Senin, 09 Oktober 2017

Siapa Bisa Jadi Panglima?

Jenderal TNI Gatot Nurmantyo lahir di bulan Maret 1960, maka jika mengikuti aturan pensiun prajurit TNI di usia 58 tahun, Gatot akan pensiun bulan Maret tahun depan. Apa artinya? Sebentar lagi lalu lintas pemberitaan dan debat publik akan berkutat pada pertanyaan “siapakah yang akan menggantikan Gatot menjadi Panglima TNI?

Dalam aturan main suksesi kepemimpinan TNI yang termaktub dalam Pasal 13 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tertulis bahwa “Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan”, maka jika mengikuti undang-undang tersebut, “jalur” yang paling eligible menuju puncak karir kepemimpinan TNI adalah jabatan kepala staf angkatan, dan saat ini kita telah mempunyai 3 nama, yakni Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Mulyono (Akmil 1983), Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Ade Supandi (AAL 1983), dan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (AAU 1986).

Ade Supandi, Mulyono, Hadi Tjahjanto; Siapa yang paling berpeluang?
(Sumber: riaupos.co; kompas.com; gatra.com)

Mari kita lakukan analisa kecil-kecilan. Pertama, dilihat dari usia mereka disaat Gatot pensiun (Maret 2018), Mulyono akan masuk 57 tahun, Ade masuk 57 tahun menuju 58 tahun di bulan Mei, dan Hadi masuk usia 54 tahun. Maka dari segi usia, Marsekal Hadi-lah yang paling berpeluang. Sulit membayangkan jika Mulyono yang dicalonkan karena dengan sisa usia kurang dari 1 tahun sebelum pensiun, tidak banyak yang akan ia kerjakan jika benar-benar dipilih menjadi Panglima TNI, begitupun Ade yang tinggal menghitung hari menuju masa pensiun.

Kedua, dari sisi “giliran antar matra”, maka sudah saatnya Angkatan Udara yang mendapat giliran agar Marsekal Hadi dapat dicalonkan menjadi Panglima TNI. Ketika nama Jenderal Gatot dinominasikan Presiden menjadi calon tunggal Panglima TNI menggantikan Jenderal TNI Moeldoko di tahun 2015, sontak saja hal tersebut menimbulkan perdebatan karena banyak kalangan yakin bahwa pengganti Moeldoko bukan kembali berasal dari Angkatan Darat, melainkan Angkatan Udara atau setidaknya Angkatan Laut, apalagi jika melihat sejarah, negara kita baru mempunyai 1 Panglima TNI berasal dari Angkatan Udara dan 2 Panglima TNI yang bersumber dari Angkatan Laut. Sehingga tidak mengherankan banyak pihak yang menggugat keputusan Presiden tersebut, tak terkecuali mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim yang mengekspresikan kemarahannya lewat akun twitter-nya di bulan Juni 2015 yakni “Paskhasau di Airport CGK diganti Marinir. Halim untuk penerbangan komersial. Panglima TNI belum tentu AU. Negeri ini memang tidak butuh Angkatan Udara. Bubar saja”.

Ketiga, tercantum jelas dalam UU TNI bahwa Panglima diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR, yang sebelumnya Presiden menyodorkan satu nama untuk mendapat persetujuan DPR. Maka, setidak-tidaknya Presiden harus mengetahui profil sang calon dan dekat baik dalam hubungan profesional maupun hubungan pribadi, dan Hadi jugalah yang yang dapat memenuhi prasyarat tersebut. Persinggungan Presiden Joko Widodo dengan Hadi telah dimulai ketika Hadi menjabat sebagai Komandan Pangkalan Udara Adi Soemarmo dan Jokowi menjabat sebagai Walikota Surakarta di tahun 2010, kemudian ketika Jokowi menjadi Presiden, hubungan profesional mereka kembali dekat saat Hadi ditarik ke Kementerian Sekretariat Negara di tahun 2015 dalam jabatan Sekretaris Militer Presiden. Setelah dari Kemsetneg di tahun 2016, perjalanan karir Hadi pun melesat cepat. Ia hanya perlu melompati pos Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan sebelum dilantik menjadi orang nomor 1 di TNI Angkatan Udara.

Oleh karenanya, berdasarkan 3 konsideran diatas, saya yakin bahwa Hadi yang akan dinominasikan Presiden menjadi calon Panglima TNI tahun depan. Yang menjadi tugas besar lainnya adalah ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian Hadi ketika benar-benar diangkat menjadi Panglima TNI, antara lain masalah koordinasi dan komunikasi “senior-junior” maupun antar matra. Tak bisa dipungkiri bahwa Hadi termasuk “double-minority”, ia terhitung masih junior dan berasal dari Angkatan Udara di tengah “lautan” Angkatan Darat. Hadi yang notabene angkatan 1986 harus memimpin para pejabat teras TNI yang rata-rata berasal dari angkatan 1983-1985, sama halnya seperti yang terjadi di Polri dimana Jenderal Tito (Akpol 1987) harus memimpin bawahannya yang justru sangat senior dibanding dia. Maka kemudian, Hadi harus mampu berkomunikasi dengan semua kalangan dari semua matra agar kedudukan dan legitimasinya sebagai Panglima lebih kuat serta tidak mudah digoyang oleh isu rendahnya soliditas organisasi. Hadi yang belum pernah memegang jabatan setingkat Panglima Komando Operasi Angkatan Udara harus membuktikan diri bahwa ia mampu memiliki sense of command dan mengerti arti strategis wilayah dalam konteks pertahanan negara.

Presiden, Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan dalam Acara HUT TNI, 5 Oktober 2017
(Sumber: voaindonesia.com)

Hal penting lain yang harus diperhatikan adalah isu profesionalisme TNI yang mulai “ternoda” oleh langkah Jenderal Gatot yang mulai cawe-cawe masalah politik. Hadi harus membuktikan diri bahwa ia prajurit profesional yang lurus bekerja mempertahankan negara dari segala ancaman (luar), bukan justru bermain mata dengan banyak kelompok politik seraya mengumpulkan dukungan dengan bersafari ke daerah-daerah yang jauh hubungannya dengan upaya pertahanan negara. Komitmen profesionalisme, penegakkan HAM, demokrasi, dan pemberantasan korupsi harus benar-benar dijunjung tinggi, sembari mengupayakan transformasi pertahanan yang berfokus para peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang selalu menjadi sorotan banyak pihak.

Pada akhirnya, semua kemungkinan akan kembali ke meja Presiden. Kita tidak pernah tahu kemungkinan lain jika Presiden Jokowi memperpanjang masa pensiun Jenderal Gatot, atau memilih nama selain Hadi.

Dan betul, sebagai warga negara biasa, kita hanya bisa berharap Presiden memilih nama terbaik sembari mengamati “proses politik” tersebut dari jauh saja, tak lebih.