Jika
melihat ke belakang, minyak bumi selalu hadir memainkan peranan penting yang
mewarnai perjalanan suatu negara-bangsa. Akibat nilainya yang strategis pula,
minyak bumi menjadi incaran banyak pihak demi keuntungan ekonomi yang
menggiurkan, apalagi orang pertama yang menyandang gelar sebagai orang terkaya
sejagat di era modern ialah pengusaha minyak, yakni John D. Rockefeller.
Keberadaan minyak bumi dalam konteks Indonesia sendiri sangat penting, karena
ia membawa Indonesia tidak hanya menuju kejayaan, tetapi juga menuju
kejatuhannya yang paling dalam.
Maka
kemudian, menjadikan minyak bumi sebagai kajian sejarah merupakan hal yang
sangat menarik karena bersinggungan dengan banyak hal, mulai dari politik,
ekonomi, sosial-budaya yang dapat dijadikan refleksi bagaimana mengelola salah
satu sumberdaya alam yang paling diperebutkan sejak awal abad ke-19 tersebut.
Dan buku Minyak Bumi dalam Dinamika Politik dan Ekonomi Indonesia 1950-1960an
yang ditulis Dr. Purnawan Basundoro menjadi menarik untuk dibaca serta dapat dijadikan
rujukan bagi penelitian-penelitian lanjutan tentang perminyakan dari berbagai
perspektif di tengah berbagai tulisan mengenai perminyakan yang lebih banyak
dikerjakan oleh akademisi berlatar belakang ekonomi atau teknik.
Posisi minyak bumi dalam percaturan ekonomi-politik Indonesia dekade 1950-1960an menarik untuk dilihat karena di usianya yang masih sangat muda, Indonesia masih mencoba-coba berbagai sistem politik dan ekonomi dalam mengelola negara, khususnya minyak untuk sebesar-besarnya dikelola untuk kemakmuran rakyat, akan tetapi hambatan politik lewat kekacauan sistem demokrasi parlementer, belum mandirinya perekonomian, serta instabilitas keamanan mewarnai upaya pengelolaan minyak bumi yang terpadu. Di satu sisi ada pihak yang menekankan minyak bumi dikelola oleh anak bangsa sendiri atas dasar nasionalisme dan kemandirian bangsa, tapi di sisi lain, pengelolaan minyak bumi Indonesia menemui kendala akan rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang mampu melakukan itu sehingga sentuhan tangan “asing” baik dalam hal produksi, distribusi, bahkan pembiayaan menjadi diperlukan.
Di
tengah kondisi perekonomian negara yang tidak menentu, minyak bumi menjadi
penolong karena mampu berperan menjadi penghasil devisa yang cukup besar,
didukung dengan keberadaan sumur dan ladang minyak yang cukup produktif. Di
daerah-daerah lumbung minyak seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jawa
Tengah, “laskar-laskar minyak” yang berperan saat Perang Kemerdekaan membentuk
perusahaan-perusahaan minyak yang cukup profitable.
Di pertengahan dekade 1950-an, nasionalisasi perusahaan asing juga berimbas
pada perusahaan minyak seperti BPM, Shell, Stanvac, atau NIAM yang berwujud
pada pembagian kepemilikan dan keuntungan dengan Pemerintah Indonesia, yang
juga ditopang dengan berbagai kebijakan politik perminyakan negara seperti
pengendalian dan pengawasan harga, pembatalan hak-hak pertambangan, lahirnya UU
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 1960, Kewajiban Prorata, serta penandatanganan
Tokyo Heads of Agreement. Namun
kembali lagi, kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang belum terlalu baik
membuat tidak semua pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut berjalan dengan mulus,
bahkan usaha-usaha perminyakan kala itu lebih banyak dikuasai militer, utamanya
Angkatan Darat untuk mengisi kas kesatuan dan membiayai operasi militer
dibanding dikelola untuk kemaslahatan masyarakat luas.
Perjalanan
waktu kemudian menunjukkan bahwa Indonesia di akhir dekade 1960 berakhir keluar
menjadi “pemenang” dengan memadukan aura nasionalisme dengan pengakuan terhadap
sentuhan tangan asing lewat lahirnya skema Kontrak Karya yang menjadikan usaha
pertambangan dan gas bumi hanya diusahakan oleh negara dan pelaksanaannya dilakukan
oleh perusahaan negara, dimana posisi perusahaan-perusahaan minyak asing ialah
perusahaan kontraktor yang melaksanakan pekerjaan milik perusahaan negara.
Kontrak Karya yang saat itu menjadi program primadona dari Pertamina di bawah
kepemimpinan Letjen Ibnu Sutowo membawa Indonesia sukses sebagai negara Petro-Dollar baru di awal dekade 1970an
yang didukung dengan peningkatan harga minyak mentah di tingkat Dunia, tetapi
kembali lagi, karena penguasaan militer di segala lini yang tak disertai visi
jangka panjang akan dibawa kemana Pertamina kedepannya, justru keuntungan
tersebut menjadi malapetaka karena hanya berselang kurang dari 10 tahun pasca
kejayaannya, justru Pertamina terpuruk ke jurang yang paling dalam, membawa
Indonesia menuju failed-state karena
jumlah utang Pertamina malah lebih tinggi dibanding simpanan kas negara.
Pada
akhirnya, semangat nasionalisme untuk mengelola usaha perminyakan yang sangat
strategis memang diperlukan, utamanya dalam konteks Indonesia saat itu yang
belum lama lepas dari cengkeraman kolonialisme, tetapi tanpa visi dan strategi
jangka panjang, nasionalisme dan keberanian dalam mengambil alih usaha asing
tak akan berarti apa-apa. Malah usaha strategis yang diamanatkan dalam UUD 1945
agar dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat ini justru keuntungannya
hanya dinikmati oleh sebagian kelompok atau kalangan saja.
----
Sekali
lagi buku ini menarik karena berupaya mengisi kekosongan literatur sejarah
perminyakan Indonesia yang sesekali hanya muncul dalam biografi orang-orang
yang pernah bersinggungan dengan usaha perminyakan, antara lain seperti buku Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita
yang ditulis oleh Ramadhan KH (2008) yang sampai saat ini saya sendiri pun
masih penasaran mencarinya karena sulit ditemukan di pasaran, bahkan di Shopping Centre Timur Taman Pintar Yogya
yang katanya pasar buku paling lengkap itu. Apalagi buku ini disebarkan secara
gratis oleh Pak Purnawan ke berbagai pihak (yang
saya lebih kenal sebagai sejarawan yang getol menulis sejarah perkotaan,
terutama dari buku Pengantar Sejarah Kota yang merupakan salah satu buku
favorit saya), sehingga harapannya minyak bumi tidak hanya dikenal dari
fungsi praktis, politis, dan ekonomisnya semata, tapi juga pengetahuan historis
dalam konteks Indonesia di dalamnya dapat diketahui oleh khalayak luas.
File
buku tersebut saya sertakan dalam tautan di bawah ini, silakan!