Rabu, 06 Maret 2019

Perwira TNI Non-Job: Bersatunya Problem Relasi Sipil-Militer dan Personalia


Dalam beberapa minggu terakhir, pemberitaan mengenai wacana penempatan perwira—khususnya Pamen dan Pati—TNI non-job dalam posisi-posisi sipil Kementerian telah banyak menyedot perhatian publik. Para aktivis pro-demokrasi, utamanya yang memusatkan pandangan pada reformasi sektor keamanan menolak dengan keras wacana tersebut karena berpotensi mengembalikan ruang bagi bangkitnya ‘Dwifungsi TNI’ jilid dua. Ada juga yang melihat bahwa munculnya wacana tersebut sebagai bagian dari kurang baiknya manajemen personalia TNI sehingga menimbulkan kemandekan karir para perwira tinggi TNI yang seharusnya dapat berkontribusi lebih banyak sesuai bidang kerjanya dalam kemiliteran.

Menurut pandangan saya pribadi, kemandekan karir tersebut lebih disebabkan pada kurang tanggapnya manajemen personalia TNI dalam menghadapi gelombang perwira TNI yang memasuki golongan Pamen senior dan Perwira Tinggi sejak awal 2010-an. Dari sisi kesejarahan—utamanya berkaitan dengan relasi sipil-militer Orde Baru—kemandekan tersebut bisa diketahui penyebabnya.

Aksi Kamisan Menolak 'Dwifungsi TNI', Februari 2019
(sumber: CNN Indonesia)

Sejalan dengan semakin masifnya implementasi konsep Dwifungsi ABRI, jumlah penerimaan taruna AKABRI, terkhusus Akademi Militer (Akmil) mengalami peningkatan yang amat pesat dibanding sebelumnya sejak pertengahan dekade 1980-an. Lulusan AKABRI kemudian diproyeksikan tak hanya duduk di posisi kemiliteran, tetapi juga mampu berkarir di institusi sipil, padahal di masa-masa itu, utamanya saat kepanglimaan Jenderal Leonardus Benyamin 'Benny' Moerdani (1983-1988), TNI sedang menggalakkan upaya perampingan struktur ABRI sehingga agak kontradiktif dengan kenyataan yang ada. Di tahun 1980-1982, abituren (alumni) Akmil berjumlah tak lebih dari 160 orang tiap lichting-nya, namun perlahan naik di bilangan 187 orang di tahun  1983, dan kemudian melonjak sampai di angka 234 orang di tahun 1985. Selanjutnya, jumlah abituren Akmil selalu berada di atas 250 orang.

Namun, skema yang telah terbangun tersebut mendadak buyar ketika Reformasi TNI pecah pada awal dekade 2000-an. Dwifungsi yang menjadi wahana bagi pencapaian karir di luar kemiliteran dihapuskan, menjadikan prajurit TNI benar-benar pada posisinya yang profesional sebagai penjaga pertahanan Negara. Reformasi TNI kemudian tak membayangkan adanya bottle-necking karir perwira TNI—khususnya TNI-AD—di  masa depan, padahal ia adalah konsekuensi logis dari dihilangkannya posisi-posisi sipil yang sebelumnya bisa diisi para abituren Akmil yang berlimpah jumlahnya. Jumlah abituren Akmil pun tak bisa dikurangi secara drastis karena kecabangan militer yang semakin beragam, meskipun TNI-AD telah menerapkan kebijakan Zero Growth of Personnel (ZGP). Angka yang cukup rendah baru bisa dicapai pada dua-tiga tahun ke belakang dengan jumlah abituren tak lebih dari 230 orang.

The Jakarta Post per tanggal 4 Maret 2019 mencatat bahwa terdapat 500 Kolonel dan 150 Pati TNI yang mengganggur, namun pengamat militer Universitas Padjadjaran Dr. Muradi mencatat bahwa mungkin terdapat 800 Pamen dan Pati TNI yang berada pada posisi non-job. Upaya untuk melakukan mutasi jabatan pun sulit dilakukan karena tidak ada pos yang bisa diisi, dan jika hanya mengandalkan rotasi jabatan kenaikan karir dan pangkat para perwira tersebut sulit diraih, ditambah dengan kenyataan bahwa terjadi perpanjangan Masa Dinas Prajurit (MDP) dari 55 tahun menjadi 58 tahun berdasarkan UU No. 34/2004 tentang TNI. Lebih dari itu, di tubuh TNI sendiri diyakini masih hidup budaya favoritisme dan patrimonialisme terselubung yang terbangun selama berpuluh-puluh tahun; para perwira dan pejabat yang lebih tinggi mempromosikan bawahan—bisa juga adik asuh—yang memiliki kedekatan personal dengan dirinya, melompati mekanisme normal yang ada sehingga berlomba-lombalah para perwira yang bermimpi memiliki karir cemerlang dengan membangun atau mendekati klik-klik tertentu.

Wajar saja kemudian pemerintah mewacanakan penempatan para Perwira TNI aktif ke dalam institusi sipil sebagai respons instan atas kebuntuan yang terjadi di atas, tetapi jelas wacana tersebut bukan hal populer; Ia mendapat pertentangan masif dari banyak kalangan yang merasakan trauma kolektif atas berkuasanya militer dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita.

Penguatan Fungsi Organik

Dalam Peta Jalan Reformasi Birokrasi Tentara Nasional Indonesia Tahun 2015-2019, terdapat sembilan program yang diturunkan dalam beberapa agenda prioritas, salah satunya adalah Penataan Sistem Manajemen SDM TNI dengan fokus membangun manajemen personalia TNI yang profesional dan mampu menjawab tantangan tugas TNI ke depan, yang diturunkan dalam berbagai kegiatan antara lain perencanaan kebutuhan personel sesuai dengan kebutuhan organisasi, penataan pola karier personel TNI, penetapan kinerja individu, dan pelaksanaan evaluasi jabatan. Kegiatan-kegiatan tersebut sesungguhnya sedikit-banyak mampu mengurai problem munculnya para perwira non-job yang ada, namun karena perwira non-job tersebut dari tahun ke tahun semakin menggunung, pendekatan ‘konvensional’ tersebut tak mampu lagi menjadi solusi. Dibutuhkan pendekatan yang tak biasa guna menyelesaikan permasalahan yang juga tak biasa.

Masih dalam catatan The Jakarta Post (4/3/2019), pengamat militer yang juga Direktur Imparsial Al Araf sempat mengutarakan wacana untuk memasukkan para perwira non-job tersebut dalam struktur Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) guna memperkuat perannya sebagai tulang punggung peperangan modern, dan juga pos jabatan berkaitan dengan peperangan siber (cyber warfare) dalam menjawab tantangan keamanan global. Di saat yang sama, momentum menumpuknya perwira non-job tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi besar-besaran struktur organisasi TNI yang inefisien dan justru membebani anggaran pertahanan, termasuk di dalamnya penghapusan Komando Kewilayahan (Kowil) yang sudah muncul sejak awal Reformasi TNI didengungkan. Meskipun saya pribadi yakin usulan terakhir tersebut akan mendapat banyak tentangan karena kemunculan Kowil didasarkan dari sejarah TNI pada saat Perang Kemerdekaan, dimana ‘kantong-kantong gerilya’ memainkan peranan yang amat vital bagi kelancaran perjuangan, sehingga akan timbul anggapan bahwa upaya menghapus Kowil sama dengan menghapus sebagian sejarah TNI.

Dalam konferensi pers pasca acara Rapat Pimpinan TNI-Polri di Istana Negara pada 29 Januari lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa akan terdapat 60 jabatan baru di tubuh TNI yang diisi oleh perwira tinggi bintang satu, dua dan tiga guna memecahkan masalah surplus perwira non-job, salah satunya beberapa jabatan di  Kostrad dalam mendukung penguatan institusi tersebut seperti disampaikan Al Araf. Berdasarkan Perpres No. 62/2016 tentang Susunan Organisasi TNI, jabatan-jabatan tersebut antara lain Inspektur Kostrad berpangkat Mayjen yang sebelumnya dijabat Brigjen dan Asisten Kaskostrad berpangkat Brigjen yang sebelumnya dijabat Kolonel. Peningkatan status tersebut akan memberikan ruang jabatan bagi para Brigjen ke bawah untuk mengisi posisi staf di Inspektorat dan Keasistenan Kaskostrad.

Presiden Joko Widodo, Pimpinan TNI-Polri dan Mantan Panglima TNI serta Kapolri,
Januari 2019
(sumber: Sekretariat Kabinet RI)

Di samping jabatan baru di Kostrad, terdapat jabatan baru yang muncul sebagai konsekuensi dari diinisiasinya Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) dengan konsep Tri-Matra Terpadu dan berada di bawah koordinasi langsung Panglima TNI. Rencananya, Kogabwilhan akan dibentuk di tiga pangkalan terintegrasi mewakili wilayah utama Indonesia (Barat, Tengah, Timur) dengan dipimpin oleh Panglima berbintang tiga, Wakil Panglima berbintang dua, dan lebih kurang enam Asisten berbintang dua. Jika memang benar-benar terbentuk, Kogabwilhan akan mampu menyerap para perwira non-job tersebut dengan melalui berbagai penilaian kemampuan dan kompetensi, yang mana sejauh ini baru terbentuk embrionya berupa Satuan TNI Terintegrasi (STT) lintas-matra di Natuna, Kepulauan Riau.

Karir Kedua

Dari sisi personalia, sesungguhnya para pengambil kebijakan di TNI, terutama matra darat menyadari bahwa tak semua perwira akan menggapai posisi puncak kemiliteran, atau dalam bahasa yang lebih ringkas, tak semua prajurit bisa menjadi Jenderal. Oleh karenanya, dikembangkan peluang karir kedua (second career) bagi perwira yang berkompeten pada bidang-bidang terkait untuk dapat bekerja pada BUMN dan instansi swasta melalui pembentukan Paban V/Sahlur (Pemisahan dan Penyaluran) baik di Mabes TNI maupun TNI-AD. BUMN maupun instansi swasta dapat mengajukan permohonan penyaluran personel yang kemudian akan diproses lebih lanjut sampai diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan. Begitupun dengan alih status prajurit TNI menjadi PNS Eselon I dan II di Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian, harus melepas status keprajuritannya dan menjadi masyarakat biasa, yang khusus di tubuh TNI-AD telah diatur dalam Peraturan KSAD No. Perkasad/37/VIII/2013 tentang Buku Pedoman Alih Status dan Alih Profesi Prajurit TNI-AD.

Penjajakan karir kedua bagi para prajurit di atas dapat dibilang sebagai model ‘penempatan perwira pada posisi-posisi sipil’ dalam bentuk yang lebih soft, meskipun yang membedakan adalah permintaan atas kebutuhan perwira diajukan oleh instansi terkait, dan mereka yang beralih status serta profesi harus pensiun dari dinas aktif keprajuritan, berbeda dengan masa Dwifungsi yang mana para perwira di-deploy pada institusi sipil sebagai bagian dari doktrin yang mesti dijalankan.

Namun pada prakteknya, kebijakan penyaluran perwira pada instansi-instansi tersebut—terutama BUMN/BUMD—tidak menemukan hasil yang menggembirakan dan berkontribusi pada pengurangan jumlah perwira non-job. Dalam Jurnal Karya Vira Jati milik Sekolah Staf dan Komando TNI-AD (Seskoad), Wisnu Joko Saputro (2016) melakukan otokritik bahwa para prajurit yang namanya diajukan pada instansi pemohon tak semuanya diserap karena tidak memenuhi kriteria dasar yang digariskan instansi tersebut, sehingga kedepannya perlu dilakukan pembekalan tentang pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan instansi pemohon, baik yang bersifat umum seperti business management, strategic management atau entrepreneurial management serta kemampuan lainnya. Karena pada dasarnya prajurit dibentuk untuk bertempur, atau meminjam kalimat Profesor Mochtar Pabotinggi, prajurit dididik untuk menumpas tidak untuk berdiskusi atau berunding, yang mana ‘lubang-lubang’ yang ada tersebut perlu diisi.

Alex Gorsky; pensiun dari U.S. Army, melanjutkan sekolah di Wharton,
menjadi CEO Johnson & Johnson
(sumber: J & J)

Berkaitan dengan keterampilan manajerial utamanya di sektor bisnis, Angkatan Bersenjata Amerika Serikat dan Singapura telah memulainya sejak lama dengan mengirimkan para perwiranya bahkan sejak level perwira pertama untuk belajar di sekolah bisnis terkemuka dunia macam Wharton School at UPenn, Harvard Business School, dan National University of Singapore (NUS) agar ketika tak lagi berdinas militer mereka memiliki kecakapan spesifik yang bisa dimanfaatkan. TNI dapat saja menggodok kebijakan serupa yang ditujukan pada perwira yang ingin memperluas pengetahuan di luar studi stratejik pertahanan yang jamak diambil, sehingga ketika mereka pada akhirnya lebih memilih karir di luar kemiliteran, kemampuan manajerial bisnis telah dimiliki, tak hanya kemudian berperan pasif sebagai komisaris atau semata.

Golden Handshake

Jika kebijakan eksisting dirasa tak cukup mampu memecah permasalahan yang ada, TNI perlu mengadopsi langkah yang lebih radikal dengan menerapkan kebijakan Golden Handshake (Jabat Tangan Emas) berupa pemensiunan dini dengan kompensasi berupa pesangon yang saling menguntungkan. Kebijakan tersebut jamak dilakukan pada sektor privat dan saat ini mulai diterapkan pada sektor publik, antara lain Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) guna menjaga kesehatan sekaligus keseimbangan organisasi.

Dengan adanya kesadaran bahwa tidak semua perwira mampu menduduki jabatan puncak dan kondisi ‘force majeure’ yang memerlukan tindakan cepat, maka dapat dilakukan mekanisme evaluasi besar-besaran para Pamen setingkat Letnan Kolonel senior dan Kolonel (masa tugas di atas 20 tahun) dengan memperhatikan aspek dedikasi, loyalitas, akademik, psikologi serta jasmani. Patokannya jelas, apakah ia telah memiliki kecakapan menjalankan fungsi staf, mampu berpikir stratejik dan memiliki bakat serta kemampuan sebagai pemimpin masa depan. Jika ditemukan hasil yang kurang sejalan dengan patokan di atas, maka diberikan opsi pensiun dini disertai pesangon, sekaligus diintegrasikan dengan pendampingan second career melibatkan lembaga psikologi independen. Mungkin tak semua karir kedua diarahkan pada sektor bisnis, maka bisa diberikan opsi lain yang sesuai dengan minat dan kemampuan yang bersangkutan.

Untuk menerapkan kebijakan yang sama kepada para Pati, saya pribadi menilai sulit terwujud dengan alasan yang telah disebutkan di atas: karir para Pati sudah ‘dikawal’ lewat hadirnya klik-klik tertentu di tubuh militer kita. Pendayagunaan yang bisa dilakukan adalah dengan menempatkan para Pati tersebut guna memperkuat tangki pemikir (think-tank) internal TNI seperti Pusat Pengkajian Strategi (Pusjianstra) TNI, sesuai dengan kualifikasi minimum yang harus dimiliki para Pati yakni memiliki kemampuan sebagai strategist bervisi global, tanpa melupakan lingkungan stratejik nasional maupun regional. Pusjianstra harus menjadi center of excellence perumusan dan pengkajian kebijakan stratejik untuk mendukung tugas-tugas pokok TNI sebagai institusi profesional. Di samping itu, keberadaan Universitas Pertahanan (Unhan) juga dapat diperkuat oleh para Pati sebagai tenaga pengajar dan pengkaji seiring dengan semakin beragamnya program studi yang dikembangkan disana serta semakin banyak jumlah mahasiswa baru yang diterima.

Akhir kata, problem penumpukan para perwira non-job yang bermuara pada kurang sehatnya TNI sebagai organisasi harus dijadikan pelajaran bagi semua pihak, baik TNI sendiri, Kementerian Pertahanan, Parlemen maupun komunitas epistemik, bahwa ihwal personalia bukan semata isu internal namun perlu dikaji secara komprehensif melibatkan semua pemangku kepentingan. Transformasi pertahanan bukan hanya bertumpu pada pembaruan alutsista, tetapi juga harus berfokus pada upaya menjadikan TNI sebagai organisasi yang sehat, kenyal dan siap sedia.