Jarak rumah saya di Kota Cirebon dengan Gedung/Rumah
Perundingan Linggarjati yang terletak di Linggarjati, Kabupaten Kuningan tidak
seberapa jauh, jika berkendara dengan motor dapat dicapai sekitar satu jam karena
posisinya yang terhitung sebagai wilayah perbatasan antara Kabupaten Kuningan
dan Kabupaten Cirebon. Tempat itu juga sudah jadi obyek wisata sejarah yang
diunggulkan di Kuningan, bahkan sepertinya telah menjadi tempat study tour paling dekat sekaligus
menarik untuk pelajar di Wilayah III Cirebon. Saya mungkin sudah lebih dari lima kali datang kesana, selain untuk wisata sejarah, tempat ini juga cocok untuk ngadem karena kesejukan udaranya, lari
dari panasnya Cirebon yang cukup menyengat.
![]() |
PM Schermerhorn dan PM Sjahrir menyepakati hasil Perundingan Linggarjati, disaksikan pihak penengah Lord Killearn dari Inggris (Sumber: Gahetna) |
Dilihat dari ukuran dan bentuknya, Rumah Perundingan
Linggarjati ini jelas bukan rumah sembarang orang di zamannya, terlebih
lokasinya yang cukup terpencil di kaki Gunung Ciremai, hanya orang kaya zaman
Belanda yang bisa membangunnya. Dan memang benar, jauh sebelum digunakan
sebagai tempat berunding, rumah ini adalah milik keluarga Jacobus Johannes
(Koos) van Os, pengusaha yang ketika itu mempunyai bisnis di Cirebon dan
Kuningan. Setelah van Os wafat pada
tahun 1934, rumah tersebut dikontrak dan difungsikan menjadi hotel dengan nama
Rustoord sampai kemudian pasca-Proklamasi Kemerdekaan di tahun 1945, Hotel Rustoord
bersalin nama menjadi Hotel Merdeka.
Dalam sejarah, apa yang dinamakan Perundingan
Linggarjati sesungguhnya tidak dimulai dan diakhiri di Linggarjati saja.
Menurut Rushdy Hoesein dalam “Terobosan Soekarno Dalam Perundingan Linggarjati”
(2010), setidaknya telah berlangsung 11 kali seri perundingan, dengan rincian
Perundingan I pada 22 Oktober 1946 sampai Perundingan IV pada 3 November 1946
diadakan di Jakarta, kemudian Perundingan V (11 November 1946) sampai Perundingan
VIII (13 November 1946) dilanjutkan di Linggarjati, lalu Perundingan IX (15
November 1946) sampai Perundingan XI (16 November 1946) yang kembali diadakan
di Jakarta. Nama Linggarjati disematkan sebagai nama perundingan karena
keputusan-keputusan penting sekaligus krusial selama perundingan lebih banyak
diambil selama di Linggarjati. Pertanyaannya, mengapa Linggarjati dipilih
menjadi lokasi perundingan?
![]() |
Sutan Sjahrir, ca. 1947 (Sumber: Nederlands Fotomuseum) |
Legasi Persetujuan
Linggarjati
Setelah gagalnya Perundingan Hoge Veluwe yang diadakan
di Belanda pada April 1946, Perundingan Linggarjati yang menghasilkan
Persetujuan Linggarjati menjadi arena strategis dimana kedua belah pihak, baik
Indonesia maupun Belanda dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi
dalam melihat permasalahan yang ada. Masing-masing ketua delegasi, yakni mantan
Perdana Menteri Belanda Willem Schermerhorn dan Perdana Menteri Indonesia Sutan
Sjahrir juga memiliki komitmen untuk menjaga kehormatan kedua negara, apalagi
kedua tokoh ini disatukan dalam latar belakang yang sama; sosialis dan
anti-fasis, sehingga mereka dapat dengan mudah membuka hati masing-masing. Secara
umum, Perundingan Linggarjati--yang setelah hasilnya disepakati dikenal sebagai Persetujuan Linggarjati--memiliki tiga makna penting (Hoesein, 2010),
antara lain:
1. Persetujuan Linggarjati merupakan kesepakatan
internasional pertama yang dihasilkan oleh Indonesia dan Belanda;
2. Persetujuan Linggarjati merupakan dasar pemikiran
semua persetujuan yang kemudian dilaksanakan antara Indonesia dan Belanda, yang
akhirnya bermuara pada penyelesaian masalah dekolonisasi dalam Konferensi Meja
Bundar pada tahun 1949;
3. Persetujuan Linggarjati dicapai dan disepakati
hanya oleh Delegasi Indonesia dan Delegasi Belanda tanpa adanya campur tangan
pihak Inggris yang hanya murni sebagai penengah.
Walaupun kemudian dalam kenyataannya poin-poin
kesepakatan dalam Persetujuan Linggarjati banyak dilanggar, utamanya oleh pihak
Belanda sendiri, namun Persetujuan Linggarjati tetap dikenang sebagai tonggak
awal hubungan baru yang setara antara Indonesia dan Belanda, bukan lagi sebagai
penjajah-terjajah, tetapi sebagai dua negara berdaulat yang saling menghormati.
Legasi inilah yang berusaha terus dikenang dan
dilanjutkan oleh Indonesia-Nederland
Society (INS), organisasi non-pemerintah yang didirikan di Belanda, dengan misi
memperkuat hubungan antara Indonesia dan Belanda dalam berbagai bidang, mulai
dari hubungan bilateral, ekonomi, budaya, sampai pendidikan dan ilmu
pengetahuan. Sejak tahun 2012, secara berkala INS memberikan penghargaan dengan
nama “Linggarjati Award” kepada
sosok yang berjasa dalam memajukan hubungan baik antara Indonesia dan Belanda.
Penghargaan prestisius ini telah diberikan antara lain kepada Joty ter Kulve
dan Wim van Os, keturunan dari Koos van Os yang mendirikan rumah yang menjadi
lokasi Perundingan Linggarjati (2012), mantan Menteri Luar Negeri Belanda Dr.
Bernard Bot (2013), mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Dr. Hassan Wirajuda
(2014), mantan Menteri Perdagangan Indonesia Dr. Arifin M. Siregar (2015), dan
yang terakhir kepada Menteri Luar Negeri
Indonesia yang juga mantan Dubes RI untuk Belanda Retno LP Marsudi (2016).
Apa yang terjadi lebih dari 70 tahun yang lalu di
Linggarjati, diharapkan dapat terus berkembang menjadi hubungan yang saling menghormati
dan menguntungkan antara kedua negara, bukan hanya bersifat G to G tetapi juga B to B dan C to C. Apalagi saat ini dunia tengah dihadapi
permasalahan yang membutuhkan kemitraan erat dalam penyelesaiannya,
seperti terorisme, perlucutan senjata nuklir dan krisis energi di samping
berbagai isu-isu mainstream yang sudah banyak disinggung
seperti ekonomi dan perdagangan. Tahun 2016 sendiri menjadi tahun yang hangat dalam konteks relasi strategis Indonesia-Belanda, ditandai dengan kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo ke Belanda pada April 2016 yang merupakan kunjungan Presiden RI pertama setelah 16 tahun, dan kemudian dibalas dengan kunjungan kenegaraan PM Belanda Mark Rutte ke Indonesia pada November 2016, yang mana dari kedua kunjungan tersebut berhasil disepakati kerjasama di bidang perdagangan, investasi, pembangunan infrastruktur maritim, pengelolaan air serta pariwisata di antara kedua negara. Bahkan di sela-sela kunjungannya, PM Rutte mewakili Pemerintah Kerajaan Belanda mengembalikan 1.500 artefak sejarah milik Indonesia yang selama ini tersimpan di Museum Prinsenhof Delft, Belanda.
Maka dari itu, dengan bekal kedekatan antara Indonesia-Belanda yang sudah terjalin sangat lama, Indonesia sebagai aktor penting di kawasan Asia Tenggara diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih besar dan vital, tidak hanya di kawasan Asia tetapi juga di Eropa bahkan Dunia.
Daftar Bacaan
Anwar, Rosihan. 2010. Napak Tilas Ke Belanda; 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949. Jakarta: Penerbit Kompas.
Hoesein, Rushdy. 2010. Terobosan Soekarno Dalam Perundingan Linggarjati. Jakarta: Penerbit Kompas.
Maka dari itu, dengan bekal kedekatan antara Indonesia-Belanda yang sudah terjalin sangat lama, Indonesia sebagai aktor penting di kawasan Asia Tenggara diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih besar dan vital, tidak hanya di kawasan Asia tetapi juga di Eropa bahkan Dunia.
Daftar Bacaan
Anwar, Rosihan. 2010. Napak Tilas Ke Belanda; 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949. Jakarta: Penerbit Kompas.
Hoesein, Rushdy. 2010. Terobosan Soekarno Dalam Perundingan Linggarjati. Jakarta: Penerbit Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar