“Pada pertengahan tahun 1991, setelah Perang
Teluk Januari-April 1991 berakhir, surat kabar Kompas memuat ulasan saya bahwa
RRC memutuskan untuk mengubah strategi dan doktrin ‘Perang Rakyat’ menjadi yang
lebih mengutamakan modernisasi teknologi perang, termasuk teknologi komando dan
kendali. Perang Teluk 1991 telah menggugah pimpinan Tentara Pembebasan Rakyat
RRC bahwa dominasi teknologi persenjataan Amerika Serikat dapat melumpuhkan
kemampuan tentara negara berkembang dalam sekejap akibat kemajuan pesat dalam
bidang apa yang dikenal kemudian sebagai Revolusi Kemiliteran.
Dalam ulasan itu saya menganjurkan
Indonesia pun mulai mengedepankan teknologi militer modern meski semangat tetap
berpegang pada doktrin perang rakyat semesta. Ulasan itu mendapat tanggapan dan
kritik pedas dari sejumlah perwira tinggi TNI aktif waktu itu, yang
menyayangkan pandangan seakan-akan saya meremehkan doktrin perang rakyat
semesta” (Sudarsono, 2009).
Kutipan tulisan mantan Menteri
Pertahanan Prof. Juwono Sudarsono di atas tersebut memang benar-benar terjadi,
di masa ketika doktrin ‘Perang Rakyat Semesta’ bersama dengan konsep
‘Kemanunggalan ABRI-Masyarakat’ sedang diagung-agungkan oleh para insan militer
kita seperti halnya sebuah kitab suci yang mesti dihafal secara benar lagi tuntas,
sehingga tak heran banyak Jenderal ABRI yang merasa gusar mendengarkan anjuran
yang sesungguhnya bersifat akademis tersebut. Pun jangan dilupakan bahwa
meskipun tongkat kepemimpinan ABRI saat itu telah dipegang oleh ‘generasi
peralihan’ menuju estafet ke ‘generasi muda’ yang tidak merasakan langsung
implementasi doktrin ‘Perang Rakyat Semesta’ yang mewujud dalam perang gerilya
pada periode 1945-1949, tetapi campur tangan para generasi ’45—walaupun
semuanya telah tuntas mengabdi di dinas kemiliteran—tetap terjadi dalam
kerangka ‘senior-yunior’; senior menasehati, yunior menaati. Nasehat yang
diberikan pun pasti takkan jauh dari pengalaman yang mereka alami saat palagan
perang kemerdekaan, termasuk pengalaman nyata bekerjanya doktrin dan konsep di
atas. Dalam hal ini, yunior tak bisa melakukan apapun selain menaati,
mengikuti, sekaligus melestarikan apa yang sudah ada.
Kini, setelah hampir 20 tahun
Orde Baru runtuh dan Indonesia sedang menjalani era transformasi pertahanan
yang menekankan pada perubahan mendasar dalam doktrin, personel, organisasi,
pelatihan dan pendidikan, logistik, dan peran yang disokong oleh perubahan
teknologi (Laksmana, 2010), apakah doktrin ‘Perang Rakyat Semesta’ masih tetap
relevan untuk dianut?
People’s
War ≠ Total Defense
Dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dijabarkan bahwa Sistem Pertahanan Negara merupakan
sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara,
wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh
pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah,
berkesinambungan, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman. Dalam pasal
tersebut, karena adanya frasa “melibatkan seluruh warga negara” maka sistem
pertahanan yang bersifat semesta (sishanta) yang merupakan operasionalisasi
dari konsep Total Defense ini kerap
disamakan dengan ‘perang bersama rakyat’ yang merupakan perwujudan dari People’s War, padahal kedua hal tersebut
sangat berbeda. Kolonel—kini Brigjen—Joko Putranto menjelaskan secara gamblang
perbedaan konsep tersebut dalam tulisannya yang berjudul “Perang Rakyat Versus Perang Semesta” (2016) yang akan dikupas di
bawah ini.
Dalam konsep People’s
War, perang yang berjalan mengaburkan status combatant yang dimiliki militer dan non-combatant yang dipegang oleh masyarakat, dimana semua orang
dapat menjadi sasaran untuk diserang. Seperti halnya ketika Perang Kemerdekaan
1945-1949, masyarakat dan tentara saling bahu-membahu menjalankan perang yang
berlarut tanpa adanya kejelasan tentang rules
of the game dan mekanisme peralihan dari non-combatant menjadi combatant
dalam kerangka perang gerilya. Sedangkan Total Defense seharusnya dimaknai
sebagai bagaimana cara negera menghadapi ancaman, khususnya dari luar, dengan
mensyaratkan integrasi antarkomponen utama dan cadangan serta komponen bangsa lain,
yang mengatur pula mekanisme peralihan non-combatant
menjadi combatant dalam suatu
regulasi khusus serta menjunjung tinggi rules
of the game berupa Konvensi Jenewa beserta Protokol Tambahannya.
Sehingga dalam hal ini,
mengartikan ‘kesemestaan’ dalam Total
Defense sebagai keikutsertaan rakyat dalam pembelaan negara secara langsung
semasih dalam wujud sipil (non-combatant)
merupakan sebuah langkah yang salah, utamanya karena melanggar Konvensi Jenewa
dan Protokol Tambahannya yang mensyaratkan adanya pemberian status non-combatant immunity kepada sipil
untuk dilindungi dalam perang konvensional. Apalagi Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Jenewa pada tahun 1958—9 tahun setelah Konvensi tersebut
disahkan pada 1949—yang disusul dengan ratifikasi Protokol Tambahannya, yang
berimplikasi pada dihilangkannya istilah ‘perang bersama rakyat’ dalam berbagai
dokumen yang membahas tentang Sishanta.
Namun apa yang terjadi, karena
faktor—atau dapat pula dikatakan sebagai ‘beban’—sejarah, ‘perang bersama
rakyat’ tetap ada bahkan terus dilestarikan oleh generasi militer pasca-1945.
Kenangan akan keberhasilan perang gerilya dalam mengusir penjajah dalam Perang
Kemerdekaan 1945-1949 menjadi basis justifikasi terus bercokolnya doktrin People’s War dalam berbagai dokumen dan
pengajaran kemiliteran Indonesia. Padahal jika ditelaah lebih jauh, A.H
Nasution dalam “Pokok-Pokok Gerilya”
menyatakan bahwa perang gerilya ditujukan hanya untuk memeras darah musuh,
bukan untuk membawa kemenangan terakhir yang hanya akan bisa dicapai oleh
tentara yang teratur dalam perang konvensional (Putranto, 2016). ‘Perang
bersama rakyat’ juga kemudian menjadi apologi yang biasa digunakan pemerintah
untuk menutupi kekurangmampuannya dalam melakukan pembangunan kekuatan militer
dan modernisasi sistem kesenjataan yang menjadikan pemerintah mengandalkan
potensi masyarakat untuk dapat digunakan kapan saja apabila pecah perang, tanpa
adanya mekanisme yang ketat tentang peralihan status non-combatant menjadi combatant.
Lihat saja salah satu tulisan mantan Wakil KSAD Kiki Syahnakri di bawah ini :
“Namun pada intinya Sishanrata dilatari oleh
konsep “Perang Rakyat” sebagai pilihan yang paling realistis dengan merujuk
pada kendala anggaran yang sangat terbatas sehingga kita masih jauh dari
kemampuan menciptakan kekuatan pertahanan yang tangguh dan handal (yang
berbasiskan sistem senjata teknologi)” (Syahnakri, 2008).
Maka dalam hemat saya, sungguh
tidak benar untuk ‘mengorbankan’ rakyat agar selalu siap sedia diterjunkan saat
perang terjadi. Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN)
pun sampai saat ini masih menggantung dalam pembahasan internal di lingkaran
Kementerian Pertahanan sebagai leading
sector (tribunnews.com, 2018) meskipun
batang tubuhnya telah digodok sejak Maret 2003 (hukumonline.com, 2009), sehingga sebelum berbicara tentang
mobilisasi masyarakat sebagai combatant,
pembahasan RUU KCPN harus segera dituntaskan, tentunya tanpa melupakan prinsip
HAM—yang salah satunya dapat mengatur warga negara untuk menolak terlibat dalam
upaya wajib militer—sebagai dasar dari segala pengaturan komponen cadangan
tersebut.
Daftar
Bacaan
Laksmana, Evan A. 2010. “Dari
‘Reformasi Militer’ Menuju ‘Transformasi Pertahanan’: Tantangan dan Prospek ke
Depan”, Indonesian Review RSK & Media
Vol I: 1-12.
Putranto, Joko. 2016. ‘Perang
Rakyat Versus Perang Semesta’, dalam Iswandi Syahputra (ed), Perang Semesta:
Dalam Kajian Budaya dan Media. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Sudarsono, Juwono. 2009. ‘SBY,
Tentara dan Demokrasi’, dalam Dino Patti Djalal (ed), Energi Positif: Opini 100
Tokoh Mengenai Indonesia di Era SBY. Jakarta: Red & White Publishing.
Syahnakri, Kiki. 2008. Aku
Hanya Tentara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Hukum Onlline. 2009. “RUU
Komponen Cadangan Abaikan Prinsip HAM”, 20 Februari (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21252/ruu-komponen-cadangan-abaikan-prinsip-ham),
diakses 11 April 2018.
Tribun News. 2018. “Perombakan
Internal TNI dan RUU Komcad Jadi Pembahasan di Rapim Kemenhan”, 11 Januari (http://www.tribunnews.com/amp/nasional/2018/01/11/perombakan-internal-tni-dan-ruu-komcad-jadi-pembahasan-di-rapim-kemenhan),
diakses 11 April 2018.