Kamis, 06 April 2017

Ajudan Presiden dan Politik Istana

Selalu menarik mempelajari hal ihwal kepresidenan di negeri ini, karena sepanjang 71 tahun sejarah Indonesia, hanya ada 7 orang yang mampu mencapai posisi Presiden Republik Indonesia. Berbagai pola dan peta politik, strategi, intrik, bahkan tipu daya disiapkan jauh-jauh hari untuk memenangkan kursi kepresidenan, yang mungkin nominal gajinya dibawah para direktur utama BUMN atau Gubernur Bank Indonesia, namun gerak-arah Indonesia beserta seluruh isinya ditentukan dari posisi ini. Kuasa seorang Presiden bisa mengubah satu kondisi yang buruk ke kondisi yang lebih baik –begitu juga sebaliknya, dan bisa mengubah nasih seseorang dari yang “bukan siapa-siapa” menjadi “siapa”. Kuasa yang kedua ini sangat relevan jika kita kaitkan dengan pola mutasi dan promosi para ajudan Presiden di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada masa pertamanya (2004-2009).

SBY 'meminjam' punggung Kolonel M. Munir: Salah satu foto legendaris
(www.brilio.net)

Kolonel (Inf) M. Munir (Akmil 1983), Kolonel (Pnb) Bagus Puruhito (AAU 1984), Kolonel Laut (P) Didit Herdiawan Ashaf (AAL 1984), dan Komisaris Besar (Pol) Putut Eko Bayuseno (Akpol 1984) adalah 4 perwira menengah yang ditunjuk menjadi Ajudan Presiden SBY pada tahun 2004 sampai tahun 2009. Tidak ada diantara mereka yang meraih Adhi Makayasa, namun perjalanan karir mereka dapat dibilang cukup paripurna sejak Letnan Dua sampai Kolonel; mulai dari pengalaman staf, teritorial, pendidikan, sampai tempur telah mereka lalui. Mengikuti jejak Soeharto, SBY yang menjabat Presiden selama 2 periode tidak lupa pada para mantan ajudannya dan turut mengawal serta merawat karir mereka sampai ke jabatan tertinggi di matranya masing-masing. Dan memang terbukti, kurang dari 5 tahun (2013-2014) hampir dari mereka telah menduduki jabatan sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan berbintang tiga di usia yang relatif muda (Wakil KSAD Letjen M. Munir-54 tahun, Wakil KSAL Laksdya Didit Herdiawan-52 tahun, Wakil KSAU Marsdya Bagus Puruhito-51 tahun), sedangkan Komjen Putut Eko meraih pangkat bintang tiganya melalui jabatan Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri di usia 52 tahun. Maka kemudian, dengan pangkat tinggi dan usia yang masih cukup jauh dari masa pensiun (4-7 tahun), mereka diproyeksikan akan menjadi Kepala Staf Angkatan, Panglima TNI, dan Kapolri dalam waktu yang tidak lama.


Mutasi dan Promosi Mantan Ajudan Presiden SBY Pasca-2009

M. Munir
Bagus Puruhito
Didit Herdiawan
Putut Eko Bayuseno
2010 - Kasdivif 1/Kostrad; Kasdam Jaya (Brigjen); Pangdivif 2/Kostrad (Mayjen)
2009 – Danlanud Halim Perdanakusumah (Marsma)
2009 – Danguspurla Koarmabar (Laksma)
2009 – Wakil Kapolda Metro Jaya (Brigjen)
2011 – Pangdam III/Siliwangi (Mayjen)
2010 – Kaskoopsau I (Marsma)
2010 – Kepala Staf Koarmabar (Laksma); Pangkolinlamil (Laksda)
2011 – Kapolda Banten (Brigjen); Kapolda Jawa Barat (Irjen)
2012 – Pangkostrad (Letjen)
2011 – Dankodikau (Marsda)
2011 – Pangarmabar (Laksda)
2012 – Kapolda Metro Jaya (Irjen)
Mei 2013 – Wakil KSAD (Letjen)
2012 – Pangkoopsau I; Asops KSAU (Marsda)
2012 – Asops KSAL (Laksda)
Maret 2014 – Kabaharkam Polri (Komjen)
2015 – Pati Mabes TNI; Sekjen Wantannas (Letjen)
Mei 2014 – Wakil KSAU (Marsdya)
Mei 2014 - Wakil KSAL (Laksdya)
2017 - Irwasum Polri (Komjen)
2016 - Pensiun
2015 – Wagub Lemhannas (Marsdya)
2015 – Wagub Lemhannas; Kasum TNI (Laksdya)

(Keterangan: Warna kuning menunjukkan mutasi dan promosi terakhir di era kepemimpinan Presiden SBY; Sumber: Wikipedia)


Tetapi kemudian, naiknya Joko Widodo menjadi Presiden pada 20 Oktober 2014 membuyarkan proyeksi besar tersebut. Beberapa dari mereka karirnya mandek bertahun-tahun, seperti Komjen Putut yang menduduki jabatan Kabaharkam Polri selama lebih dari 3 tahun sejak Maret 2014; ditempatkan pada pos yang kurang prestise seperti Marsdya Bagus yang saat ini sedang ditempatkan sebagai Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional; bahkan dinon-jobkan, seperti Letjen Munir yang sempat non-job selama setahun lalu kemudian ditempatkan sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional sampai pensiun. Sebuah kenyataan yang cukup menyedihkan mengingat ketika SBY masih menjabat Presiden, karir mereka melesat bak meteor, namun kemudian meredup setelah SBY digantikan Joko Widodo. Hanya Laksdya Didit yang meraih karir cukup baik dengan menjabat sebagai Kepala Staf Umum TNI, yang secara protokoler setara dengan Wakil Panglima TNI, namun ia pun tak pernah dimutasi kemanapun lagi setelahnya. 

Selain itu, jika dilihat dari kacamata suksesi kepemimpinan, para mantan ajudan inipun telah beberapa kali diloncati dalam pemilihan Kepala Staf Angkatan dan Kapolri, seperti Letjen Munir yang telah diloncati 4 kali dalam pemilihan KSAD sampai kemudian pensiun pada Oktober 2016, Laksdya Didit diloncati 1 kali dalam pemilihan KSAL, Marsdya Bagus diloncati 2 kali dalam pemilihan KSAU, dan Komjen Putut diloncati 2 kali dalam pemilihan Kapolri. 3 nama terakhir sesungguhnya masih mempunyai kans untuk terpilih, namun jika dilihat lebih dalam, banyak kesulitan yang akan dihadapi oleh mereka. Untuk KSAL, saat ini masih dijabat Laksamana Ade Supandi (AAL 1983) yang akan pensiun Mei 2018, dan saat itu tiba, Laksdya Didit sudah berumur 56 tahun, bersaing dengan Laksdya Ahmad Taufiqoerrochman (AAL 1985)--dalam hal ini Laksdya Widodo (AAL 1983), Laksdya Desi Albert Mamahit (AAL 1984), dan Laksdya Arie Soedewo (AAL 1983) tidak masuk hitungan karena telah pensiun pada 2018--dan para perwira tinggi potensial lainnya. Untuk KSAU, justru saat ini dipegang oleh Marsekal Hadi Tjahjanto yang lebih junior (AAU 1986) dibanding Marsdya Bagus, sehingga peluang baginya semakin tipis. Dan untuk Kapolri, seperti halnya KSAU, saat ini dipegang oleh Jenderal Tito Karnavian yang “sangat junior” (Akpol 1987) dibanding para perwira tinggi lain di Mabes Polri, sehingga kans bagi Komjen Putut juga sama tipis. Jika saja SBY ketika masih menjabat lebih agresif mempromosikan para mantan ajudannya, hal-hal seperti diatas tidak mungkin terjadi, tetapi karena ia lebih mengutamakan perwira senior dan juga ada anggapan bahwa perjalanan karir mereka masih panjang karena usia yang relatif muda, maka para mantan ajudan ini harus memendam hasratnya. Tanpa diduga-duga Presiden Joko Widodo justru tidak memberikan karpet merah bagi mereka.

Menghapus Pengaruh SBY

Banyak kalangan yang menilai bahwa apa yang terjadi pada mereka tidak lepas dari rencana “de-Yudhoyono-isasi” dalam tubuh TNI dan Polri, dan hal semacam ini bukan sekali terjadi. Menurut Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), untuk membersihkan pengaruh mantan Panglima ABRI Jenderal LB “Benny” Moerdani yang dianggap membahayakan kelangsungan kepemimpinan Soeharto, rezim Orde Baru melancarkan kebijakan “de-Benny-isasi” yang berupaya membersihkan para pengikut dan orang dekat Jenderal Benny di tubuh ABRI, dimana yang menjadi korban dari kebijakan ini antara lain Teddy Rusdi yang harus pensiun dini dari jabatan Asisten Perencanaan Umum ABRI dengan pangkat Marsekal Muda,  Sintong Panjaitan yang dinon-jobkan selepas menjabat Pangdam Udayana atas dalih Insiden Santa Cruz (Timor-Timur), Johny Lumintang yang menjabat Pangkostrad hanya 17 jam, Luhut Binsar Panjaitan yang hanya mampu mengakhiri karir kemiliterannya sebagai Komandan Kodiklat TNI-AD lalu "didubeskan" ke Singapura, dan bahkan Jenderal Try Sutrisno yang walaupun menjabat sebagai Wakil Presiden mendampingi Soeharto (1993-1998), posisinya tidak lebih sebagai ban serep atau dalam terminologi ketika itu “ditendang ke atas”. Apa yang terjadi diatas diyakini sedang terjadi lagi saat ini, karena ajudan Presiden dianggap sebagai orang dekat Presiden yang mengenal baik secara formal maupun secara pribadi seorang Presiden. Dan apabila Affifudin (2014) melihat tidak terjadi de-Yudhoyono-isasi seperti halnya de-Soekarno-isasi ataupun de-Soeharto-isasi yang dipenuhi huru-hara berdarah, de-Yudhoyono-isasi ini mewujud dalam bentuk terancamnya karir para perwira TNI-POLRI yang dianggap dekat dengan SBY.

Jika daftar ini ingin diperpanjang, selain para mantan ajudannya, Letjen Ediwan Prabowo (Akmil 1984) dapat dimasukkan dalam daftar. Letjen Ediwan yang meraih pangkat bintang satu lewat jabatan Sekretaris Pribadi Presiden SBY pada tahun 2008 “dimandekkan” karirnya selepas menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan pada tahun 2016. Menurut Santoso (2016), campur tangan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang masih sakit hati atas keputusan Presiden SBY membatalkan pengangkatan dirinya sebagai Panglima TNI pada tahun 2004 menjadi penyebab mandeknya karir Letjen Ediwan dimana ia dijadikan sasaran balas dendam karena pernah menjadi “orangnya SBY”. Saat ini, Letjen Ediwan harus puas duduk dalam jabatan Pati Staf Khusus KSAD, sebuah pos yang terlalu rendah untuk diduduki seorang perwira tinggi sekelas dirinya.

Mayor Jenderal Ediwan Prabowo saat menjabat Pangdam V/Brawijaya 
(www.yuniarpw.wordpress.com)

Dalam pandangan saya, dengan naiknya para mantan ajudan Presiden SBY ke jabatan tertinggi TNI-POLRI di masa kepresidenan Joko Widodo, dikhawatirkan mereka akan menjadi kepanjangan tangan SBY dalam berbagai pola mutasi dan promosi, karena SBY yang seorang purnawirawan Jenderal beserta para pengikutnya tentu memiliki “gerbong” perwira yang akan dipromosikan ke pos-pos strategis –persis seperti ketakutan Soeharto terhadap pengaruh Benny Moerdani. Jangan dilupakan bahwa SBY dan Joko Widodo berasal dari partai politik yang memiliki latar belakang “permusuhan” sejak Pemilu 2004 (PDIP-Partai Demokrat), sehingga ketika PDIP berhasil membalaskan dendam lewat perebutan kursi kepresidenan pada tahun 2014, semua legasi SBY dalam berbagai segi berusaha untuk dihapuskan. Selain itu, Presiden Joko Widodo beserta orang-orang di lingkarannya juga pasti memiliki daftar para perwira yang ingin diorbitkan karena kedekatan yang dimilikinya. Dan sejauh ini mereka berhasil melakukannya, antara lain kepada Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal (Pol) Budi Gunawan yang sempat gagal menjadi Kapolri (Ajudan Presiden Megawati Sukarnaputri 2001-2004), Wakil Kapolri Komisaris Jenderal (Pol) Syafrudin (Ajudan Wakil Presiden Jusuf Kalla 2004-2009), Kapolda Banten Brigadir Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo (Ajudan Presiden Joko Widodo 2014-2016)--ia adalah Kapolda termuda saat ini dilihat dari segi angkatan (Akpol 1991), saat ini menjabat Kadiv Propam Polri dengan pangkat Irjen (2018)--dan KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto (Sekretaris Militer Presiden Joko Widodo 2015-2016). Nama-nama tersebut kemungkinan akan terus bertambah, karena Joko Widodo masih punya waktu 2 tahun lagi sebagai Presiden, dan akan makin bertambah banyak jika ia mampu duduk kembali sebagai Presiden di tahun 2019. Dalam hal ini, Joko Widodo terlihat lebih agresif dibanding SBY.

Komisaris Besar (Pol) Listyo Sigit Prabowo saat menjabat sebagai Ajudan Presiden Joko Widodo
(www.harianindo.com)

Pada akhirnya, mengutip Santoso (2016), bahwa kepemimpinan politik sipil ibarat pedang bermata dua bagi karir perwira tinggi TNI-POLRI, di satu sisi dapat berbuah kejayaan, seperti ketika SBY masih dalam kekuasaannya dan mampu mengorbitkan karir para mantan ajudannya, atau justru sebaliknya, seperti ketika Joko Widodo justru mengesampingkan para mantan ajudan Presiden SBY dan mengorbitkan perwira tinggi yang dekat dengannya. Pertanyaannya, apakah pola semacam ini akan terus berlanjut di masa yang akan datang? Dan apakah akan berpotensi mengganggu soliditas organisasi dan hubungan antara sipil-militer? Biar waktu yang menjawab.


Yogyakarta, April 2017



Daftar Bacaan
Affifudin, Mohammad. 2014. “Deyudhoyonoisasi”. Jawa Pos, 29/09. (Diakses dari http://www2.jawapos.com/baca/opinidetail/7511/Deyudhoyonoisasi)

Said, Salim Haji. 2016. Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. Bandung: Penerbit Mizan.

Santoso, Aris. 2016. “Misteri Keberuntungan Wiranto”. Deutsche Welle, 24/10. (Diakses dari http://www.dw.com/id/misteri-keberuntungan-wiranto/a-35973276)