Jumat, 17 Maret 2017

Linggarjati dan Relasi Strategis Indonesia-Belanda


Jarak rumah saya di Kota Cirebon dengan Gedung/Rumah Perundingan Linggarjati yang terletak di Linggarjati, Kabupaten Kuningan tidak seberapa jauh, jika berkendara dengan motor dapat dicapai sekitar satu jam karena posisinya yang terhitung sebagai wilayah perbatasan antara Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon. Tempat itu juga sudah jadi obyek wisata sejarah yang diunggulkan di Kuningan, bahkan sepertinya telah menjadi tempat study tour paling dekat sekaligus menarik untuk pelajar di Wilayah III Cirebon. Saya mungkin sudah lebih dari lima kali datang kesana, selain untuk wisata sejarah, tempat ini juga cocok untuk ngadem karena kesejukan udaranya, lari dari panasnya Cirebon yang cukup menyengat.

PM Schermerhorn dan PM Sjahrir menyepakati hasil Perundingan Linggarjati, disaksikan pihak penengah Lord Killearn dari Inggris
(Sumber: Gahetna)

Dilihat dari ukuran dan bentuknya, Rumah Perundingan Linggarjati ini jelas bukan rumah sembarang orang di zamannya, terlebih lokasinya yang cukup terpencil di kaki Gunung Ciremai, hanya orang kaya zaman Belanda yang bisa membangunnya. Dan memang benar, jauh sebelum digunakan sebagai tempat berunding, rumah ini adalah milik keluarga Jacobus Johannes (Koos) van Os, pengusaha yang ketika itu mempunyai bisnis di Cirebon dan Kuningan. Setelah van Os wafat pada tahun 1934, rumah tersebut dikontrak dan difungsikan menjadi hotel dengan nama Rustoord sampai kemudian pasca-Proklamasi Kemerdekaan di tahun 1945, Hotel Rustoord bersalin nama menjadi Hotel Merdeka.

Linggarjati, Kok Bisa?

Dalam sejarah, apa yang dinamakan Perundingan Linggarjati sesungguhnya tidak dimulai dan diakhiri di Linggarjati saja. Menurut Rushdy Hoesein dalam “Terobosan Soekarno Dalam Perundingan Linggarjati” (2010), setidaknya telah berlangsung 11 kali seri perundingan, dengan rincian Perundingan I pada 22 Oktober 1946 sampai Perundingan IV pada 3 November 1946 diadakan di Jakarta, kemudian Perundingan V (11 November 1946) sampai Perundingan VIII (13 November 1946) dilanjutkan di Linggarjati, lalu Perundingan IX (15 November 1946) sampai Perundingan XI (16 November 1946) yang kembali diadakan di Jakarta. Nama Linggarjati disematkan sebagai nama perundingan karena keputusan-keputusan penting sekaligus krusial selama perundingan lebih banyak diambil selama di Linggarjati. Pertanyaannya, mengapa Linggarjati dipilih menjadi lokasi perundingan?

Sutan Sjahrir, ca. 1947
(Sumber: Nederlands Fotomuseum)

Pemilihan Linggarjati sebagai lokasi perundingan termasuk unik. Munculnya nama Linggarjati tidak lepas dari rekomendasi Maria Ulfah, Menteri Sosial Kabinet Sjahrir II sekaligus juga anak mantan Bupati Kuningan R.A.A Mochammad Achmad, yang berupaya mencari jalan tengah agar Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dapat hadir dalam perundingan untuk memecah kebuntuan, namun karena perundingan diadakan di Jakarta yang ketika itu sudah diduduki NICA, Soekarno-Hatta enggan hadir. Untuk menghadirkan Delegasi Belanda ke Yogyakarta, ibukota Republik pun tidak mungkin karena mereka tidak diizinkan pemerintahnya untuk datang kesana, sehingga Maria yang pituin Kuningan mengajukan Linggarjati dengan jaminan keamanan, transportasi, dan akomodasi hotel, termasuk di dalamnya rumah Perundingan Linggarjati yang sekarang kita kenal. Rekomendasi ini kemudian diterima baik kedua belah delegasi. Mudahnya nama Linggarjati disetujui juga karena faktor Sutan Sjahrir, Perdana Menteri sekaligus Ketua Delegasi Indonesia yang memang bersahabat dekat dengan Maria Ulfah sehingga percaya atas jaminan yang diberikannya. Kuningan--dan juga Cirebon--juga merupakan basis lama para pendukung Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Sjahrir dan Hatta pada 1931, diantaranya terdapat nama dr. Sudarsono--ayah Prof. Juwono Sudarsono, mantan Menteri Pertahanan--yang lama bertugas di 'Oranje' Ziekenhuis (saat ini RSUD Gunung Jati Cirebon) serta menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia di Perundingan Linggarjati dalam kapasitasnya sebagai Menteri Negara Kabinet Sjahrir III. 

Legasi Persetujuan Linggarjati

Setelah gagalnya Perundingan Hoge Veluwe yang diadakan di Belanda pada April 1946, Perundingan Linggarjati yang menghasilkan Persetujuan Linggarjati menjadi arena strategis dimana kedua belah pihak, baik Indonesia maupun Belanda dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dalam melihat permasalahan yang ada. Masing-masing ketua delegasi, yakni mantan Perdana Menteri Belanda Willem Schermerhorn dan Perdana Menteri Indonesia Sutan Sjahrir juga memiliki komitmen untuk menjaga kehormatan kedua negara, apalagi kedua tokoh ini disatukan dalam latar belakang yang sama; sosialis dan anti-fasis, sehingga mereka dapat dengan mudah membuka hati masing-masing. Secara umum, Perundingan Linggarjati--yang setelah hasilnya disepakati dikenal sebagai Persetujuan Linggarjati--memiliki tiga makna penting (Hoesein, 2010), antara lain:

1. Persetujuan Linggarjati merupakan kesepakatan internasional pertama yang dihasilkan oleh Indonesia dan Belanda;
2. Persetujuan Linggarjati merupakan dasar pemikiran semua persetujuan yang kemudian dilaksanakan antara Indonesia dan Belanda, yang akhirnya bermuara pada penyelesaian masalah dekolonisasi dalam Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949;
3. Persetujuan Linggarjati dicapai dan disepakati hanya oleh Delegasi Indonesia dan Delegasi Belanda tanpa adanya campur tangan pihak Inggris yang hanya murni sebagai penengah.

Walaupun kemudian dalam kenyataannya poin-poin kesepakatan dalam Persetujuan Linggarjati banyak dilanggar, utamanya oleh pihak Belanda sendiri, namun Persetujuan Linggarjati tetap dikenang sebagai tonggak awal hubungan baru yang setara antara Indonesia dan Belanda, bukan lagi sebagai penjajah-terjajah, tetapi sebagai dua negara berdaulat yang saling menghormati.

Legasi inilah yang berusaha terus dikenang dan dilanjutkan oleh Indonesia-Nederland Society (INS), organisasi non-pemerintah yang didirikan di Belanda, dengan misi memperkuat hubungan antara Indonesia dan Belanda dalam berbagai bidang, mulai dari hubungan bilateral, ekonomi, budaya, sampai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sejak tahun 2012, secara berkala INS memberikan penghargaan dengan nama “Linggarjati Award” kepada sosok yang berjasa dalam memajukan hubungan baik antara Indonesia dan Belanda. Penghargaan prestisius ini telah diberikan antara lain kepada Joty ter Kulve dan Wim van Os, keturunan dari Koos van Os yang mendirikan rumah yang menjadi lokasi Perundingan Linggarjati (2012), mantan Menteri Luar Negeri Belanda Dr. Bernard Bot (2013), mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Dr. Hassan Wirajuda (2014), mantan Menteri Perdagangan Indonesia Dr. Arifin M. Siregar (2015), dan yang  terakhir kepada Menteri Luar Negeri Indonesia yang juga mantan Dubes RI untuk Belanda Retno LP Marsudi (2016). 

Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, dan Direktur INS Jesse Kuijper saat penganugerahan Linggarjati Award 2016 
(Sumber: http://indonesia-nederland.org/events/ins-grants-linggarjati-award-to-minister-retno-marsudi/)

Apa yang terjadi lebih dari 70 tahun yang lalu di Linggarjati, diharapkan dapat terus berkembang menjadi hubungan yang saling menghormati dan menguntungkan antara kedua negara, bukan hanya bersifat G to G tetapi juga B to B dan C to C. Apalagi saat ini dunia tengah dihadapi permasalahan yang membutuhkan kemitraan erat dalam penyelesaiannya, seperti terorisme, perlucutan senjata nuklir dan krisis energi di samping berbagai isu-isu mainstream yang sudah banyak disinggung seperti ekonomi dan perdagangan. Tahun 2016 sendiri menjadi tahun yang hangat dalam konteks relasi strategis Indonesia-Belanda, ditandai dengan kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo ke Belanda pada April 2016 yang merupakan kunjungan Presiden RI pertama setelah 16 tahun, dan kemudian dibalas dengan kunjungan kenegaraan PM Belanda Mark Rutte ke Indonesia pada November 2016, yang mana dari kedua kunjungan tersebut berhasil disepakati kerjasama di bidang perdagangan, investasi, pembangunan infrastruktur maritim, pengelolaan air serta pariwisata di antara kedua negara. Bahkan di sela-sela kunjungannya, PM Rutte mewakili Pemerintah Kerajaan Belanda mengembalikan 1.500 artefak sejarah milik Indonesia yang selama ini tersimpan di Museum Prinsenhof Delft, Belanda.

Maka dari itu, dengan bekal kedekatan antara Indonesia-Belanda yang sudah terjalin sangat lama, Indonesia sebagai aktor penting di kawasan Asia Tenggara diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih besar dan vital, tidak hanya di kawasan Asia tetapi juga di Eropa bahkan Dunia. 


Daftar Bacaan 

Anwar, Rosihan. 2010. Napak Tilas Ke Belanda; 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949. Jakarta: Penerbit Kompas.

Hoesein, Rushdy. 2010. Terobosan Soekarno Dalam Perundingan Linggarjati. Jakarta: Penerbit Kompas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar