Selasa, 10 April 2018

Perang Semesta Bukan ‘Perang Bersama Rakyat’


Pada pertengahan tahun 1991, setelah Perang Teluk Januari-April 1991 berakhir, surat kabar Kompas memuat ulasan saya bahwa RRC memutuskan untuk mengubah strategi dan doktrin ‘Perang Rakyat’ menjadi yang lebih mengutamakan modernisasi teknologi perang, termasuk teknologi komando dan kendali. Perang Teluk 1991 telah menggugah pimpinan Tentara Pembebasan Rakyat RRC bahwa dominasi teknologi persenjataan Amerika Serikat dapat melumpuhkan kemampuan tentara negara berkembang dalam sekejap akibat kemajuan pesat dalam bidang apa yang dikenal kemudian sebagai Revolusi Kemiliteran.

Dalam ulasan itu saya menganjurkan Indonesia pun mulai mengedepankan teknologi militer modern meski semangat tetap berpegang pada doktrin perang rakyat semesta. Ulasan itu mendapat tanggapan dan kritik pedas dari sejumlah perwira tinggi TNI aktif waktu itu, yang menyayangkan pandangan seakan-akan saya meremehkan doktrin perang rakyat semesta” (Sudarsono, 2009).

Kutipan tulisan mantan Menteri Pertahanan Prof. Juwono Sudarsono di atas tersebut memang benar-benar terjadi, di masa ketika doktrin ‘Perang Rakyat Semesta’ bersama dengan konsep ‘Kemanunggalan ABRI-Masyarakat’ sedang diagung-agungkan oleh para insan militer kita seperti halnya sebuah kitab suci yang mesti dihafal secara benar lagi tuntas, sehingga tak heran banyak Jenderal ABRI yang merasa gusar mendengarkan anjuran yang sesungguhnya bersifat akademis tersebut. Pun jangan dilupakan bahwa meskipun tongkat kepemimpinan ABRI saat itu telah dipegang oleh ‘generasi peralihan’ menuju estafet ke ‘generasi muda’ yang tidak merasakan langsung implementasi doktrin ‘Perang Rakyat Semesta’ yang mewujud dalam perang gerilya pada periode 1945-1949, tetapi campur tangan para generasi ’45—walaupun semuanya telah tuntas mengabdi di dinas kemiliteran—tetap terjadi dalam kerangka ‘senior-yunior’; senior menasehati, yunior menaati. Nasehat yang diberikan pun pasti takkan jauh dari pengalaman yang mereka alami saat palagan perang kemerdekaan, termasuk pengalaman nyata bekerjanya doktrin dan konsep di atas. Dalam hal ini, yunior tak bisa melakukan apapun selain menaati, mengikuti, sekaligus melestarikan apa yang sudah ada.

Kini, setelah hampir 20 tahun Orde Baru runtuh dan Indonesia sedang menjalani era transformasi pertahanan yang menekankan pada perubahan mendasar dalam doktrin, personel, organisasi, pelatihan dan pendidikan, logistik, dan peran yang disokong oleh perubahan teknologi (Laksmana, 2010), apakah doktrin ‘Perang Rakyat Semesta’ masih tetap relevan untuk dianut?

People’s War ≠ Total Defense

Dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dijabarkan bahwa Sistem Pertahanan Negara merupakan sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, berkesinambungan, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman. Dalam pasal tersebut, karena adanya frasa “melibatkan seluruh warga negara” maka sistem pertahanan yang bersifat semesta (sishanta) yang merupakan operasionalisasi dari konsep Total Defense ini kerap disamakan dengan ‘perang bersama rakyat’ yang merupakan perwujudan dari People’s War, padahal kedua hal tersebut sangat berbeda. Kolonel—kini Brigjen—Joko Putranto menjelaskan secara gamblang perbedaan konsep tersebut dalam tulisannya yang berjudul “Perang Rakyat Versus Perang Semesta” (2016) yang akan dikupas di bawah ini.

Dalam konsep People’s War, perang yang berjalan mengaburkan status combatant yang dimiliki militer dan non-combatant yang dipegang oleh masyarakat, dimana semua orang dapat menjadi sasaran untuk diserang. Seperti halnya ketika Perang Kemerdekaan 1945-1949, masyarakat dan tentara saling bahu-membahu menjalankan perang yang berlarut tanpa adanya kejelasan tentang rules of the game dan mekanisme peralihan dari non-combatant menjadi combatant dalam kerangka perang gerilya. Sedangkan Total Defense seharusnya dimaknai sebagai bagaimana cara negera menghadapi ancaman, khususnya dari luar, dengan mensyaratkan integrasi antarkomponen utama dan cadangan serta komponen bangsa lain, yang mengatur pula mekanisme peralihan non-combatant menjadi combatant dalam suatu regulasi khusus serta menjunjung tinggi rules of the game berupa Konvensi Jenewa beserta Protokol Tambahannya.

Sehingga dalam hal ini, mengartikan ‘kesemestaan’ dalam Total Defense sebagai keikutsertaan rakyat dalam pembelaan negara secara langsung semasih dalam wujud sipil (non-combatant) merupakan sebuah langkah yang salah, utamanya karena melanggar Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya yang mensyaratkan adanya pemberian status non-combatant immunity kepada sipil untuk dilindungi dalam perang konvensional. Apalagi Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa pada tahun 1958—9 tahun setelah Konvensi tersebut disahkan pada 1949—yang disusul dengan ratifikasi Protokol Tambahannya, yang berimplikasi pada dihilangkannya istilah ‘perang bersama rakyat’ dalam berbagai dokumen yang membahas tentang Sishanta.

Namun apa yang terjadi, karena faktor—atau dapat pula dikatakan sebagai ‘beban’—sejarah, ‘perang bersama rakyat’ tetap ada bahkan terus dilestarikan oleh generasi militer pasca-1945. Kenangan akan keberhasilan perang gerilya dalam mengusir penjajah dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949 menjadi basis justifikasi terus bercokolnya doktrin People’s War dalam berbagai dokumen dan pengajaran kemiliteran Indonesia. Padahal jika ditelaah lebih jauh, A.H Nasution dalam “Pokok-Pokok Gerilya” menyatakan bahwa perang gerilya ditujukan hanya untuk memeras darah musuh, bukan untuk membawa kemenangan terakhir yang hanya akan bisa dicapai oleh tentara yang teratur dalam perang konvensional (Putranto, 2016). ‘Perang bersama rakyat’ juga kemudian menjadi apologi yang biasa digunakan pemerintah untuk menutupi kekurangmampuannya dalam melakukan pembangunan kekuatan militer dan modernisasi sistem kesenjataan yang menjadikan pemerintah mengandalkan potensi masyarakat untuk dapat digunakan kapan saja apabila pecah perang, tanpa adanya mekanisme yang ketat tentang peralihan status non-combatant menjadi combatant. Lihat saja salah satu tulisan mantan Wakil KSAD Kiki Syahnakri di bawah ini :

Namun pada intinya Sishanrata dilatari oleh konsep “Perang Rakyat” sebagai pilihan yang paling realistis dengan merujuk pada kendala anggaran yang sangat terbatas sehingga kita masih jauh dari kemampuan menciptakan kekuatan pertahanan yang tangguh dan handal (yang berbasiskan sistem senjata teknologi)” (Syahnakri, 2008).

Maka dalam hemat saya, sungguh tidak benar untuk ‘mengorbankan’ rakyat agar selalu siap sedia diterjunkan saat perang terjadi. Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN) pun sampai saat ini masih menggantung dalam pembahasan internal di lingkaran Kementerian Pertahanan sebagai leading sector (tribunnews.com, 2018) meskipun batang tubuhnya telah digodok sejak Maret 2003 (hukumonline.com, 2009), sehingga sebelum berbicara tentang mobilisasi masyarakat sebagai combatant, pembahasan RUU KCPN harus segera dituntaskan, tentunya tanpa melupakan prinsip HAM—yang salah satunya dapat mengatur warga negara untuk menolak terlibat dalam upaya wajib militer—sebagai dasar dari segala pengaturan komponen cadangan tersebut.



Daftar Bacaan

Laksmana, Evan A. 2010. “Dari ‘Reformasi Militer’ Menuju ‘Transformasi Pertahanan’: Tantangan dan Prospek ke Depan”, Indonesian Review RSK & Media Vol I: 1-12.

Putranto, Joko. 2016. ‘Perang Rakyat Versus Perang Semesta’, dalam Iswandi Syahputra (ed), Perang Semesta: Dalam Kajian Budaya dan Media. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Sudarsono, Juwono. 2009. ‘SBY, Tentara dan Demokrasi’, dalam Dino Patti Djalal (ed), Energi Positif: Opini 100 Tokoh Mengenai Indonesia di Era SBY. Jakarta: Red & White Publishing.

Syahnakri, Kiki. 2008. Aku Hanya Tentara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Hukum Onlline. 2009. “RUU Komponen Cadangan Abaikan Prinsip HAM”, 20 Februari (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21252/ruu-komponen-cadangan-abaikan-prinsip-ham), diakses 11 April 2018.

Tribun News. 2018. “Perombakan Internal TNI dan RUU Komcad Jadi Pembahasan di Rapim Kemenhan”, 11 Januari (http://www.tribunnews.com/amp/nasional/2018/01/11/perombakan-internal-tni-dan-ruu-komcad-jadi-pembahasan-di-rapim-kemenhan), diakses 11 April 2018.