Sepanjang
lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, pelarangan atau pemberangusan buku
bukanlah hal yang jarang terjadi. Utamanya memasuki dekade 1960-an pasca geger
G30S menjelang akhir tahun 1965, pelarangan—sekaligus pembakaran—buku yang
bernuansa sosialisme, komunisme, bahkan yang memuat pemikiran dan gagasan
Presiden Soekarno marak terjadi. Pemandangan menyayat hati dimana ribuan buku
‘terlarang’ tersebut ditumpuk di satu lokasi terbuka dan dibiarkan tersambar
api jamak terlihat di berbagai kota-kota Indonesia.
Ketika
Orde Baru berkuasa, penerbitan buku-buku dengan tema sensitif atau yang ditulis
oleh orang yang dianggap memiliki rekam jejak kiri tidak mendapatkan ruang yang
layak. Munculnya teks-teks yang berupaya menggugat narasi tunggal Orde Baru
mengenai peristiwa G30S dianggap seperti mimpi di siang bolong, karena selain
dipastikan tak akan lolos screening
Kejaksaan Agung atau organ-organ intelijen Orde Baru, indoktrinasi yang
menyasar kalangan masyarakat luas yang berupaya menjejalkan pemikiran bahwa
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan aktor tunggal dalam peristiwa G30S
masif terjadi lewat berbagai medium: buku, film, diorama, museum, tak
terkecuali pendidikan sejarah di tingkat sekolah. Bagi mereka yang lapar akan
asupan narasi alternatif mengenai geger G30S, jelas Indonesia bukan tempat yang
tepat. Pilihannya adalah keluar dari tanah air, atau secara klandestin
memanfaatkan jaringan bawah-tanah untuk mendapatkan bahan-bahan terlarang
tersebut.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkQhLmc72sFUt2gLEb5rgLJhVcVVNGZ8FeOoTBKT9zqV-GgUPq-EvsPH6Y_VbyYaKUi4ApRSS07volUAewNWakJBxcWkUM6x2Y5T0lZF13ptVWrgAaI0L4zENorxYaBbPNr7l_UMJqg3dL/s400/buku_kiri2.jpg) |
Pemusnahan Buku-Buku Kiri dan 'Angkatan 66'
(sumber: hariansejarah.id) |
Pada
tahun 1994, Sekretariat Negara meluncurkan buku putih berjudul “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai
Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya” yang secara
jelas menjadi pegangan utama masyarakat dalam memahami peristiwa G30S ‘PKI’. Hampir
2 dekade sebelumnya, telah muncul ‘kitab’ lain yang berangkat dari perspektif
kesejarahan yakni buku “Sejarah Nasional
Indonesia” (1975) yang terdiri dari 6 jilid berdasar pembabakan waktu.
Penulisan mengenai peristiwa G30S di buku tersebut tak lepas dari pemosisian
PKI sebagai satu-satunya pelaku, karena memang agenda penulisan SNI digawangi
oleh Brigjen Nugroho Notosusanto, sejarawan-cum-perwira
militer yang sejak tahun 1964 telah diserahi tugas oleh Menko Hankam/KASAB
Jenderal A.H. Nasution untuk mengantisipasi penulisan sejarah dari perspektif
kiri melalui pembentukan Biro Chusus Sejarah Staf Angkatan Bersenjata—kelak
menjadi Pusat Sejarah TNI (Asvi Warman Adam, 2009).
Berbagai
upaya yang dilakukan pemerintahan Orde Baru sukses men-demonisasi PKI dan
komunisme sebagai hal yang berbahaya dan patut diwaspadai kemunculannya.
Perlahan kemudian ia menjadi hantu yang melahirkan ketakutan yang irrasional. Contoh
menarik diungkapkan Stanley Adi Prasetyo (2008), ketika film komedi “Kiri Kanan OK” (Deddy Armand, 1989) ingin
dilepas ke pasaran, Departemen Penerangan mengajukan keberatan atas judul
tersebut dan lebih merekomendasikan judul “Kanan
Kiri OK” yang mendahulukan kata kanan dibanding kiri, yang kemudian menjadi
judul resmi film tersebut. Sungguh suatu hal yang menggelikan—sekaligus
ironis—bahwa Negara mengidap paranoia tertentu terhadap sepotong kata.
Mulai Terbuka
Keruntuhan
Orde Baru pada tahun 1998 membuka ruang yang amat lebar bagi munculnya
teks-teks alternatif mengenai peristiwa G30S. Versi tunggal yang memandang
peristiwa G30S sebagai pemberontakan PKI semata mendapatkan ‘penentangan
akademik’ melalui terbitnya berbagai buku dan karya tulis. Asvi Warman Adam
(2018)—yang beberapa waktu lalu dikukuhkan sebagai Profesor Riset bidang Sejarah Politik LIPI—setidaknya mencatat 5 versi lain terkait dalang peristiwa G30S yang
sebenarnya telah lama terserak namun tak muncul ke permukaan, yakni (1) G30S
sebagai puncak konflik internal di tubuh Angkatan Darat (Anderson dan McVey,
1971); (2) G30S dipersiapkan Presiden Soekarno (Hughes, 1967; Dake, 1973); (3)
G30S dikendalikan oleh Central
Intelligence Agency/CIA (Scott, 1985; Robinson, 1984); (4) G30S merupakan
kudeta merangkak yang digerakkan Jenderal Soeharto (Wertheim, 1970; Soebandrio,
2001); dan (5) G30S merupakan hasil konspirasi unsur Nekolim dari dalam dan luar
negeri (Soekarno, 1967). Kewajiban penulisan G30S yang menyertakan kata PKI
setelahnya--G30S/PKI—lama-kelamaan kehilangan relevansinya.
Langkah
paling progresif berkaitan dengan pelurusan sejarah 1965 adalah ketika Presiden
Abdurrahman Wahid di sekitaran awal tahun 2000-an secara terbuka meminta maaf
atas keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU) dalam pembantaian massal 1965-1966 dan
menyerukan pencabutan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 karena bertentangan dengan
konstitusi. Yang membuatnya berarti adalah ia meminta maaf bukan hanya dalam
kapasitas sebagai mantan Ketua Umum PBNU, tetapi juga Presiden Republik Indonesia.
Pesannya pun jelas, ia tak ingin generasi sekarang mewarisi ‘kabut sejarah’
karena tak mampu—dan berani—membuka lembaran sejarah 1965 yang selalu
ditutup-tutupi selama puluhan tahun.
Didukung
dengan iklim demokrasi yang semakin menghangat, sejarah yang dahulu melulu
ditulis dari perspektif penguasa kemudian bergeser ditulis dari kacamata para
korban. Buku-buku yang memuat kesaksian para mantan tahanan politik (tapol) 1965
selama berada di penjara dan kamp-kamp Orde Baru semakin mudah didapat, yang
ditulis oleh beberapa nama antara lain Pramoedya Ananta Toer, Hersri Setiawan,
Djoko Sri Moeljono, Mars Noersmono, Gregorius S. Goenito, tak terkecuali
Soebandrio dan Omar Dani. Hadir pula mereka yang menganalisis geger G30S dan
kejadian-kejadian setelahnya menggunakan pisau bedah yang berbeda, seperti dari
sudut pandang sosial-politik di tingkat lokal, politik global selama Perang
Dingin (Kurasawa, 2015; Robinson, 2018), bahkan ada yang menganalisis upaya
militer untuk melegitimasi PKI dan komunisme sebagai ‘aktor jahat’ melalui
pembangunan berbagai monumen serta museum (McGregor, 2007).
Kembali Sebagai Ancaman
Namun
sayangnya, kerja-kerja akademik untuk membuka tabir gelap tersebut terhambat
oleh paranoia kalangan tertentu di tubuh militer yang tak ingin sejarah 1965
diungkit-ungkit kembali ke permukaan. Beberapa peristiwa razia buku yang
dianggap berpotensi menyebarkan paham komunisme dan ideologi terlarang lainnya
semakin giat dilakukan tentara di beberapa daerah. Seperti yang paling anyar
terjadi di Kediri akhir Desember lalu, aparat gabungan tentara dan polisi
berhasil menarik buku-buku yang diduga mempropagandakan komunisme dan PKI,
seperti Manifesto Komunis karya Engels
dan Marx, serta Menempuh Jalan Rakyat
karangan Aidit. Namun di samping itu, banyak pula buku yang ditarik yang
sesungguhnya berupaya meluruskan sejarah 1965—dan Peristiwa Madiun 1948,
seperti Orang-Orang di Persimpangan Kiri
Jalan (Gie, 1997), Negara Madiun?
(Setiawan, 2002), Soekarno, Orang Kiri,
Revolusi & G30S 1965 (Onghokham, 2009), dan Benturan NU-PKI 1948-1965 (PBNU, 2013). Malah ada yang ditarik
karena judulnya yang dianggap provokatif, seperti Islam Sontoloyo karangan Soekarno yang isinya justru memaparkan
pemikiran Soekarno mengenai pembaruan Islam dari beberapa oknum yang
memanfaatkan keagungan nama Islam. Banyak pihak akhirnya memandang bahwa TNI
memiliki problem literasi sejarah, yang sesungguhnya berlawanan dengan
pengarusutamaan profesionalisme yang sedang digiatkan di berbagai lini komando.
Meskipun
dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia (BPPI) 2015—yang menjadi acuan upaya
pertahanan negara—Kementerian Pertahanan tak lagi menyebutkan komunisme sebagai
salah satu bentuk ancaman berdimensi ideologi, tetapi dalam BPPI 2008 secara
gamblang disebutkan bahwa “ancaman
ideologi komunis masih tetap merupakan bahaya laten yang harus diperhitungkan”.
Malah dalam bagian setelahnya, tertulis bahwa muncul usaha dari pihak-pihak
tertentu yang telah melebur dalam masyarakat untuk menyebarkan ajaran komunis
melalui “penulisan buku-buku sejarah
dengan tidak mencantumkan peristiwa G-30-S/PKI dengan Dewan Revolusi”. 10
tahun pasca dirilisnya BPPI 2008, tentara tetap memandang komunisme sebagai
hantu yang menakutkan, dan ketakutan itu terus direproduksi serta
disebarluaskan kepada masyarakat.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizF6uyv4xAP8YHXgbcYQTosMpah0IlFhjrJOqWzBIMGen51aDV3K7zhYprnFxYpb0wjz0mr515tqhqYRFpAhjoqVbJzVQLXzUf44gdTwzcPSOGIt9MwnVSi77oufY5KpSKThxieK-JQeCp/s400/807152_720.jpg) |
Anggota Kodim 0809 Kediri Menunjukkan Buku-Buku Hasil Sitaan
(sumber: tempo.co) |
Sebagai
sebuah ideologi, komunisme dapat dikatakan bangkrut karena tak ada entitas
setingkat negara yang berhasil mempraktikkan ideologi tersebut secara murni dan
mencapai cita-cita masyarakat tanpa kelas yang terbebaskan serta hidup
bermartabat. Rusia dan Tiongkok yang dikenal sebagai ‘ibukota’ komunisme pun
perlahan merangkak menuju cara hidup kapitalistik, menyongsong kompleksnya
realita ekonomi-politik yang tak memberikan ruang bagi pengaplikasian gagasan
ideal yang digariskan Marx beratus-ratus tahun sebelumnya.
Namun
dalam konteks Indonesia, komunisme masih laku sebagai dagangan politics of fear, dan patut diingat
bahwa perumusan ancaman keamanan nasional merupakan proses politik yang tak
hanya kedap di antara para aktor keamanan yang ‘profesional’ dan beredar di
antara isu-isu high politics semata .
Ketika Negara menganggap suatu hal dapat membahayakan eksistensinya—baik yang
berdimensi militer maupun non-militer—maka ia dapat disebut sebagai ancaman,
tetapi kembali lagi, Negara dijalankan oleh para politisi yang memiliki
kepentingan atas banyak hal dan mereka dapat menentukan suatu hal sebagai sebuah
ancaman atau tidak. Contoh yang paling ekstrim dapat ditilik saat Soeharto
masih bercokol di puncak kekuasaan Orde Baru, dimana definisi keamanan nasional
dimonopoli oleh segelintir elit penguasa yang ditafsirkan sebagai keamanan
kedudukan penguasa dari berbagai pihak yang ingin menjatuhkannya (Jemadu,
2008). Mereka yang berpandangan berbeda dengan visi yang telah digariskan Orde
Baru akan mudah dilabeli sebagai ‘PKI, komunis, atau simpatisan kiri’, dianggap
sebagai ancaman keamanan, dan disingkirkan dari kehidupan bermasyarakat. Isu
komunisme dijadikan sebagai medium kepatuhan masyarakat terhadap Negara untuk
menjaga kondusivitas yang justru semu.
Di
masa ketika konsepsi ancaman keamanan nasional menjadi sangat lentur (azymutal) dan multidimensional pasca
usainya Perang Dingin seperti saat ini, kondisi tak banyak berubah karena apapun
dapat dimasukan dalam kotak ancaman: Bukan hanya ancaman militer tetapi juga
ancaman politik, ekonomi, kultural, tak terkecuali ideologi. Masih bergaungnya
komunisme sebagai ancaman ideologi dalam berbagai dokumen, teks resmi dan
forum-forum militer kemudian mendapatkan legitimasinya atas teori keamanan
nasional yang lama-kelamaan semakin advance—namun
ambigu. Hal tersebut didukung dengan masih eksisnya produk hukum yang menetapkan
komunisme sebagai ideologi terlarang seperti TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang
sialnya tak memiliki mekanisme uji materiil atas kandungan isinya.
Masa Depan
Pun
ketika pemberangusan buku yang dilakukan tentara tersebut dilandasi alasan agar
generasi muda terselamatkan dari ide-ide komunisme, informasi mengenai ideologi
tersebut tak hanya tersedia dalam teks-teks konvensional. Di era dimana semua
sumber-sumber pengetahuan tak terhalang batas ruang dan waktu sebagai dampak
globalisasi, siapapun dapat mencari serta mengakses apa yang ingin ia ketahui
melalui kekuatan internet. Teks-teks kunci komunisme dapat dicari oleh
siapapun—pria, wanita, tua dan muda—semudah ketika mencari resep makanan di Google.
Malah
yang saat ini menjelma menjadi ancaman nyata ialah mudahnya masyarakat terpapar
propaganda ‘terorisme kanan’ untuk melaksanakan aksi yang mengatasnamakan jihad
melalui internet dan media sosial. Utamanya berkaitan dengan teks-teks yang
berisi pemikiran ISIS dan derivasinya di Asia Tenggara, ia sangat mudah dicari
oleh siapapun yang ingin mendalaminya, sedikit banyak mengubah pola aksi teror
yang biasanya mengandalkan jaringan, menjadi mampu eksis atas orang-perorang (lone-wolf). Tak adakah tindakan yang
diambil aparat keamanan untuk membendung hal itu? Jelas ada. Beberapa langkah
dilakukan Polri bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan
dengan memantau, menutup situs-situs yang terbukti menyebarkan propaganda
teror, bahkan menangkap orang-orang yang berada di balik kegiatan tersebut.
Apakah tindakan itu berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah aksi teror yang
terjadi? Memang belum ada kajian komprehensif yang mampu menjelaskan hubungan
keduanya, namun di tengah kehidupan ‘rimba raya’ internet yang amat kompleks,
logika pemberantasan yang berlaku di dunia nyata menjadi tak berlaku. Terdapat
mekanisme teknologi yang canggih yang benar-benar mewujudkan adagium “mati satu, tumbuh seribu”. Kerja
penanggulangan penyebaran ideologi teror pun bukanlah kerja singkat, cepat dan
praktis.
Dari
sini saya ingin mengatakan, bahkan kerja yang dilakukan Polri dan aktor
keamanan lain yang padat teknologi tinggi untuk menanggulangi penyebaran ideologi
teror acapkali masih sulit memperlihatkan keberhasilan yang memuaskan, apalagi model
razia buku konvensional seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, yang tak
didukung pemahaman mendalam tentara atas apa yang ingin mereka berantas.
Dalam
pandangan saya, jika memang tentara ingin benar-benar ‘memberantas’ penyebaran
paham komunisme, jalan terbaik—sekaligus elegan—ialah dengan memahami lebih
dalam dahulu apa itu komunisme, PKI, dan G30S yang mereka percaya digerakkan
oleh PKI. Undang para pemikir politik, filsafat, sejarawan yang memiliki
pandangan beragam mengenai hal tersebut, bukan hanya mereka yang berpikiran
sejalan dengan tentara, malah kalau bisa para penyintas dari berbagai peristiwa
berdarah pasca-1965. Keberagaman pandangan justru akan membantu tentara dalam
memandang apa itu sebenarnya komunisme, realita dan potensi perkembangannya di
masa depan, bukan hanya sekadar latah mendengungkan isu “komunisme gaya baru” tiap
awal bulan Oktober.
Tindakan
merazia buku-buku itupun tentara tak bisa bergerak sendiri, karena seharusnya
dilakukan oleh penyidik kepolisian berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan
setempat yang tertuang dalam Pasal 38 KUHAP (Tirto.id, 2018). Kasarnya, tentara
tak memiliki dasar hukum untuk melakukan tindakan penyitaan buku, meskipun ia
dilandasi niat untuk mengurangi keresahan yang ada di tengah masyarakat. Namun
di tengah realita bahwa tentara juga mesti menjalankan perannya untuk melakukan
pembinaan teritorial di daerah, tindakan penyitaan buku oleh tentara di daerah
sulit untuk dihentikan. Yang harus dijadikan perhatian adalah tentara harus mampu
memilah dengan objektif mana saja teks yang memiliki potensi penyebaran ajaran
komunisme sebelum ia dilimpahkan ke penyidik atau Kejaksaan, tidak sekadar
merazia buku yang menyandang judul-judul berbau kiri di sampulnya, seperti yang
terjadi di Kediri lalu.
Lebih
baik lagi menurut saya, model penyitaan buku seperti itu dihentikan oleh
tentara dan polisi. Kalau masyarakat—yang dipercaya sebagai ‘ibu kandung’
tentara—dianggap sudah matang dan dewasa, kebebasan dalam mencari informasi
mengenai apapun mesti dihormati. Dari sanalah akan muncul mekanisme verifikasi
yang mandiri, yang tumbuh dari nalar kritis karena segala sumber informasi dari
berbagai sisi dapat diakses dan diperbandingan secara terbuka.
Tapi,
kapan hal tersebut dapat benar-benar terwujud?