Kamis, 07 Desember 2017

Hadi Panglima TNI, Lalu Siapa KSAU Berikutnya?

Hari Rabu tanggal 6 Desember 2017 lalu, diantar oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan kompatriotnya sesama kepala staf, Jenderal Mulyono dan Laksamana Ade Supandi, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) sekaligus calon Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di hadapan Komisi Pertahanan DPR-RI. Selama lebih dari 7 jam, Marsekal Hadi menjabarkan visi, misi, dan strategi militer yang akan dilaksanakannya kelak ketika nanti benar-benar menjabat sebagai Panglima TNI yang baru. Dan setelah melalui proses diskusi tertutup, akhirnya Ketua Komisi Pertahanan DPR-RI Abdul Kharis Almasyhari mewakili seluruh fraksi dalam komisi tersebut menyatakan menyetujui pengangkatan Marsekal Hadi sebagai Panglima TNI menggantikan Jenderal Gatot yang akan pensiun bulan Maret 2018 mendatang. Tetapi bukan tidak mungkin sebelum bulan Maret Hadi akan dilantik menjadi Panglima TNI, guna mengantisipasi turbulensi politik dan ancaman pertahanan menjelang Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) Serentak dan lebih jauh lagi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto saat mengikuti Uji Kepatutan dan Kelayakan Calon Panglima TNI, Desember 2017
(sumber: merdeka.com)

Dalam tulisan sebelumnya (Siapa Bisa Jadi Panglima?) saya memprediksi bahwa Hadi-lah yang akan ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Panglima TNI yang baru dan hal tersebut terbukti belakangan ini (walaupun sebenarnya desas-desus penunjukkan Hadi sudah santer diberitakan dalam berbagai media sejak pertengahan tahun ini dan saya hanya merangkumnya saja dalam tulisan singkat tersebut). Nah, dalam tulisan ini, saya akan mencoba membaca arah suksesi kepemimpinan Angkatan Udara setelah ditinggal oleh Marsekal Hadi yang baru menjabat sebagai KSAU kurang dari 1 tahun tersebut.

Hadi, yang merupakan lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) 1986 setidaknya melompati 2 angkatan dalam menduduki posisinya sebagai KSAU menggantikan Marsekal Agus Supriyatna yang merupakan abituren AAU 1983, sehingga kans bagi angkatan 1984 dan 1985 tidak terlalu lebar walaupun tak tertutup sama sekali. Apalagi posisi teras TNI AU seperti Wakil KSAU dan Inspektur Jenderal TNI AU saat ini juga dijabat oleh perwira tinggi angkatan 1986, yakni masing-masing Marsekal Muda Yuyu Sutisna dan Marsekal Muda Umar Sugeng Hariyono sehingga “86-isasi” TNI AU merupakan sebuah keniscayaan yang tinggal menunggu waktu yang tepat saja.

Walaupun begitu, tak elok rasanya kalau kita langsung menjustifikasi angkatan 1986 sebagai “pewaris tunggal” kepemimpinan TNI AU. Jika kita melihat lebih dalam, setidaknya terdapat 4 perwira tinggi TNI AU berbintang 3 yang memiliki kans sebagai KSAU, yakni Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Marsekal Madya Hadiyan Sumintaatmadja (AAU 1983), Wakil Gubernur Lemhannas Marsekal Madya Bagus Puruhito (AAU 1984), Kepala Badan SAR Nasional Marsekal Muda (yang akan dinaikan pangkatnya menjadi Marsekal Madya) Muhammad Syaugi (AAU 1984), dan Wakil KSAU Marsekal Muda (yang akan dinaikan pangkatnya menjadi Marsekal Madya) Yuyu Sutisna (AAU 1986).


KSAU Marsekal Hadi T. (depan), bersama dengan Marsda Yuyu Sutisna (kedua dari kiri), Marsdya Hadiyan S. (keempat dari kiri), dan Marsda Dedy Permadi (kelima dari kiri)
(sumber: cnnindonesia.com)

Jika dilihat dari jarak sebelum masuk masa pensiun, nama Bagus Puruhito memang yang paling unggul karena ia baru akan pensiun pada bulan Oktober 2020, nama-nama lain seperti Hadiyan Sumintaatmadja akan masuk masa pensiun pada bulan Januari 2019, M. Syaugi masuk masa pensiun pada bulan Oktober 2018, dan Yuyu Sutisna masuk masa pensiun pada bulan Juni 2020. Namun, sebagaimana pernah saya tulis dalam postingan yang telah lewat (Ajudan Presiden dan Politik Istana), status Bagus sebagai bekas Ajudan Presiden SBY pada tahun 2004-2009 menghambat karir kemiliterannya di masa kepresidenan Joko Widodo saat ini, apalagi Bagus telah “dilompati” sebanyak 2 kali, yakni pertama pada di tahun 2015, yang mana Presiden Jokowi justru memilih nama Wakil Inspektur Jenderal TNI Marsekal Muda Agus Supriyatna (AAU 1983) yang namanya tak pernah masuk bursa kandidat KSAU, dan kedua pada awal tahun 2017 ini ketika Presiden Jokowi memilih nama Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan Marsekal Madya Hadi Tjahjanto yang baru menjabat di posnya selama kurang dari 3 bulan sebelum diangkat menjadi KSAU. Sehingga saya pun yakin, walaupun namanya akan selalu masuk dalam bursa kandidat KSAU, Bagus tidak akan menaruh minat yang terlalu besar, dan dalam hal ini, kans Yuyu Sutisna yang lebih terbuka lebar.

Hal unik yang menjadi kekhasan suksesi kepemimpinan TNI AU dibanding matra lainnya ialah adanya kepercayaan bahwa calon KSAU yang berasal dari angkatan bertahun ganjil-lah yang paling memiliki kans untuk terpilih, atau dikenal dengan istilah “lucky ganjil” yang setidaknya telah dimulai sejak terpilihnya Marsekal Rilo Pambudi sebagai KSAU tahun 1993-1996 yang merupakan abituren AAU 1965, dan seterusnya selalu terpilih KSAU yang berasal dari angkatan ganjil sampai kemudian mitos tersebut patah ketika Marsekal Hadi yang berasal dari angkatan genap (1986) terpilih sebagai KSAU. Jika kemudian Presiden Jokowi ingin kembali mengulang memori “lucky ganjil” tersebut, maka kans Hadiyan Sumintaatmadja yang paling besar karena ia satu-satunya perwira tinggi bintang 3 yang berasal dari angkatan ganjil. Tetapi kembali lagi, Jika Hadiyan yang terpilih, pensiun di awal tahun 2019 merupakan sebuah langkah yang berbahaya karena akan ada suksesi kepemimpinan TNI AU di tahun politik yang rentan dipolitisir oleh sebagian kalangan. Selain itu, masa jabatan yang hanya 1 tahun akan membuat upaya pembangunan kekuatan pertahanan udara menjadi tidak optimal, karena setidaknya para KSAU terdahulu memegang jabatan rata-rata 2-3 tahun yang membuat tahapan pembangunan kekuatan TNI AU dapat dilakukan secara matang.


Para Mantan KSAU; termasuk yang beruntung karena bagian dari angkatan bertahun ganjil
(sumber: portal-komando.com)

Hal unik lainnya dalam suksesi kepemimpinan TNI AU ialah acapkali muncul “kuda hitam” perwira tinggi berbintang 2 yang mampu mengalahkan para perwira tinggi berbintang 3 yang namanya telah lalu-lalang dalam bursa pemilihan, antara lain Marsekal Muda Imam Sufaat yang terpilih menjadi KSAU saat dirinya masih menjabat sebagai Panglima Komando Operasi I TNI AU di tahun 2009 dan Marsekal Muda Agus Supriatna yang terpilih sebagai KSAU saat menduduki pos Wakil Inspektur Jenderal TNI di tahun 2015. Jika Presiden Jokowi ingin bertindak di luar garis dengan kembali memilih nama lain di luar bursa, maka nama yang paling menonjol saat ini ialah Marsekal Muda Dedy Permadi yang merupakan “wakil” dari angkatan 1985 yang belum ada satupun yang menyandang pangkat bintang 3 di tubuh TNI AU. Dedy telah menduduki pos bintang 2 sebanyak 4 kali, mulai dari Gubernur AAU, Asisten Pengamanan KSAU, Asisten Personel KSAU, dan saat ini menjabat sebagai Asisten Personel Panglima TNI yang mana pengalaman-pengalaman tersebut akan sangat berguna jika kelak ia terpilih sebagai KSAU.

Tetapi dari pengamatan saya, entah mengapa saya yakin Yuyu Sutisna yang akan terpilih sebagai KSAU yang baru, karena pertama, jalur Wakil KSAU merupakan salah satu “jalan tol” menuju kursi KSAU karena merupakan pos nomor 2 setelah KSAU sendiri, dimana sejak tahun 2006 sudah ada 3 Wakil KSAU yang diangkat menjadi KSAU (Herman Prayitno, Subandrio, dan Imam Sufaat); kedua, Yuyu berasal dari angkatan yang sama dengan Panglima TNI soon-to-be Marsekal Hadi sehingga pasti memiliki kedekatan yang tidak terjadi dengan para calon KSAU lainnya yang namanya telah masuk bursa; ketiga, Yuyu telah menduduki berbagai pos mulai dari staf, operasi, sampai tugas diplomatik pertahanan, dan juga ia telah melewati pos panglima komando operasi yang biasanya menjadi runtutan karir seorang KSAU sehingga diharapkan melalui pengalamannya ia mampu untuk menjalankan tugas secara optimal sebagai KSAU.

Pada akhirnya, jawaban siapa yang akan terpilih sebagai KSAU yang baru ada di tangan Presiden Jokowi, namun yang pasti, siapapun yang terpilih harus memiliki kompetensi, kapasitas, dan kapabilitas dalam mewujudkan Indonesia bukan hanya sebagai negara maritim sesuai visi Poros Maritim Dunia, tetapi juga “negara angkasa” yang mampu berdaulat atas wilayah udaranya.