Selalu menarik mempelajari hal ihwal kepresidenan
di negeri ini, karena sepanjang 71 tahun sejarah Indonesia, hanya ada 7 orang
yang mampu mencapai posisi Presiden Republik Indonesia. Berbagai pola dan peta
politik, strategi, intrik, bahkan tipu daya disiapkan jauh-jauh hari untuk
memenangkan kursi kepresidenan, yang mungkin nominal gajinya dibawah para
direktur utama BUMN atau Gubernur Bank Indonesia, namun gerak-arah Indonesia beserta
seluruh isinya ditentukan dari posisi ini. Kuasa seorang Presiden bisa mengubah
satu kondisi yang buruk ke kondisi yang lebih baik –begitu juga sebaliknya, dan
bisa mengubah nasih seseorang dari yang “bukan siapa-siapa” menjadi “siapa”.
Kuasa yang kedua ini sangat relevan jika kita kaitkan dengan pola mutasi dan promosi para ajudan Presiden di era kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) pada masa pertamanya (2004-2009).
Kolonel (Inf) M. Munir (Akmil 1983), Kolonel
(Pnb) Bagus Puruhito (AAU 1984), Kolonel Laut (P) Didit Herdiawan Ashaf (AAL 1984),
dan Komisaris Besar (Pol) Putut Eko Bayuseno (Akpol 1984) adalah 4 perwira
menengah yang ditunjuk menjadi Ajudan Presiden SBY pada tahun 2004 sampai tahun
2009. Tidak ada diantara mereka yang meraih Adhi Makayasa, namun perjalanan
karir mereka dapat dibilang cukup paripurna sejak Letnan Dua sampai Kolonel;
mulai dari pengalaman staf, teritorial, pendidikan, sampai tempur telah mereka
lalui. Mengikuti jejak Soeharto, SBY yang menjabat Presiden selama 2 periode tidak
lupa pada para mantan ajudannya dan turut mengawal serta merawat karir mereka sampai
ke jabatan tertinggi di matranya masing-masing. Dan memang terbukti, kurang
dari 5 tahun (2013-2014) hampir dari mereka telah menduduki jabatan sebagai
Wakil Kepala Staf Angkatan berbintang tiga di usia yang relatif muda (Wakil KSAD Letjen
M. Munir-54 tahun, Wakil KSAL Laksdya Didit Herdiawan-52 tahun, Wakil KSAU Marsdya
Bagus Puruhito-51 tahun), sedangkan Komjen Putut Eko meraih pangkat bintang
tiganya melalui jabatan Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri di
usia 52 tahun. Maka kemudian, dengan pangkat tinggi dan usia yang masih cukup
jauh dari masa pensiun (4-7 tahun), mereka diproyeksikan akan menjadi Kepala
Staf Angkatan, Panglima TNI, dan Kapolri dalam waktu yang tidak lama.
Mutasi dan
Promosi Mantan Ajudan Presiden SBY Pasca-2009
M. Munir
|
Bagus Puruhito
|
Didit Herdiawan
|
Putut Eko Bayuseno
|
2010 - Kasdivif 1/Kostrad; Kasdam Jaya (Brigjen);
Pangdivif 2/Kostrad (Mayjen)
|
2009 – Danlanud Halim Perdanakusumah (Marsma)
|
2009 – Danguspurla Koarmabar (Laksma)
|
2009 – Wakil Kapolda Metro Jaya (Brigjen)
|
2011 – Pangdam III/Siliwangi (Mayjen)
|
2010 – Kaskoopsau I (Marsma)
|
2010 – Kepala Staf Koarmabar (Laksma); Pangkolinlamil
(Laksda)
|
2011 – Kapolda Banten (Brigjen); Kapolda Jawa Barat
(Irjen)
|
2012 – Pangkostrad (Letjen)
|
2011 – Dankodikau (Marsda)
|
2011 – Pangarmabar (Laksda)
|
2012 – Kapolda Metro Jaya (Irjen)
|
Mei 2013 – Wakil KSAD (Letjen)
|
2012 – Pangkoopsau I; Asops KSAU (Marsda)
|
2012 – Asops KSAL (Laksda)
|
Maret 2014 – Kabaharkam Polri (Komjen)
|
2015 – Pati Mabes TNI; Sekjen Wantannas
(Letjen)
|
Mei 2014 – Wakil KSAU (Marsdya)
|
Mei 2014 - Wakil KSAL (Laksdya)
|
2017 - Irwasum Polri (Komjen)
|
2016 - Pensiun
|
2015 – Wagub Lemhannas (Marsdya)
|
2015 – Wagub Lemhannas; Kasum TNI
(Laksdya)
|
(Keterangan: Warna kuning menunjukkan mutasi dan promosi terakhir di
era kepemimpinan Presiden SBY; Sumber: Wikipedia)
Tetapi kemudian, naiknya Joko Widodo menjadi
Presiden pada 20 Oktober 2014 membuyarkan proyeksi besar tersebut. Beberapa
dari mereka karirnya mandek bertahun-tahun, seperti Komjen Putut yang
menduduki jabatan Kabaharkam Polri selama lebih dari 3 tahun sejak Maret 2014; ditempatkan
pada pos yang kurang prestise seperti Marsdya Bagus yang
saat ini sedang ditempatkan sebagai Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional; bahkan dinon-jobkan, seperti Letjen Munir
yang sempat non-job selama setahun
lalu kemudian ditempatkan sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional
sampai pensiun. Sebuah kenyataan yang cukup menyedihkan mengingat ketika SBY
masih menjabat Presiden, karir mereka melesat bak meteor, namun kemudian
meredup setelah SBY digantikan Joko Widodo. Hanya Laksdya Didit yang meraih karir cukup baik dengan menjabat sebagai Kepala Staf Umum TNI, yang secara protokoler setara dengan Wakil Panglima TNI, namun ia pun tak pernah dimutasi kemanapun lagi setelahnya.
Selain itu, jika dilihat dari kacamata suksesi
kepemimpinan, para mantan ajudan inipun telah beberapa kali diloncati dalam
pemilihan Kepala Staf Angkatan dan Kapolri, seperti Letjen Munir yang telah
diloncati 4 kali dalam pemilihan KSAD sampai kemudian pensiun pada Oktober
2016, Laksdya Didit diloncati 1 kali dalam pemilihan KSAL, Marsdya Bagus diloncati
2 kali dalam pemilihan KSAU, dan Komjen Putut diloncati 2 kali dalam pemilihan
Kapolri. 3 nama terakhir sesungguhnya masih mempunyai kans untuk terpilih,
namun jika dilihat lebih dalam, banyak kesulitan yang akan dihadapi oleh
mereka. Untuk KSAL, saat ini masih dijabat Laksamana Ade Supandi (AAL 1983) yang
akan pensiun Mei 2018, dan saat itu tiba, Laksdya Didit sudah berumur 56 tahun,
bersaing dengan Laksdya Ahmad Taufiqoerrochman (AAL 1985)--dalam hal ini Laksdya Widodo (AAL 1983), Laksdya Desi Albert Mamahit (AAL 1984), dan Laksdya Arie Soedewo (AAL 1983) tidak masuk hitungan karena telah pensiun pada 2018--dan para perwira
tinggi potensial lainnya. Untuk KSAU, justru saat ini dipegang oleh Marsekal
Hadi Tjahjanto yang lebih junior (AAU 1986) dibanding Marsdya Bagus, sehingga
peluang baginya semakin tipis. Dan untuk Kapolri, seperti halnya KSAU, saat ini
dipegang oleh Jenderal Tito Karnavian yang “sangat junior” (Akpol 1987) dibanding
para perwira tinggi lain di Mabes Polri, sehingga kans bagi Komjen Putut juga
sama tipis. Jika saja SBY ketika masih menjabat lebih agresif mempromosikan
para mantan ajudannya, hal-hal seperti diatas tidak mungkin terjadi, tetapi
karena ia lebih mengutamakan perwira senior dan juga ada anggapan bahwa perjalanan
karir mereka masih panjang karena usia yang relatif muda, maka para mantan
ajudan ini harus memendam hasratnya. Tanpa diduga-duga Presiden Joko Widodo
justru tidak memberikan karpet merah bagi mereka.
Menghapus
Pengaruh SBY
Banyak kalangan yang menilai bahwa apa yang
terjadi pada mereka tidak lepas dari rencana “de-Yudhoyono-isasi” dalam
tubuh TNI dan Polri, dan hal semacam ini bukan sekali terjadi. Menurut Said
dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan
Otoriter Soeharto (2016), untuk membersihkan pengaruh mantan Panglima ABRI
Jenderal LB “Benny” Moerdani yang dianggap membahayakan kelangsungan kepemimpinan
Soeharto, rezim Orde Baru melancarkan kebijakan “de-Benny-isasi” yang berupaya
membersihkan para pengikut dan orang dekat Jenderal Benny di tubuh ABRI, dimana
yang menjadi korban dari kebijakan ini antara lain Teddy Rusdi
yang harus pensiun dini dari jabatan Asisten Perencanaan Umum ABRI dengan pangkat Marsekal Muda, Sintong Panjaitan yang dinon-jobkan selepas menjabat Pangdam Udayana atas dalih Insiden Santa Cruz (Timor-Timur), Johny Lumintang yang menjabat
Pangkostrad hanya 17 jam, Luhut Binsar Panjaitan yang hanya mampu mengakhiri karir kemiliterannya sebagai Komandan Kodiklat TNI-AD lalu "didubeskan" ke Singapura, dan bahkan Jenderal Try Sutrisno yang
walaupun menjabat sebagai Wakil Presiden mendampingi Soeharto (1993-1998), posisinya
tidak lebih sebagai ban serep atau dalam terminologi ketika itu “ditendang ke
atas”. Apa yang terjadi diatas diyakini sedang terjadi lagi saat ini, karena
ajudan Presiden dianggap sebagai orang dekat Presiden yang mengenal baik secara
formal maupun secara pribadi seorang Presiden. Dan apabila Affifudin (2014)
melihat tidak terjadi de-Yudhoyono-isasi seperti halnya de-Soekarno-isasi
ataupun de-Soeharto-isasi yang dipenuhi huru-hara berdarah, de-Yudhoyono-isasi
ini mewujud dalam bentuk terancamnya karir para perwira TNI-POLRI yang dianggap
dekat dengan SBY.
Jika daftar ini ingin diperpanjang, selain para
mantan ajudannya, Letjen Ediwan Prabowo (Akmil 1984) dapat dimasukkan dalam
daftar. Letjen Ediwan yang meraih pangkat bintang satu lewat jabatan Sekretaris
Pribadi Presiden SBY pada tahun 2008 “dimandekkan” karirnya selepas menjabat
sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan pada tahun 2016. Menurut
Santoso (2016), campur tangan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang masih
sakit hati atas keputusan Presiden SBY membatalkan pengangkatan dirinya sebagai
Panglima TNI pada tahun 2004 menjadi penyebab mandeknya karir Letjen Ediwan
dimana ia dijadikan sasaran balas dendam karena pernah menjadi “orangnya SBY”. Saat
ini, Letjen Ediwan harus puas duduk dalam jabatan Pati Staf Khusus KSAD, sebuah pos
yang terlalu rendah untuk diduduki seorang perwira tinggi sekelas dirinya.
![]() |
Mayor Jenderal Ediwan Prabowo saat menjabat Pangdam V/Brawijaya (www.yuniarpw.wordpress.com) |
Dalam pandangan saya, dengan naiknya para mantan ajudan Presiden SBY ke jabatan tertinggi TNI-POLRI di masa kepresidenan Joko Widodo, dikhawatirkan mereka akan menjadi kepanjangan tangan SBY dalam berbagai pola mutasi dan promosi, karena SBY yang seorang purnawirawan Jenderal beserta para pengikutnya tentu memiliki “gerbong” perwira yang akan dipromosikan ke pos-pos strategis –persis seperti ketakutan Soeharto terhadap pengaruh Benny Moerdani. Jangan dilupakan bahwa SBY dan Joko Widodo berasal dari partai politik yang memiliki latar belakang “permusuhan” sejak Pemilu 2004 (PDIP-Partai Demokrat), sehingga ketika PDIP berhasil membalaskan dendam lewat perebutan kursi kepresidenan pada tahun 2014, semua legasi SBY dalam berbagai segi berusaha untuk dihapuskan. Selain itu, Presiden Joko Widodo beserta orang-orang di lingkarannya juga pasti memiliki daftar para perwira yang ingin diorbitkan karena kedekatan yang dimilikinya. Dan sejauh ini mereka berhasil melakukannya, antara lain kepada Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal (Pol) Budi Gunawan yang sempat gagal menjadi Kapolri (Ajudan Presiden Megawati Sukarnaputri 2001-2004), Wakil Kapolri Komisaris Jenderal (Pol) Syafrudin (Ajudan Wakil Presiden Jusuf Kalla 2004-2009), Kapolda Banten Brigadir Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo (Ajudan Presiden Joko Widodo 2014-2016)--ia adalah Kapolda termuda saat ini dilihat dari segi angkatan (Akpol 1991), saat ini menjabat Kadiv Propam Polri dengan pangkat Irjen (2018)--dan KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto (Sekretaris Militer Presiden Joko Widodo 2015-2016). Nama-nama tersebut kemungkinan akan terus bertambah, karena Joko Widodo masih punya waktu 2 tahun lagi sebagai Presiden, dan akan makin bertambah banyak jika ia mampu duduk kembali sebagai Presiden di tahun 2019. Dalam hal ini, Joko Widodo terlihat lebih agresif dibanding SBY.
![]() |
Komisaris Besar (Pol) Listyo Sigit Prabowo saat menjabat sebagai Ajudan Presiden Joko Widodo (www.harianindo.com) |
Pada akhirnya, mengutip Santoso (2016), bahwa kepemimpinan politik sipil ibarat pedang bermata dua bagi karir perwira tinggi TNI-POLRI, di satu sisi dapat berbuah kejayaan, seperti ketika SBY masih dalam kekuasaannya dan mampu mengorbitkan karir para mantan ajudannya, atau justru sebaliknya, seperti ketika Joko Widodo justru mengesampingkan para mantan ajudan Presiden SBY dan mengorbitkan perwira tinggi yang dekat dengannya. Pertanyaannya, apakah pola semacam ini akan terus berlanjut di masa yang akan datang? Dan apakah akan berpotensi mengganggu soliditas organisasi dan hubungan antara sipil-militer? Biar waktu yang menjawab.
Yogyakarta, April 2017
Daftar
Bacaan
Affifudin, Mohammad. 2014. “Deyudhoyonoisasi”. Jawa Pos, 29/09. (Diakses dari http://www2.jawapos.com/baca/opinidetail/7511/Deyudhoyonoisasi)
Said, Salim Haji. 2016. Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. Bandung:
Penerbit Mizan.
Santoso, Aris. 2016. “Misteri Keberuntungan
Wiranto”. Deutsche Welle, 24/10.
(Diakses dari http://www.dw.com/id/misteri-keberuntungan-wiranto/a-35973276)