Rabu, 06 Maret 2019

Perwira TNI Non-Job: Bersatunya Problem Relasi Sipil-Militer dan Personalia


Dalam beberapa minggu terakhir, pemberitaan mengenai wacana penempatan perwira—khususnya Pamen dan Pati—TNI non-job dalam posisi-posisi sipil Kementerian telah banyak menyedot perhatian publik. Para aktivis pro-demokrasi, utamanya yang memusatkan pandangan pada reformasi sektor keamanan menolak dengan keras wacana tersebut karena berpotensi mengembalikan ruang bagi bangkitnya ‘Dwifungsi TNI’ jilid dua. Ada juga yang melihat bahwa munculnya wacana tersebut sebagai bagian dari kurang baiknya manajemen personalia TNI sehingga menimbulkan kemandekan karir para perwira tinggi TNI yang seharusnya dapat berkontribusi lebih banyak sesuai bidang kerjanya dalam kemiliteran.

Menurut pandangan saya pribadi, kemandekan karir tersebut lebih disebabkan pada kurang tanggapnya manajemen personalia TNI dalam menghadapi gelombang perwira TNI yang memasuki golongan Pamen senior dan Perwira Tinggi sejak awal 2010-an. Dari sisi kesejarahan—utamanya berkaitan dengan relasi sipil-militer Orde Baru—kemandekan tersebut bisa diketahui penyebabnya.

Aksi Kamisan Menolak 'Dwifungsi TNI', Februari 2019
(sumber: CNN Indonesia)

Sejalan dengan semakin masifnya implementasi konsep Dwifungsi ABRI, jumlah penerimaan taruna AKABRI, terkhusus Akademi Militer (Akmil) mengalami peningkatan yang amat pesat dibanding sebelumnya sejak pertengahan dekade 1980-an. Lulusan AKABRI kemudian diproyeksikan tak hanya duduk di posisi kemiliteran, tetapi juga mampu berkarir di institusi sipil, padahal di masa-masa itu, utamanya saat kepanglimaan Jenderal Leonardus Benyamin 'Benny' Moerdani (1983-1988), TNI sedang menggalakkan upaya perampingan struktur ABRI sehingga agak kontradiktif dengan kenyataan yang ada. Di tahun 1980-1982, abituren (alumni) Akmil berjumlah tak lebih dari 160 orang tiap lichting-nya, namun perlahan naik di bilangan 187 orang di tahun  1983, dan kemudian melonjak sampai di angka 234 orang di tahun 1985. Selanjutnya, jumlah abituren Akmil selalu berada di atas 250 orang.

Namun, skema yang telah terbangun tersebut mendadak buyar ketika Reformasi TNI pecah pada awal dekade 2000-an. Dwifungsi yang menjadi wahana bagi pencapaian karir di luar kemiliteran dihapuskan, menjadikan prajurit TNI benar-benar pada posisinya yang profesional sebagai penjaga pertahanan Negara. Reformasi TNI kemudian tak membayangkan adanya bottle-necking karir perwira TNI—khususnya TNI-AD—di  masa depan, padahal ia adalah konsekuensi logis dari dihilangkannya posisi-posisi sipil yang sebelumnya bisa diisi para abituren Akmil yang berlimpah jumlahnya. Jumlah abituren Akmil pun tak bisa dikurangi secara drastis karena kecabangan militer yang semakin beragam, meskipun TNI-AD telah menerapkan kebijakan Zero Growth of Personnel (ZGP). Angka yang cukup rendah baru bisa dicapai pada dua-tiga tahun ke belakang dengan jumlah abituren tak lebih dari 230 orang.

The Jakarta Post per tanggal 4 Maret 2019 mencatat bahwa terdapat 500 Kolonel dan 150 Pati TNI yang mengganggur, namun pengamat militer Universitas Padjadjaran Dr. Muradi mencatat bahwa mungkin terdapat 800 Pamen dan Pati TNI yang berada pada posisi non-job. Upaya untuk melakukan mutasi jabatan pun sulit dilakukan karena tidak ada pos yang bisa diisi, dan jika hanya mengandalkan rotasi jabatan kenaikan karir dan pangkat para perwira tersebut sulit diraih, ditambah dengan kenyataan bahwa terjadi perpanjangan Masa Dinas Prajurit (MDP) dari 55 tahun menjadi 58 tahun berdasarkan UU No. 34/2004 tentang TNI. Lebih dari itu, di tubuh TNI sendiri diyakini masih hidup budaya favoritisme dan patrimonialisme terselubung yang terbangun selama berpuluh-puluh tahun; para perwira dan pejabat yang lebih tinggi mempromosikan bawahan—bisa juga adik asuh—yang memiliki kedekatan personal dengan dirinya, melompati mekanisme normal yang ada sehingga berlomba-lombalah para perwira yang bermimpi memiliki karir cemerlang dengan membangun atau mendekati klik-klik tertentu.

Wajar saja kemudian pemerintah mewacanakan penempatan para Perwira TNI aktif ke dalam institusi sipil sebagai respons instan atas kebuntuan yang terjadi di atas, tetapi jelas wacana tersebut bukan hal populer; Ia mendapat pertentangan masif dari banyak kalangan yang merasakan trauma kolektif atas berkuasanya militer dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita.

Penguatan Fungsi Organik

Dalam Peta Jalan Reformasi Birokrasi Tentara Nasional Indonesia Tahun 2015-2019, terdapat sembilan program yang diturunkan dalam beberapa agenda prioritas, salah satunya adalah Penataan Sistem Manajemen SDM TNI dengan fokus membangun manajemen personalia TNI yang profesional dan mampu menjawab tantangan tugas TNI ke depan, yang diturunkan dalam berbagai kegiatan antara lain perencanaan kebutuhan personel sesuai dengan kebutuhan organisasi, penataan pola karier personel TNI, penetapan kinerja individu, dan pelaksanaan evaluasi jabatan. Kegiatan-kegiatan tersebut sesungguhnya sedikit-banyak mampu mengurai problem munculnya para perwira non-job yang ada, namun karena perwira non-job tersebut dari tahun ke tahun semakin menggunung, pendekatan ‘konvensional’ tersebut tak mampu lagi menjadi solusi. Dibutuhkan pendekatan yang tak biasa guna menyelesaikan permasalahan yang juga tak biasa.

Masih dalam catatan The Jakarta Post (4/3/2019), pengamat militer yang juga Direktur Imparsial Al Araf sempat mengutarakan wacana untuk memasukkan para perwira non-job tersebut dalam struktur Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) guna memperkuat perannya sebagai tulang punggung peperangan modern, dan juga pos jabatan berkaitan dengan peperangan siber (cyber warfare) dalam menjawab tantangan keamanan global. Di saat yang sama, momentum menumpuknya perwira non-job tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi besar-besaran struktur organisasi TNI yang inefisien dan justru membebani anggaran pertahanan, termasuk di dalamnya penghapusan Komando Kewilayahan (Kowil) yang sudah muncul sejak awal Reformasi TNI didengungkan. Meskipun saya pribadi yakin usulan terakhir tersebut akan mendapat banyak tentangan karena kemunculan Kowil didasarkan dari sejarah TNI pada saat Perang Kemerdekaan, dimana ‘kantong-kantong gerilya’ memainkan peranan yang amat vital bagi kelancaran perjuangan, sehingga akan timbul anggapan bahwa upaya menghapus Kowil sama dengan menghapus sebagian sejarah TNI.

Dalam konferensi pers pasca acara Rapat Pimpinan TNI-Polri di Istana Negara pada 29 Januari lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa akan terdapat 60 jabatan baru di tubuh TNI yang diisi oleh perwira tinggi bintang satu, dua dan tiga guna memecahkan masalah surplus perwira non-job, salah satunya beberapa jabatan di  Kostrad dalam mendukung penguatan institusi tersebut seperti disampaikan Al Araf. Berdasarkan Perpres No. 62/2016 tentang Susunan Organisasi TNI, jabatan-jabatan tersebut antara lain Inspektur Kostrad berpangkat Mayjen yang sebelumnya dijabat Brigjen dan Asisten Kaskostrad berpangkat Brigjen yang sebelumnya dijabat Kolonel. Peningkatan status tersebut akan memberikan ruang jabatan bagi para Brigjen ke bawah untuk mengisi posisi staf di Inspektorat dan Keasistenan Kaskostrad.

Presiden Joko Widodo, Pimpinan TNI-Polri dan Mantan Panglima TNI serta Kapolri,
Januari 2019
(sumber: Sekretariat Kabinet RI)

Di samping jabatan baru di Kostrad, terdapat jabatan baru yang muncul sebagai konsekuensi dari diinisiasinya Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) dengan konsep Tri-Matra Terpadu dan berada di bawah koordinasi langsung Panglima TNI. Rencananya, Kogabwilhan akan dibentuk di tiga pangkalan terintegrasi mewakili wilayah utama Indonesia (Barat, Tengah, Timur) dengan dipimpin oleh Panglima berbintang tiga, Wakil Panglima berbintang dua, dan lebih kurang enam Asisten berbintang dua. Jika memang benar-benar terbentuk, Kogabwilhan akan mampu menyerap para perwira non-job tersebut dengan melalui berbagai penilaian kemampuan dan kompetensi, yang mana sejauh ini baru terbentuk embrionya berupa Satuan TNI Terintegrasi (STT) lintas-matra di Natuna, Kepulauan Riau.

Karir Kedua

Dari sisi personalia, sesungguhnya para pengambil kebijakan di TNI, terutama matra darat menyadari bahwa tak semua perwira akan menggapai posisi puncak kemiliteran, atau dalam bahasa yang lebih ringkas, tak semua prajurit bisa menjadi Jenderal. Oleh karenanya, dikembangkan peluang karir kedua (second career) bagi perwira yang berkompeten pada bidang-bidang terkait untuk dapat bekerja pada BUMN dan instansi swasta melalui pembentukan Paban V/Sahlur (Pemisahan dan Penyaluran) baik di Mabes TNI maupun TNI-AD. BUMN maupun instansi swasta dapat mengajukan permohonan penyaluran personel yang kemudian akan diproses lebih lanjut sampai diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan. Begitupun dengan alih status prajurit TNI menjadi PNS Eselon I dan II di Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian, harus melepas status keprajuritannya dan menjadi masyarakat biasa, yang khusus di tubuh TNI-AD telah diatur dalam Peraturan KSAD No. Perkasad/37/VIII/2013 tentang Buku Pedoman Alih Status dan Alih Profesi Prajurit TNI-AD.

Penjajakan karir kedua bagi para prajurit di atas dapat dibilang sebagai model ‘penempatan perwira pada posisi-posisi sipil’ dalam bentuk yang lebih soft, meskipun yang membedakan adalah permintaan atas kebutuhan perwira diajukan oleh instansi terkait, dan mereka yang beralih status serta profesi harus pensiun dari dinas aktif keprajuritan, berbeda dengan masa Dwifungsi yang mana para perwira di-deploy pada institusi sipil sebagai bagian dari doktrin yang mesti dijalankan.

Namun pada prakteknya, kebijakan penyaluran perwira pada instansi-instansi tersebut—terutama BUMN/BUMD—tidak menemukan hasil yang menggembirakan dan berkontribusi pada pengurangan jumlah perwira non-job. Dalam Jurnal Karya Vira Jati milik Sekolah Staf dan Komando TNI-AD (Seskoad), Wisnu Joko Saputro (2016) melakukan otokritik bahwa para prajurit yang namanya diajukan pada instansi pemohon tak semuanya diserap karena tidak memenuhi kriteria dasar yang digariskan instansi tersebut, sehingga kedepannya perlu dilakukan pembekalan tentang pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan instansi pemohon, baik yang bersifat umum seperti business management, strategic management atau entrepreneurial management serta kemampuan lainnya. Karena pada dasarnya prajurit dibentuk untuk bertempur, atau meminjam kalimat Profesor Mochtar Pabotinggi, prajurit dididik untuk menumpas tidak untuk berdiskusi atau berunding, yang mana ‘lubang-lubang’ yang ada tersebut perlu diisi.

Alex Gorsky; pensiun dari U.S. Army, melanjutkan sekolah di Wharton,
menjadi CEO Johnson & Johnson
(sumber: J & J)

Berkaitan dengan keterampilan manajerial utamanya di sektor bisnis, Angkatan Bersenjata Amerika Serikat dan Singapura telah memulainya sejak lama dengan mengirimkan para perwiranya bahkan sejak level perwira pertama untuk belajar di sekolah bisnis terkemuka dunia macam Wharton School at UPenn, Harvard Business School, dan National University of Singapore (NUS) agar ketika tak lagi berdinas militer mereka memiliki kecakapan spesifik yang bisa dimanfaatkan. TNI dapat saja menggodok kebijakan serupa yang ditujukan pada perwira yang ingin memperluas pengetahuan di luar studi stratejik pertahanan yang jamak diambil, sehingga ketika mereka pada akhirnya lebih memilih karir di luar kemiliteran, kemampuan manajerial bisnis telah dimiliki, tak hanya kemudian berperan pasif sebagai komisaris atau semata.

Golden Handshake

Jika kebijakan eksisting dirasa tak cukup mampu memecah permasalahan yang ada, TNI perlu mengadopsi langkah yang lebih radikal dengan menerapkan kebijakan Golden Handshake (Jabat Tangan Emas) berupa pemensiunan dini dengan kompensasi berupa pesangon yang saling menguntungkan. Kebijakan tersebut jamak dilakukan pada sektor privat dan saat ini mulai diterapkan pada sektor publik, antara lain Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) guna menjaga kesehatan sekaligus keseimbangan organisasi.

Dengan adanya kesadaran bahwa tidak semua perwira mampu menduduki jabatan puncak dan kondisi ‘force majeure’ yang memerlukan tindakan cepat, maka dapat dilakukan mekanisme evaluasi besar-besaran para Pamen setingkat Letnan Kolonel senior dan Kolonel (masa tugas di atas 20 tahun) dengan memperhatikan aspek dedikasi, loyalitas, akademik, psikologi serta jasmani. Patokannya jelas, apakah ia telah memiliki kecakapan menjalankan fungsi staf, mampu berpikir stratejik dan memiliki bakat serta kemampuan sebagai pemimpin masa depan. Jika ditemukan hasil yang kurang sejalan dengan patokan di atas, maka diberikan opsi pensiun dini disertai pesangon, sekaligus diintegrasikan dengan pendampingan second career melibatkan lembaga psikologi independen. Mungkin tak semua karir kedua diarahkan pada sektor bisnis, maka bisa diberikan opsi lain yang sesuai dengan minat dan kemampuan yang bersangkutan.

Untuk menerapkan kebijakan yang sama kepada para Pati, saya pribadi menilai sulit terwujud dengan alasan yang telah disebutkan di atas: karir para Pati sudah ‘dikawal’ lewat hadirnya klik-klik tertentu di tubuh militer kita. Pendayagunaan yang bisa dilakukan adalah dengan menempatkan para Pati tersebut guna memperkuat tangki pemikir (think-tank) internal TNI seperti Pusat Pengkajian Strategi (Pusjianstra) TNI, sesuai dengan kualifikasi minimum yang harus dimiliki para Pati yakni memiliki kemampuan sebagai strategist bervisi global, tanpa melupakan lingkungan stratejik nasional maupun regional. Pusjianstra harus menjadi center of excellence perumusan dan pengkajian kebijakan stratejik untuk mendukung tugas-tugas pokok TNI sebagai institusi profesional. Di samping itu, keberadaan Universitas Pertahanan (Unhan) juga dapat diperkuat oleh para Pati sebagai tenaga pengajar dan pengkaji seiring dengan semakin beragamnya program studi yang dikembangkan disana serta semakin banyak jumlah mahasiswa baru yang diterima.

Akhir kata, problem penumpukan para perwira non-job yang bermuara pada kurang sehatnya TNI sebagai organisasi harus dijadikan pelajaran bagi semua pihak, baik TNI sendiri, Kementerian Pertahanan, Parlemen maupun komunitas epistemik, bahwa ihwal personalia bukan semata isu internal namun perlu dikaji secara komprehensif melibatkan semua pemangku kepentingan. Transformasi pertahanan bukan hanya bertumpu pada pembaruan alutsista, tetapi juga harus berfokus pada upaya menjadikan TNI sebagai organisasi yang sehat, kenyal dan siap sedia.

Rabu, 09 Januari 2019

Tentang Revisi UU TNI

Belum genap setahun menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional, Letjen TNI Doni Monardo mendapat penugasan baru oleh Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggantikan Willem Rampangilei. Pasca upacara pelantikan di Istana Negara Rabu (9/1) pagi, Jokowi menekankan bahwa alasan memilih Doni karena ia memiliki jiwa kepemimpinan dan manajemen yang kuat, serta mampu mengambil tindakan cepat di lapangan. Nasib baik akhirnya masih berpihak pada Doni, ketika banyak pihak—termasuk saya—melihat bahwa ia sedang ‘ditendang ke atas’ saat diangkat sebagai Sesjen Wantannas, yang acapkali menjadi kuburan karir para perwira tinggi TNI. Doni pun menjadi perwira aktif pertama yang berhasil menakik karir militer pasca-Wantannas (saya pernah menulis tentang Doni di sini).

Yang menarik berkaitan dengan penugasan baru Doni adalah ia tetap berstatus sebagai prajurit TNI aktif, berbeda dengan para pendahulunya yang saat menjabat sebagai Kepala BNPB telah purnawira dari tugas kemiliteran seperti Mayjen (Purn) Syamsul Maarif dan Laksda (Purn) Willem Rampangilei. Menurut Kepala Staf Presiden Moeldoko, Hal tersebut dilakukan karena dalam praktek penanggulangan bencana saat ini BNPB banyak berbagi peran dengan TNI dan Polri, sehingga untuk memudahkan koordinasi dan konsolidasi dipilihlah Kepala BNPB dengan status prajurit aktif. Implikasinya, perlu dilakukan revisi Perpres No. 8/2008 yang sebelumnya mengatur BNPB berada langsung di bawah Presiden menjadi di bawah Menko Polhukam agar tak melanggar UU No. 34/2004 tentang TNI. Revisi Perpres tersebut menjadi alasan tertundanya pelantikan Doni sebagai Kepala BNPB yang sedianya dilaksanakan pada 2 Januari lalu, meskipun pada akhirnya ia tetap dilantik oleh Presiden, bukan Menko Polhukam.

Doni dan Presiden Joko Widodo sesaat setelah pelantikan sebagai Kepala BNPB
(sumber: setkab.go.id)

Dalam Pasal 47 Ayat (1) UU TNI, dijabarkan bahwa “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”, yang langsung disambung dengan Ayat (2) yang berbunyi “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung”, sehingga jika mengacu pada UU tersebut, prajurit aktif dilarang untuk menduduki jabatan sipil terkecuali pada kantor-kantor tersebut. Langkah Istana dengan merevisi Perpres No. 8/2008 dapat dikatakan sebagai cara ‘menyiasati’ UU TNI karena tidak ada larangan bagi prajurit aktif untuk berdinas kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara (Kemenko Polhukam).

Upaya yang sama juga dilakukan terhadap Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang merupakan hasil reorganisasi Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) berdasarkan UU No. 32/ 2014 tentang Kelautan, yang diperkuat dengan Perpres No. 178/2014 tentang Badan Keamanan Laut. Dalam Perpres tersebut tercantum bahwa Bakamla dikoordinasikan oleh Menko Polhukam sehingga prajurit aktif dapat berdinas di dalam Bakamla, dipimpin oleh seorang perwira tinggi TNI-AL berpangkat Laksamana Madya—saat ini dipimpin Laksdya TNI Achmad Taufiqoerrochman (AAL 1985). Meskipun dalam UU TNI tidak secara gamblang disebutkan bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi ‘Keamanan Laut’, namun jika sekilas melihat namanya yang mengandung unsur ‘keamanan’, orang akan cepat mahfum jika badan tersebut digerakkan oleh para prajurit aktif, utamanya dari TNI-AL.

Berkaitan dengan isu keamanan di laut, pada pertengahan tahun 2018 lalu Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan juga pernah melontarkan gagasan untuk menarik para perwira TNI aktif membantu dirinya di Kemenko Kemaritiman dalam menangani permasalahan kelautan yang banyak dipahami dan dikerjakan oleh prajurit TNI-AL. Memang dalam struktur Kemenko Kemaritiman, terdapat Kedeputian Bidang Koordinasi Keamanan Maritim yang banyak memerlukan sentuhan prajurit matra laut khususnya pada isu-isu spesifik berkaitan dengan keamanan dan pengawasan maritim, hukum laut, sampai delimitasi zona maritim. Dari situlah kemudian Luhut menjajaki peluang untuk merevisi UU TNI dengan membicarakannya bersama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), meskipun sampai saat ini belum ada pembicaraan lanjutan.

Dari berbagai peristiwa tersebut, saya setuju dengan pendapat Mantan Kepala BAIS TNI Soleman B. Ponto (Kompas, 04/02/2017) bahwa perlu dilakukan inventarisasi dan pembenahan personil yang berdinas di luar institusi TNI agar tercipta tertib administrasi di tubuh TNI. Nah, agar tercipta tertib hukum dan basis legitimasi yang kuat, perlu dilakukan revisi UU TNI dengan menambah bidang sipil yang telah disepakati politik negara dapat diisi para prajurit aktif seperti Penanggulangan Bencana, Keamanan Laut dan Penanggulangan Terorisme. Bidang Koordinator bidang Kemaritiman dapat ditambahkan jika telah ditetapkan oleh keputusan politik negara.

Terma ‘keputusan politik negara’ menjadi penting karena ia menjadi katalisator atas terlibatnya—dan pelibatan—TNI di ranah sipil. Di tengah meluasnya batas-batas konsepsi keamanan, maka semua hal dapat masuk ke dalam ‘kotak keamanan’ melalui kerangka sekuritisasi, memungkinkan digunakannya cara-cara luar biasa atas nama keamanan yang acapkali disalahgunakan untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Sehingga perlu ditetapkan secara ketat dan jelas ‘indikator’ yang mampu menyaring institusi sipil mana saja yang dapat diduduki prajurit TNI aktif guna menjunjung supremasi sipil, tanpa sekadar bertolak dari definisi keamanan kekinian yang amat luas.

Namun, ‘keputusan politik negara’ tidak dapat dijadikan sebagai patokan kebenaran mutlak, karena justru disitulah berbagai kepentingan dari para pengambil kebijakan saling bertarung, utamanya dalam hal memajukan supremasi sipil. Jika sebuah negara—khususnya pasca-militerisme—dipimpin oleh pemimpin yang mempunyai visi supremasi sipil sampai jauh ke depan, maka pemerintahan sipil yang berdaulat akan tegak berdiri. Tetapi apabila negara tersebut dipimpin oleh orang sipil yang justru condong pada supremasi militer dan malah didukung segenap masyarakatnya, jelas bahwa supremasi sipil berada dalam ancaman. Oleh karena itu, selain kedewasaan dan komitmen yang kuat dalam memajukan supremasi sipil dari para pemimpin negara, Salim Said (2015) berargumen bahwa diperlukan karakter masyarakat yang solid, tidak terfragmentasi, dan mampu menemukan kesepakatan bersama tentang bagaimana mengelola negara. Masuk—dan dimasukannya—militer dalam kehidupan sipil secara masif merupakan bukti dari kondisi masyarakat yang terpecah-pecah, saling bertentangan, tak berdayanya kelas menengah dan civil society yang menuntun jalan pada terciptanya ‘praetorian society’. Dari titik itulah, dapat lahir ‘praetorian military’ yang siap merebut kendali pemerintahan sipil kapan saja.


Daftar Bacaan

Salim Said. 2015. “Mengundang Keterlibatan Angkatan Bersenjata: Catatan dari Mesir dan Thailand”, Prisma Vol. 24 (1): 98-118.

Soleman B. Ponto. “Status TNI di Pusaran Institusi Sipil”, Kompas, 04/02/2017.



Jumat, 04 Januari 2019

'Buku Terlarang' dan Lagu Lama Ketakutan Itu


Sepanjang lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, pelarangan atau pemberangusan buku bukanlah hal yang jarang terjadi. Utamanya memasuki dekade 1960-an pasca geger G30S menjelang akhir tahun 1965, pelarangan—sekaligus pembakaran—buku yang bernuansa sosialisme, komunisme, bahkan yang memuat pemikiran dan gagasan Presiden Soekarno marak terjadi. Pemandangan menyayat hati dimana ribuan buku ‘terlarang’ tersebut ditumpuk di satu lokasi terbuka dan dibiarkan tersambar api jamak terlihat di berbagai kota-kota Indonesia.

Ketika Orde Baru berkuasa, penerbitan buku-buku dengan tema sensitif atau yang ditulis oleh orang yang dianggap memiliki rekam jejak kiri tidak mendapatkan ruang yang layak. Munculnya teks-teks yang berupaya menggugat narasi tunggal Orde Baru mengenai peristiwa G30S dianggap seperti mimpi di siang bolong, karena selain dipastikan tak akan lolos screening Kejaksaan Agung atau organ-organ intelijen Orde Baru, indoktrinasi yang menyasar kalangan masyarakat luas yang berupaya menjejalkan pemikiran bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan aktor tunggal dalam peristiwa G30S masif terjadi lewat berbagai medium: buku, film, diorama, museum, tak terkecuali pendidikan sejarah di tingkat sekolah. Bagi mereka yang lapar akan asupan narasi alternatif mengenai geger G30S, jelas Indonesia bukan tempat yang tepat. Pilihannya adalah keluar dari tanah air, atau secara klandestin memanfaatkan jaringan bawah-tanah untuk mendapatkan bahan-bahan terlarang tersebut.

Pemusnahan Buku-Buku Kiri dan 'Angkatan 66'
(sumber: hariansejarah.id)

Pada tahun 1994, Sekretariat Negara meluncurkan buku putih berjudul “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya” yang secara jelas menjadi pegangan utama masyarakat dalam memahami peristiwa G30S ‘PKI’. Hampir 2 dekade sebelumnya, telah muncul ‘kitab’ lain yang berangkat dari perspektif kesejarahan yakni buku “Sejarah Nasional Indonesia” (1975) yang terdiri dari 6 jilid berdasar pembabakan waktu. Penulisan mengenai peristiwa G30S di buku tersebut tak lepas dari pemosisian PKI sebagai satu-satunya pelaku, karena memang agenda penulisan SNI digawangi oleh Brigjen Nugroho Notosusanto, sejarawan-cum-perwira militer yang sejak tahun 1964 telah diserahi tugas oleh Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution untuk mengantisipasi penulisan sejarah dari perspektif kiri melalui pembentukan Biro Chusus Sejarah Staf Angkatan Bersenjata—kelak menjadi Pusat Sejarah TNI (Asvi Warman Adam, 2009).

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintahan Orde Baru sukses men-demonisasi PKI dan komunisme sebagai hal yang berbahaya dan patut diwaspadai kemunculannya. Perlahan kemudian ia menjadi hantu yang melahirkan ketakutan yang irrasional. Contoh menarik diungkapkan Stanley Adi Prasetyo (2008), ketika film komedi “Kiri Kanan OK” (Deddy Armand, 1989) ingin dilepas ke pasaran, Departemen Penerangan mengajukan keberatan atas judul tersebut dan lebih merekomendasikan judul “Kanan Kiri OK” yang mendahulukan kata kanan dibanding kiri, yang kemudian menjadi judul resmi film tersebut. Sungguh suatu hal yang menggelikan—sekaligus ironis—bahwa Negara mengidap paranoia tertentu terhadap sepotong kata.

Mulai Terbuka

Keruntuhan Orde Baru pada tahun 1998 membuka ruang yang amat lebar bagi munculnya teks-teks alternatif mengenai peristiwa G30S. Versi tunggal yang memandang peristiwa G30S sebagai pemberontakan PKI semata mendapatkan ‘penentangan akademik’ melalui terbitnya berbagai buku dan karya tulis. Asvi Warman Adam (2018)—yang beberapa waktu lalu dikukuhkan sebagai Profesor Riset bidang Sejarah Politik LIPI—setidaknya mencatat 5 versi lain terkait dalang peristiwa G30S yang sebenarnya telah lama terserak namun tak muncul ke permukaan, yakni (1) G30S sebagai puncak konflik internal di tubuh Angkatan Darat (Anderson dan McVey, 1971); (2) G30S dipersiapkan Presiden Soekarno (Hughes, 1967; Dake, 1973); (3) G30S dikendalikan oleh Central Intelligence Agency/CIA (Scott, 1985; Robinson, 1984); (4) G30S merupakan kudeta merangkak yang digerakkan Jenderal Soeharto (Wertheim, 1970; Soebandrio, 2001); dan (5) G30S merupakan hasil konspirasi unsur Nekolim dari dalam dan luar negeri (Soekarno, 1967). Kewajiban penulisan G30S yang menyertakan kata PKI setelahnya--G30S/PKI—lama-kelamaan kehilangan relevansinya.

Langkah paling progresif berkaitan dengan pelurusan sejarah 1965 adalah ketika Presiden Abdurrahman Wahid di sekitaran awal tahun 2000-an secara terbuka meminta maaf atas keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU) dalam pembantaian massal 1965-1966 dan menyerukan pencabutan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 karena bertentangan dengan konstitusi. Yang membuatnya berarti adalah ia meminta maaf bukan hanya dalam kapasitas sebagai mantan Ketua Umum PBNU, tetapi juga Presiden Republik Indonesia. Pesannya pun jelas, ia tak ingin generasi sekarang mewarisi ‘kabut sejarah’ karena tak mampu—dan berani—membuka lembaran sejarah 1965 yang selalu ditutup-tutupi selama puluhan tahun.

Didukung dengan iklim demokrasi yang semakin menghangat, sejarah yang dahulu melulu ditulis dari perspektif penguasa kemudian bergeser ditulis dari kacamata para korban. Buku-buku yang memuat kesaksian para mantan tahanan politik (tapol) 1965 selama berada di penjara dan kamp-kamp Orde Baru semakin mudah didapat, yang ditulis oleh beberapa nama antara lain Pramoedya Ananta Toer, Hersri Setiawan, Djoko Sri Moeljono, Mars Noersmono, Gregorius S. Goenito, tak terkecuali Soebandrio dan Omar Dani. Hadir pula mereka yang menganalisis geger G30S dan kejadian-kejadian setelahnya menggunakan pisau bedah yang berbeda, seperti dari sudut pandang sosial-politik di tingkat lokal, politik global selama Perang Dingin (Kurasawa, 2015; Robinson, 2018), bahkan ada yang menganalisis upaya militer untuk melegitimasi PKI dan komunisme sebagai ‘aktor jahat’ melalui pembangunan berbagai monumen serta museum (McGregor, 2007).

Kembali Sebagai Ancaman

Namun sayangnya, kerja-kerja akademik untuk membuka tabir gelap tersebut terhambat oleh paranoia kalangan tertentu di tubuh militer yang tak ingin sejarah 1965 diungkit-ungkit kembali ke permukaan. Beberapa peristiwa razia buku yang dianggap berpotensi menyebarkan paham komunisme dan ideologi terlarang lainnya semakin giat dilakukan tentara di beberapa daerah. Seperti yang paling anyar terjadi di Kediri akhir Desember lalu, aparat gabungan tentara dan polisi berhasil menarik buku-buku yang diduga mempropagandakan komunisme dan PKI, seperti Manifesto Komunis karya Engels dan Marx, serta Menempuh Jalan Rakyat karangan Aidit. Namun di samping itu, banyak pula buku yang ditarik yang sesungguhnya berupaya meluruskan sejarah 1965—dan Peristiwa Madiun 1948, seperti Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan (Gie, 1997), Negara Madiun? (Setiawan, 2002), Soekarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965 (Onghokham, 2009), dan Benturan NU-PKI 1948-1965 (PBNU, 2013). Malah ada yang ditarik karena judulnya yang dianggap provokatif, seperti Islam Sontoloyo karangan Soekarno yang isinya justru memaparkan pemikiran Soekarno mengenai pembaruan Islam dari beberapa oknum yang memanfaatkan keagungan nama Islam. Banyak pihak akhirnya memandang bahwa TNI memiliki problem literasi sejarah, yang sesungguhnya berlawanan dengan pengarusutamaan profesionalisme yang sedang digiatkan di berbagai lini komando.

Meskipun dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia (BPPI) 2015—yang menjadi acuan upaya pertahanan negara—Kementerian Pertahanan tak lagi menyebutkan komunisme sebagai salah satu bentuk ancaman berdimensi ideologi, tetapi dalam BPPI 2008 secara gamblang disebutkan bahwa “ancaman ideologi komunis masih tetap merupakan bahaya laten yang harus diperhitungkan”. Malah dalam bagian setelahnya, tertulis bahwa muncul usaha dari pihak-pihak tertentu yang telah melebur dalam masyarakat untuk menyebarkan ajaran komunis melalui “penulisan buku-buku sejarah dengan tidak mencantumkan peristiwa G-30-S/PKI dengan Dewan Revolusi”. 10 tahun pasca dirilisnya BPPI 2008, tentara tetap memandang komunisme sebagai hantu yang menakutkan, dan ketakutan itu terus direproduksi serta disebarluaskan kepada masyarakat.

Anggota Kodim 0809 Kediri Menunjukkan Buku-Buku Hasil Sitaan
(sumber: tempo.co)

Sebagai sebuah ideologi, komunisme dapat dikatakan bangkrut karena tak ada entitas setingkat negara yang berhasil mempraktikkan ideologi tersebut secara murni dan mencapai cita-cita masyarakat tanpa kelas yang terbebaskan serta hidup bermartabat. Rusia dan Tiongkok yang dikenal sebagai ‘ibukota’ komunisme pun perlahan merangkak menuju cara hidup kapitalistik, menyongsong kompleksnya realita ekonomi-politik yang tak memberikan ruang bagi pengaplikasian gagasan ideal yang digariskan Marx beratus-ratus tahun sebelumnya.

Namun dalam konteks Indonesia, komunisme masih laku sebagai dagangan politics of fear, dan patut diingat bahwa perumusan ancaman keamanan nasional merupakan proses politik yang tak hanya kedap di antara para aktor keamanan yang ‘profesional’ dan beredar di antara isu-isu high politics semata . Ketika Negara menganggap suatu hal dapat membahayakan eksistensinya—baik yang berdimensi militer maupun non-militer—maka ia dapat disebut sebagai ancaman, tetapi kembali lagi, Negara dijalankan oleh para politisi yang memiliki kepentingan atas banyak hal dan mereka dapat menentukan suatu hal sebagai sebuah ancaman atau tidak. Contoh yang paling ekstrim dapat ditilik saat Soeharto masih bercokol di puncak kekuasaan Orde Baru, dimana definisi keamanan nasional dimonopoli oleh segelintir elit penguasa yang ditafsirkan sebagai keamanan kedudukan penguasa dari berbagai pihak yang ingin menjatuhkannya (Jemadu, 2008). Mereka yang berpandangan berbeda dengan visi yang telah digariskan Orde Baru akan mudah dilabeli sebagai ‘PKI, komunis, atau simpatisan kiri’, dianggap sebagai ancaman keamanan, dan disingkirkan dari kehidupan bermasyarakat. Isu komunisme dijadikan sebagai medium kepatuhan masyarakat terhadap Negara untuk menjaga kondusivitas yang justru semu.

Di masa ketika konsepsi ancaman keamanan nasional menjadi sangat lentur (azymutal) dan multidimensional pasca usainya Perang Dingin seperti saat ini, kondisi tak banyak berubah karena apapun dapat dimasukan dalam kotak ancaman: Bukan hanya ancaman militer tetapi juga ancaman politik, ekonomi, kultural, tak terkecuali ideologi. Masih bergaungnya komunisme sebagai ancaman ideologi dalam berbagai dokumen, teks resmi dan forum-forum militer kemudian mendapatkan legitimasinya atas teori keamanan nasional yang lama-kelamaan semakin advance—namun ambigu. Hal tersebut didukung dengan masih eksisnya produk hukum yang menetapkan komunisme sebagai ideologi terlarang seperti TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang sialnya tak memiliki mekanisme uji materiil atas kandungan isinya.

Masa Depan

Pun ketika pemberangusan buku yang dilakukan tentara tersebut dilandasi alasan agar generasi muda terselamatkan dari ide-ide komunisme, informasi mengenai ideologi tersebut tak hanya tersedia dalam teks-teks konvensional. Di era dimana semua sumber-sumber pengetahuan tak terhalang batas ruang dan waktu sebagai dampak globalisasi, siapapun dapat mencari serta mengakses apa yang ingin ia ketahui melalui kekuatan internet. Teks-teks kunci komunisme dapat dicari oleh siapapun—pria, wanita, tua dan muda—semudah ketika mencari resep makanan di Google.

Malah yang saat ini menjelma menjadi ancaman nyata ialah mudahnya masyarakat terpapar propaganda ‘terorisme kanan’ untuk melaksanakan aksi yang mengatasnamakan jihad melalui internet dan media sosial. Utamanya berkaitan dengan teks-teks yang berisi pemikiran ISIS dan derivasinya di Asia Tenggara, ia sangat mudah dicari oleh siapapun yang ingin mendalaminya, sedikit banyak mengubah pola aksi teror yang biasanya mengandalkan jaringan, menjadi mampu eksis atas orang-perorang (lone-wolf). Tak adakah tindakan yang diambil aparat keamanan untuk membendung hal itu? Jelas ada. Beberapa langkah dilakukan Polri bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan dengan memantau, menutup situs-situs yang terbukti menyebarkan propaganda teror, bahkan menangkap orang-orang yang berada di balik kegiatan tersebut. Apakah tindakan itu berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah aksi teror yang terjadi? Memang belum ada kajian komprehensif yang mampu menjelaskan hubungan keduanya, namun di tengah kehidupan ‘rimba raya’ internet yang amat kompleks, logika pemberantasan yang berlaku di dunia nyata menjadi tak berlaku. Terdapat mekanisme teknologi yang canggih yang benar-benar mewujudkan adagium “mati satu, tumbuh seribu”. Kerja penanggulangan penyebaran ideologi teror pun bukanlah kerja singkat, cepat dan praktis.

Dari sini saya ingin mengatakan, bahkan kerja yang dilakukan Polri dan aktor keamanan lain yang padat teknologi tinggi untuk menanggulangi penyebaran ideologi teror acapkali masih sulit memperlihatkan keberhasilan yang memuaskan, apalagi model razia buku konvensional seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, yang tak didukung pemahaman mendalam tentara atas apa yang ingin mereka berantas.

Dalam pandangan saya, jika memang tentara ingin benar-benar ‘memberantas’ penyebaran paham komunisme, jalan terbaik—sekaligus elegan—ialah dengan memahami lebih dalam dahulu apa itu komunisme, PKI, dan G30S yang mereka percaya digerakkan oleh PKI. Undang para pemikir politik, filsafat, sejarawan yang memiliki pandangan beragam mengenai hal tersebut, bukan hanya mereka yang berpikiran sejalan dengan tentara, malah kalau bisa para penyintas dari berbagai peristiwa berdarah pasca-1965. Keberagaman pandangan justru akan membantu tentara dalam memandang apa itu sebenarnya komunisme, realita dan potensi perkembangannya di masa depan, bukan hanya sekadar latah mendengungkan isu “komunisme gaya baru” tiap awal bulan Oktober.

Tindakan merazia buku-buku itupun tentara tak bisa bergerak sendiri, karena seharusnya dilakukan oleh penyidik kepolisian berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan setempat yang tertuang dalam Pasal 38 KUHAP (Tirto.id, 2018). Kasarnya, tentara tak memiliki dasar hukum untuk melakukan tindakan penyitaan buku, meskipun ia dilandasi niat untuk mengurangi keresahan yang ada di tengah masyarakat. Namun di tengah realita bahwa tentara juga mesti menjalankan perannya untuk melakukan pembinaan teritorial di daerah, tindakan penyitaan buku oleh tentara di daerah sulit untuk dihentikan. Yang harus dijadikan perhatian adalah tentara harus mampu memilah dengan objektif mana saja teks yang memiliki potensi penyebaran ajaran komunisme sebelum ia dilimpahkan ke penyidik atau Kejaksaan, tidak sekadar merazia buku yang menyandang judul-judul berbau kiri di sampulnya, seperti yang terjadi di Kediri lalu.

Lebih baik lagi menurut saya, model penyitaan buku seperti itu dihentikan oleh tentara dan polisi. Kalau masyarakat—yang dipercaya sebagai ‘ibu kandung’ tentara—dianggap sudah matang dan dewasa, kebebasan dalam mencari informasi mengenai apapun mesti dihormati. Dari sanalah akan muncul mekanisme verifikasi yang mandiri, yang tumbuh dari nalar kritis karena segala sumber informasi dari berbagai sisi dapat diakses dan diperbandingan secara terbuka.

Tapi, kapan hal tersebut dapat benar-benar terwujud?