauh yang memuncak pada tanggal 5 Januari pukul 05.30 ketika kapal Belanda tersebut secara tiba-tiba berada di sebelah Timur Pelabuhan Cirebon. Pada jam 06.00 saat iring-iringan RI Gadjah Mada sedang berlayar ke Utara mereka bertemu dengan kapal Belanda tersebut yang memberikan isyarat untuk berhenti, namun isyarat berbentuk perintah itu tidak diindahkan oleh RI Gadjah Mada, bahkan Letnan I Samadikun selaku pimpinan latihan memerintahkan kapal patroli yang menyertai RI Gadjah Mada untuk mengundurkan diri ke arah Barat, sedangkan RI Gadjah Mada berupaya mendekati kapal Belanda. Tak pelak tembak-menembak terjadi antara keduanya.

Di pertarungan yang tak seimbang tersebut kapal Belanda terus menghujani RI Gadjah Mada dengan tembakan meriam walaupun RI Gadjah Mada tetap melakukan serangan balasan, namun kerusakan parah yang ditimbulkan dari hujan meriam menyebabkan terganggunya laju kapal dan kebakaran hebat. Setelah dihajar tembakan meriam ke-14, RI Gadjah Mada perlahan mulai miring dan tenggelam beserta seluruh kru yang ada di dalamnya. Letnan I Samadikun merupakan salah satu korban yang ikut tenggelam.

Makam Kapt. (Anm) Samadikun di TMP Kesenden, Cirebon
(sumber: news.detik.com)
Sampai keesokan harinya di tanggal 6 Januari, Pangkalan III Cirebon masih belum mendapat kepastian akan jumlah korban karena seluruh korban diangkut ke atas kapal Belanda tersebut dan palang merah dari pihak Republik hanya mencatat 24 nama. Patrianto (dalam Meiliandi, 2015) menulis bahwa pada pukul 11.30 beberapa nelayan yang kala itu sedang melaut menemukan jenazah yang tak lagi utuh dengan hanya menyisakan satu tangan lalu dilaporkan ke markas Pangkalan III ALRI Cirebon, yang kemudian dengan cepat dikenali sebagai jenazah Letnan I Samadikun, sang komandan kapal RI Gadjah Mada.

Setelah diketemukannya jenazah Samadikun, di hari yang sama Pangkalan III Cirebon segera mengumumkan masa berkabung karena keberanian sang komandan dalam mempertahankan kehormatan negara dengan bertempur sampai titik darah penghabisan. Sebagai penghormatan, secara anumerta pangkatnya dinaikan satu tingkat lebih tinggi menjadi Kapten Anumerta, dan namanya diabadikan sebagai nama jalan di wilayah pesisir Kota Cirebon; Jalan Kapten Samadikun.

Dimana Bangkai RI Gadjah Mada?

Sampai saat ini, dalam berbagai literatur yang mengangkat peristiwa Pertempuran Laut Cirebon, tidak pernah digambarkan nasib dari kapal RI Gadjah Mada. Dengan kondisi yang terbakar hebat dan koyak dihajar meriam bertubi-tubi, kondisi kapal tersebut tentu tak terlalu baik meskipun secara umum bentuk kapal masih dapat terlihat. Dan berdasarkan lokasi terakhir, RI Gadjah Mada diduga tenggelam di sekitar Utara Laut Cirebon.

Setelah 71 tahun peristiwa tersebut lewat, sepengetahuan saya belum pernah ada studi komprehensif untuk meneliti bangkai RI Gadjah Mada, padahal selain sebagai tinggalan perang yang menyimpan nilai sejarah, bangkai RI Gadjah Masa termasuk ke dalam kuburan perang (war grave) yang keberadaan patut dijaga sebagai lambang penghormatan kepada para pejuang kemerdekaan. Di Indonesia sendiri, riset mengenai bangkai kapal tinggalan perang belum menjadi perhatian utama para peneliti dan akademisi, selain karena belum banyak yang mengkhususkan diri pada studi arkeologi bawah air, riset tersebut banyak memiliki persinggungan dengan berbagai disiplin ilmu lain yang cukup rumit seperti sejarah, ilmu budaya, oseanografi bahkan teknik perkapalan.

Akhirnya, sedikit demi sedikit kabut mengenai RI Gadjah Mada mulai memudar seiring hadirnya kabar pada Oktober 2018 bahwa Pemerintah Kota Cirebon bersama dengan Lanal Cirebon akan membangun Monumen RI Gadjah Mada 408 di atas lokasi tenggelamnya kapal tersebut yang baru diketemukan kembali oleh tim dari Lanal Cirebon beberapa waktu lalu, tepatnya di titik koordinat 06 40 066 S-108 35 847 E atau empat mil dari lepas pantai Cirebon. Sebelum membangun monumen tersebut, terlebih dahulu dipancang tiang pertama sebagai penanda pembangunan yang sedianya akan dibiayai dari APBD Kota Cirebon dan APBD Provinsi Jawa Barat. Tak hanya sekadar bangunan fisik, karena diharapkan monumen tersebut akan menimbulkan multiplier effects bagi sektor perekonomian dan pariwisata Kota Cirebon, bahkan sudah digadang-gadang lokasi tersebut akan menjadi spot olahraga menyelam (diving) sebagai ikon baru pariwisata Cirebon. 

Pemancangan Tiang Pertama Monumen RI Gadjah Mada 408 oleh Pj. Walikota Cirebon dan Danlanal Cirebon
(sumber: jabarnews.com)

Kabar tersebut menjadi titik pijak baru bagi upaya penelitian lanjutan mengenai Pertempuran Laut Cirebon maupun keberadaan bangkai RI Gadjah Mada. Perlu diteliti bagaimana kondisinya di bawah air sana dan hasilnya diekspos ke publik. Jangan sampai kemudian kita membangun monumennya namun tidak mengetahui kondisi sesungguhnya dari RI Gadjah Mada, apakah sudah semakin tak utuh karena faktor kimiawi yang menyebabkan komponen kapal tersebut rontok dengan sendirinya, atau malah sudah dijarah oleh sindikat pengumpul besi tua maupun penjarah kapal karam yang beroperasi di sepanjang Utara Laut Jawa yang tak memperdulikan sejarah demi keuntungan ekonomi tinggi semata.


Daftar Bacaan

Azhari, Rifky. 2012. “Reorganisasi dan Rasionalisasi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) 1948-1950: Dari Pembentukan Komisi Reorganisasi (KRAL) hingga Terbentuknya Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL)”. Skripsi pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Meiliadin, Riean. 2015. “Peranan Pasukan Kancil Merah pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia II di Cirebon 1948-1949”. Skripsi pada Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta: Tidak Diterbitkan.

Stevia, Taman. 2010. “Strategi Pertahanan Laut Nusantara dalam Menghadapi Provokasi Malaysia di Ambalat”. Tesis pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia: Tidak Diterbitkan.